tirto.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memberlakukan sistem ganjil genap di 25 ruas jalan protokol untuk kendaraan roda empat. Sama seperti sebelum pandemi, kebijakan ini berlaku pada pukul 6 pagi sampai 10, lalu 4 sore sampai 9 malam, kecuali Sabtu dan Minggu serta hari libur nasional.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo bilang kebijakan ini diberlakukan kembali karena "di beberapa titik pemantauan", volume lalu lintas "sudah di atas normal, sebelum pandemi". Di area Cipete, misalnya, sudah mencapai 75 ribu kendaraan, padahal sebelum pandemi 74 ribu. Pun dengan kawasan Senayan. Di sana volume kendaraan mencapai 145 ribu, padahal sebelum pandemi 127 ribu.
Syafrin mengatakan jika tak ada perubahan, maka bukan tidak mungkin kebijakan ini dikenakan pula "kepada kendaraan roda dua".
Beberapa orang menganggap kebijakan ini keliru. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan kebijakan ganjil genap akan meningkatkan penggunaan transportasi umum. Dalam situasi normal, ini jelas baik. Tapi ketika pandemi, banyaknya orang yang pakai transportasi umum berarti meningkatkan kemungkinan penularan Corona karena penerapan jaga jarak sulit dilakukan.
“Jika demand tidak berkurang dengan pola yang sama seperti sebelum pandemi, transportasi tidak akan mencukupi. Penegakan physical distancing juga sulit dipenuhi,” kata Djoko kepada reporter Tirto, Senin (3/8/2020).
Satuan Tugas COVID-19 mencatat ada kenaikan 2.040 kasus konfirmasi positif per Jumat (31/7/2020). Jakarta adalah penyumbang terbesar dengan 430 kasus. Per hari itu, total kasus mencapai 108.376.
Ketua Pusat Kajian Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Puskakes Uhamka) Bigwanto menegaskan kebijakan ini bisa jadi blunder ketika kurva penularan Corona belum reda.
“Lucu juga sebenarnya. Jalan sudah ramai lagi kemudian diterapkan ganjil genap supaya sepi, padahal seramai-ramainya jalan, kalau manusia di dalam mobil, dia lebih aman daripada naik transportasi umum,” katanya kepada reporter Tirto.
Menurutnya kebijakan ini diambil bukan atas dasar kesehatan, apalagi pertimbangan penanggulangan wabah. “Perspektif dinas perhubungan sebagai pengatur lalu lintas. Enggak holistik cara mikirnya” katanya.
Oleh karena itu ia mendesak pemprov mengevaluasi kebijakan ini. “Kalau bisa ganjil genap ini dicabut aja dulu.”
Terkait Klaster Perkantoran
Sebelum ganjil genap berlaku, klaster perkantoran telah diduga kuat terkait dengan penularan di transportasi umum.
Klaster ini muncul serentak di ibu kota ketika penerapan PSBB Transisi. Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah mengatakan setidaknya ada 90 perkantoran di Jakarta yang menjadi klaster penyebaran COVID-19. Total ada 459 orang dinyatakan positif dari klaster tersebut. "Sampai dengan 28 Juli 2020," kata Dewi di BNPB, Jakarta, Rabu (29/7/2020).
Dewi mengatakan klaster ini muncul karena ada yang terpapar positif di luar kantor, dari mulai rumah, tempat umum, hingga transportasi massal.
Maka tak heran jika kemudian kalangan pengusaha pun ketar ketir dengan kebijakan ini. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) DKI Sarman Simanjorang mengatakan “akan timbul klaster-klaster baru” jika kebijakan ini dipertahankan.
Kepada reporter Tirto, ia mengatakan “mudah-mudahan [kebijakan] ini masih dalam tahap uji coba, kemudian dievaluasi.” Jika banyak karyawan yang akhirnya tumbang karena terpapar COVID-19, perkantoran dan industri kehilangan SDM, operasional terganggu, dan akhirnya ekonomi terganggu. Pengusaha pun merugi.
“Karena memang tujuan kita sampai saat ini kan bagaimana agar PSBB [Transisi] ini sukses. Jangan sampai PSBB lagi,” katanya menegaskan.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino