tirto.id - Upaya diplomasi Pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi Belanda tak bisa memuaskan semua pihak. Baik di Jawa maupun di Sumatra, sejumlah pihak menuding pemerintah bergerak lambat. Di Sumatra Barat misalnya, muncul sebuah persekutuan rahasia bernama Pemberantas Anti Kemerdekaan Indonesia (PAKI). Kelompok ini punya relasi dengan laskar Hizbullah. Mereka tidak puas dengan kinerja pemerintah.
Pada 2 Maret 1947, ulama seluruh Sumatra Barat mengadakan pertemuan di Padangpanjang. Kolonel Ismail Lengah selaku Komandan Divisi Tentara Rakyat Indonesia Sumatra Tengah, dan Sutan Mohammad Rasjid selaku Residen Sumatra Barat, hadir memberikan sambutan.
Dalam pertemuan itu, seperti dicatat Marah Joenoes dalam Mr. H. Sutan Mohammad Rasjid (2001:55), Jenderal Mayor Hizbullah Bachtiar Junus “menuding jajaran pemerintah Sumatra Barat dan pihak militer sebagai tidak becus.”
Ismail Lengah yang sudah jadi tentara sejak zaman Jepang membantahnya. Marah Joenoes menyebut, serangan terhadap pemerintah sipil dan militer tidak hanya lewat kata-kata Bachtiar Junus, tetapi juga diikuti oleh poster-poster di seluruh kota. Dan itu masih belum apa-apa.
Malam 3 Maret 1947, pasukan bersenjata dari kelompok anti pemerintah menuju kediaman Residen Sutan Mohammad Rasjid dan Komandan Divisi Ismail Lengah di Bukittinggi. Mereka hendak menculik kedua tokoh tersebut. Menurut Saafroedin Bahar dalam Etnik, Elite dan Integrasi Nasional (2015:116), pasukan bersenjata yang dipimpin oleh Kolonel Hizbullah Sjamsuddin Ahmad itu berasal dari laskar Hizbullah yang bergerak dari arah Solok, Payakumbuh, dan Padangpanjang.
Dalam buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatra Tengah (1953:148) disebutkan bahwa upaya penculikan itu gagal. Kediaman Residen Rasjid yang dijaga Mobile Brigade (Mobrig) dari kepolisian, tak bisa ditembus. Mereka hanya bisa menangkapi para pamong praja yang kebanyakan pernah bekerja pada zaman Belanda dan Jepang, salah satunya adalah Eni Karim.
“Pada sebuah subuh hari tanggal 3 Maret 1947 datanglah satu peleton tentara palsu dan menculik saya di kediaman kami, lalu dibawa ke suatu tempat di Aur Birugo,” ujar Eni Karim dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan IV (1991:145).
Di penahanan, Eni Karim melihat dokter Roesma dan istrinya, dan beberapa jam kemudian datang tentara lain membebaskan mereka. Eni dibawa ke Hotel Merdeka dan bertemu kawannya yang juga mengalami penculikan, yakni Gaffar Djambek (pimpinan sekolah Islam), Anwar Sutan Saidi (pimpinan Bank Nasional Indonesia), Taher Samad (Kepala Biro Politik kantor Residen), dan lainnya.
Peristiwa penculikan ini terjadi saat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tengah membahas soal perjanjian Linggarjati di Malang. Namun sejak 4 Maret 1947, pasukan pemerintah di Sumatra Barat berhasil menguasai keadaan. Orang-orang yang ditahan penculik berhasil dibebaskan dan giliran para penculik yang ditangkapi. Pemimpin PAKI, Datuk Radjo Mangkuto dan Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, serta beberapa orang lainnya ditahan. Semantara kebanyakan pelaku di lapangan dibebaskan.
Pada 6 Maret 1947, Residen Rasjid mengeluarkan maklumat nomor 10-47 yang menyerukan agar warga Sumatra Barat menjaga diri dari perbuatan dan tindakan yang semaunya, serta membantu pemerintah dan alat-alat negara dalam menjaga keamanan.
“Ketidaksukaan terhadap butir-butir kesepakatan Linggarjati itulah yang melatarbelakangi Peristiwa 3 Maret,” tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (205:184).
Ia menambahkan, sumber kekecewaan lainnya adalah kurangnya kekuatan politik Islam dalam pemerintahan di tingkat nagari dan tidak ada wakil mereka di tingkat keresidenan; di keresidenan terdapat orang-orang yang dulunya dekat dengan Belanda; kecemburuan di kalangan laskar yang merasa harus berhadapan dengan maut di front dan tidak dapat apa-apa, sementara perwira tentara dianggap hidup nyaman dan tidak bermoral; perbekalan dan perlengkapan militer hanya ditujukan kepada pasukan reguler sehingga laskar tidak kebagian.
Kelompok pemimpin pemberontakan, menurut Audrey Kahin, berasal dari partai politik Islam dan laskar agama serta sekuler. Kelompok ini diketuai oleh tokoh radikal tua Muhammadiyah, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, ulama eksentrik Adam BB dari Padangpanjang, dan bersama tokoh-tokoh dari Lasjwi, Hizbullah, Sabilillah.
Selain itu, perwira dari komandemen Sumatra di Medan, seperti kapten Rahmat Tobri, Letnan Zubir Adam, Mohammad Idris, dan Djauhari Pulungan juga terlibat. Mereka awalnya ditugasi untuk menyelidiki Singkarak Charter—kesepakatan para bekas pegawai Belanda yang akan menyambut kedatangan NICA untuk berkuasa di Sumatra Barat.
Pada masa-masa penyelidikan, Zubir Adam berhubungan dengan politisi Islam seperti Sutan Mangkuto, Radjo mangkuto, dan Sjamsuddin Ahmad. Satu kompi TRI pimpinan Letnan Ayub Bakar juga berpihak ke pemberontak.
Sementara Jenderal Hizbullah Bachtiar Junus melarikan diri ke Sumatra Timur, dua pelaku utama yakni Datuk Radjo Mangkuto dan Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, diadili oleh mahkamah tentara pada 15 Juli 1947. Keduanya dibela oleh Hamka meski ia pernah berbeda pendapat dengan Sutan Mangkuto.
Bertindak sebagai Hakim Ketua adalah Jenderal Mayor Tituler Mr Harun Al Rasjid. Sementara hakim-hakim anggotanya adalah Letnan Kolonel Burhanuddin dan Mayor Abunawas, serta jaksa penuntutnya adalah Idrus. Radjo Mengkuto dihukum satu tahun penjara dan Sutan Mangkuto—yang merupakan tokoh lokal Muhamadiyah—diberi hukuman percobaan.
Setelah peristiwa di Bukittinggi pada 3 Maret 1947 itu, Menteri Penerangan Muhammad Natsir—yang juga pemimpin Masyumi—tiba di Bukittinggi. Dia mengatakan bahwa terdapat pencampuran antara perkara yang benar dan yang salah. PAKI dan Republik Indonesia pada akhirnya harus menerima Perjanjian Linggarjati yang ditandatangai pada pada 25 Maret 1947, meski isinya merugikan.
Pemerintah kemudian memasukkan anggota-anggota laskar itu ke dalam tentara reguler (TNI). Dengan demikian, semua kekuatan bersenjata bisa dikendalikan oleh perwira TNI.
Editor: Irfan Teguh Pribadi