Menuju konten utama

Respons Paus Fransiskus Soal Skandal Pelecehan Seksual di Gereja

Paus mengutuk kekejaman itu, tapi tak menawarkan solusi untuk pencegahan dan sanksi bagi pelaku.

Respons Paus Fransiskus Soal Skandal Pelecehan Seksual di Gereja
Paus Francis bertemu dengan sejumlah pendeta dan biarawati di gereja Holy Rosary di Dhaka, Bangladesh, Sabtu (2/12). ANTARA FOTO/REUTERS/Damir Sagolj

tirto.id - Paus Fransiskus mengeluarkan surat mengutuk tindakan kekerasan seksual yang banyak terjadi di lingkungan gereja Katolik. Namun, dalam suratnya Paus belum memberikan solusi terhadap peristiwa itu.

Pada Senin (20/8/2018) waktu setempat, Paus mengajak seluruh anggota gereja Katolik untuk berdoa dan berpuasa dalam rangka penebusan dosa atas kejahatan kekerasan dan pelecehan seksual.

Surat itu dikeluarkan Paus tak lama setelah dewan juri pengadilan Pennsylvania pada Selasa (14/8) merilis laporan investigasi yang menemukan fakta bahwa lebih dari 300 pastor melakukan pelecehan dan kejahatan seksual terhadap sekitar seribu anak, baik laki-laki dan perempuan, selama 70 tahun terakhir.

"Dengan rasa malu dan penyesalan, kami mengakui sebagai komunitas gerejawi bahwa kami tidak berada di tempat kami seharusnya, bahwa kami tidak bertindak tepat waktu, menyadari besarnya kerusakan yang telah terjadi pada banyak kehidupan," ujar Paus Fransiskus seperti dikutip The New York Times, Selasa (21/8/2018).

"Kami tidak memperlihatkan kepedulian terhadap anak-anak dan kami meninggalkan mereka," tambahnya.

Dalam surat itu, Paus juga mengakui publikasi yang dikeluarkan oleh dewan juri pengadilan Pennsylvania. Catholic News Agency menulis, Paus juga menyatakan dukungan untuk para korban kekerasan seksual dan keluarga mereka.

Paus mengatakan, sebagian kasus-kasus yang terungkap baru-baru ini adalah kasus "milik masa lalu", seiring berjalannya waktu, para korban dan penderitaan mereka pun semakin terungkap.

"Mari kita mohon pengampunan untuk dosa kita sendiri dan dosa orang lain," kata Paus. "Kesadaran akan dosa membantu kita untuk mengakui kesalahan, kejahatan, dan luka yang disebabkan masa lalu dan memungkinkan kita lebih terbuka dan berkomitmen untuk perubahan."

Selama dua dekade terakhir, seperti ditulis New York Times, gereja Katolik kerap tak mengakui skandal pelecehan seksual yang terungkap di paroki atau keuskupan di banyak negara dan merahasiakannya.

Meski Paus akan memastikan bahwa pelanggaran serupa tak akan terjadi lagi di lingkungan gereja, surat itu mengundang kritik dari sejumlah korban yang kecewa dan frustasi dengan kata-kata Paus.

Seperti dikutip dari Associated Press, Vatikan tak menyebut secara rinci tindakan apa yang akan dilakukan untuk perubahan. Paus hanya mengatakan: "Kami telah menunda penerapan langkah-langkah dan sanksi yang diperlukan, tapi kami yakin mereka akan membantu menjamin budaya yang lebih baik di masa depan."

Para korban juga kecewa dengan respons Vatikan yang "terlambat" mengakui aksi pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak di lingkungan gereja mereka. Vatikan selama ini dianggap menutup mata, merahasiakan, dan tidak menghukum pelaku selama beberapa dekade.

"Budaya itu diawasi #Vatikan dan dikodifikasikan dalam hukumnya," tulis Colm O'Gorman, korban kekerasan seksual di Irlandia yang menggerakkan demonstrasi untuk para penyintas di Dublin selama kunjungan Paus.

Pada Februari 2018 lalu, setelah terkuaknya skandal di Chili, Paus Fransiskus memperbarui keanggotaan sebuah komisi yang mengurusi kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para pemuka agama Katolik. Diwartakan Reuters, Kardinal AS, Sean O'Malley dari Boston didapuk jadi ketua.

Komisi baru itu diisi oleh para akademisi, psikolog, para imam dan biarawati. Ada sepuluh anggota yang bukan berstatus imam atau pemuka agama Katolik; delapan di antaranya perempuan, termasuk tiga biarawati. Mereka berasal dari berbagai negara.

Komisi yang sama sebetulnya telah menjalankan tugas selama satu periode (tiga tahun) yang berakhir pada Desember 2017 lalu. Namun, performa komisi ini masih jauh dari harapan. Malahan, dua anggotanya yang penyintas mengundurkan diri. Alasannya, mereka frustrasi karena minimnya perubahan yang telah dicapai. Para Pejabat Vatikan pun enggan bekerja sama.

Marie Collins, salah satu penyintas dari Irlandia yang mengundurkan diri dari keanggotaan komisi menyatakan betapa buruk pengalaman pelecehan yang dia alami dan perjanjian tanggung jawab dari para uskup yang tak ada artinya.

"Beritahu kami apa yang akan Anda lakukan untuk membuat mereka bertanggung jawab. Itulah yang ingin kami dengar. 'Kami sedang berusaha' bukanlah hal yang ingin kami dengar dalam beberapa dekade terakhir," ujar Collins melalui akun Twitter-nya.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra