tirto.id - Di Galeri Rubanah, saat kaki menuruni tangga menyusuri galeri bawah tanah dan pintu kemudian dibuka, dua foto yang dipamerkan pada panel terdepan menyambut.
Foto satu yang berjudul “Still Life with no Videotape” menampilkan objek berwarna biru terang, berpadu dengan patung anjing berwarna tembaga. Warna biru yang lebih menyolok dibandingkan dengan objek lainnya dalam bingkai tersebut, yaitu warna coklat dengan garis putih di makanan ringan dan juga warna kerupuk kulit, membuat pengunjung perlu memiringkan kepalanya, memastikan, benarkah objek berwarna biru tersebut dildo?
Foto lainnya pada panel yang sama “Bandage and Master Crane”, menampilkan perban, kamera, alat tes Covid-19, uang, botol kecil, plester, dan sebuah figure toy. Figur itu adalah Master Crane, karakter dari film Kung Fu Panda.
“To make something special, you just have to believe it’s special,” ujar Ping dalam film tersebut.
Kutipan ini menjadi pengantar pada undangan pameran foto tunggal Paul Kadarisman bertajuk Kuotie-dien, yang diadakan pada 4-25 Maret 2023 di Rubanah, Jakarta Pusat.
Dengan keragaman objek dalam foto-foto still life, mencari benang merah antara objek yang satu dan lainnya dalam satu bingkai seakan menjadi “tugas” bagi pengunjung. Tidak hanya dari dua foto di panel pertama tadi, juga saat pengunjung mengitari ruang pameran yang berisi 14 karya baru lulusan Institut Kesenian Jakarta ini.
Sederhana yang Terkontrol
Memahami objek; baik keberadaan dan keterkaitan antar objek di pameran foto Paul kali ini, sepertinya memang tidak mudah bagi sebagian pengunjung.
Namun, bagi yang telah mengenal Paul, tidak sesulit itu.
Hampir semua objek yang ditampilkan sangat lekat dengan kehidupan Paul. Mulai dari Ricoh, kamera yang sering berada di sakunya untuk digunakan memotret apapun yang menarik matanya ke manapun ia pergi. Perban, yang menjadi bagian dari hidupnya saat ia mengalami patah kaki.
Atau pada foto yang berjudul “Still Life with Orange and Lime” saat Paul memotret setumpuk pernak-pernik, di antaranya lampu dan kunci sepeda, tali anjing kesayangannya, botol minuman yang selalu digunakannya setiap hari, beragam warna lakban untuk keperluan foto, digabung dengan jeruk dan jeruk nipis.
Artinya, sebenarnya tidak sulit untuk mengetahui alasan di balik keputusan pemilihan objek-objek tersebut.
Barang-barang pribadi yang “terkurasi” dan akhirnya masuk ke dalam bingkai, maupun yang sudah terpilih namun batal difoto, menurut pengakuannya mengingatkan akan bagian dari dirinya. Ia menghargai kehadiran barang tersebut dalam kehidupannya. Ia merasa, masing-masing barang sejak dibentuk sampai akhirnya menjadi bagian dari hidupnya, berproses dan memiliki makna dan sejarahnya sendiri-sendiri.
Bukan hanya barang pribadi, Paul juga mengumpulkan beberapa objek dari keluarga dan teman-teman terdekatnya. Saat ia memutuskan untuk membuat karya barunya ini, ia telah membuat daftar beberapa orang terdekat yang bisa meminjamkannya barang-barang pribadi mereka.
Barang yang ia dan kerabatnya simpan, baik yang usang, cacat, berdebu, warna yang memudar, digabungkan dengan objek alami seperti buah-buahan dan sayur-- menjadi barang yang dalam keseharian sangat lekat, namun tidak menarik perhatian.
Kumpulan barang “apa adanya” ini difoto, lalu melalui proses edit yang tidak berlebihan, menjadikan foto Paul terlihat sederhana.
Firman Ichsan, fotografer senior, pada kata pengantar pameran “Boring Happy Days” mengatakan bahwa kesederhanaan adalah bagian dari kerja kreatif Paul.
Di pameran tunggal terakhirnya 13 tahun yang lalu, pemenang penghargaan Jakarta International Photo Summit (2008) itu menunjukkan bahwa ia memiliki keistimewaan mata seorang juru foto.
Ia tertarik pada objek yang mungkin terlihat sederhana dan tidak berarti bagi sebagian orang, menjadikannya sebuah karya foto yang istimewa.
Istimewa bukan karena ia berusaha unik atau berbeda dengan yang lain, namun benar-benar tertarik dan ingin merekamnya serta berhasil memberikan emosi pada foto yang dihasilkan. Di pameran tersebut, pria kelahiran 1974 itu, berhasil merekam kota kelahirannya, Jakarta, melalui objek-objek yang mungkin bagi mata lain tidak penting.
Dalam pamerannya kali ini, ia memotret kembali objek yang ada di keseharian namun kurang diminati, yang kemudian disebutnya dapat dibaca sebagai biografi visual.
“Saya memasukkan benda-benda pribadi (yang dapat terbaca sebagai biografi visual), yang kemudian saya campur dengan hal-hal alamiah dan benda-benda sehari-hari yang (bisa jadi) objektif,” ujarnya.
Firman dalam tulisan yang sama mengatakan bahwa Paul dengan latar disiplin teknis yang kuat menjadikan kesederhanaannya menjadi rumit. Paul menurutnya, terbiasa akan detail dan kesempurnaan.
Foto Paul akhirnya menjadi tidak sederhana, karena ia yang kali ini melakukan proses berkarya dalam studio, mengontrol baik pemilihan objek (yang sederhana), kompisisi yang diatur, dan tata cahaya yang ia inginkan.
Kontrol pada proses berkaryanya di pamerannya kali ini, di satu sisi tidak membuatnya berupaya terlalu jauh, dan ia kembali berpegang pada “kesederhanaan” proses kreatif yang disebut Firman sebelumnya.
Ia merasakan bahwa mengatakan cukup, kali ini tepat untuk dilakukan. Dan ia memutuskan, atau bisa dibilang mengontrol, untuk menggunakan pencahayaan secukupnya dan sengaja tidak menggunakan teknologi kameranya secara maksimal.
Namun ia tetap berhasil memperlihatkan fotografi seperti tujuan awalnya. Paul menawarkan kepada pemirsa untuk menikmati foto dengan format ukuran yang besar; suatu cara menikmati gambar atau foto yang tidak lagi lumrah karena kecepatan teknologi dan internet yang kita nikmati sekarang.
Ia sebenarnya telah memulai maksudnya ini pada beberapa karya fotonya, termasuk foto “Babi Panggang” yang dipamerkan di Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD) 2019.
Grace Samboh, kurator pameran Kuotie-dien, menulis dalam kata pengantarnya. Ia menjelaskan bahwa proses kreatif Paul mengingatkannya akan banyaknya kerja di balik pembuatan foto.
Bahwa proses prosedur perekaman terjadi dengan lambat dan pelik, begitu juga reproduksi hasilnya. Ia membayangkan betapa repotnya kerja membawa dan menata barang-barang. Belum lagi latar, pencahayaan, dan pemilihan sudut.
Seperti pamerannya saat itu, Paul kini juga mengajak pemirsanya untuk dapat benar-benar memperhatikan detail objek-objek dan melihat foto dengan cara Paul menikmati foto. Objek dijepret, dicetak, kemudian foto dipajang pada suatu ruangan untuk dapat dinikmati.
Saat pengunjung melihatnya, mereka seakan menemukan jawaban untuk menikmati foto Paul dengan kesan-kesan seperti, "Oh, ternyata batu bagus juga ya kalau difoto sama bawang", "Oh, ternyata foto bisa begini, ya".
“Saya memamerkan karya-karya ini ke hadapan para pemirsa yang kebanyakan tak mengenal saya, dan meletakkan kepercayaan penuh pada kekuatan benda-benda ini ketika benar-benar lepas kendali, bahkan dari makna mereka bagi saya sendiri,” begitu pernyataan Paul dalam artist statement-nya.
Resep yang Tidak Pernah Ada
Tajuk pamerannya, Kuotie-dien, plesetan dari bahasa Prancis, quotidian, artinya sehari-hari. Paul memang sering terlihat jenaka baik dalam pemilihan kata maupun dalam mengelaborasi wacana fotonya.
Hal ini juga terlihat dalam pemakaian judul di pameran sebelumnya, Boring Happy Days, permainan kata yang menunjukkan kebosanan namun membahagiakan.
Atau, saat ia “bermain” dengan isu terkait Islam dan menghasilkan karya “Muhammad and Me” (2006). Di karya fotonya itu, ia menjepret dirinya sendiri dan teman-temannya yang bernama Muhammad.
Di pameran Urban Horizon (2004) yang dikuratori Oscar Motuloh, Paul menampilkan foto model dengan mainan anak-anak yang seakan menusuk badan model dengan judul “Pain”. Lewat presentasi model dan mainan, ia mempertanyakan rasa "sakit" sebagai bagian dari kenikmatan orang "kota".
Foto-foto Paul lainnya, baik untuk tujuan pameran, sampul kaset, ataupun foto fesyen, menunjukkan karakter Paul yang senang "bermain-main".
Kejenakaan pria yang aktif memotret sejak 1998 ini juga terlihat kali ini pada foto “Still Life with Earphone”, saat Paul menumpuk sayuran dan buah-buahan, namun dengan objek earphone dan toy figure, Snowy, yang menyempil. Di galeri, saat foto tidak dilengkapi dengan judul, pengunjung yang tidak telaten, akan luput melihat dua objek ini.
Kejenakaannya ini mungkin juga menjadi salah satu faktor yang membuat pengunjung mudah terhubung dengan foto-fotonya, di luar masalah teknis seperti pencahayaan, komposisi, dan warna, yang membuat pemirsanya mudah menikmati.
Di ruang pameran, saya mengumpulkan beberapa kesan dari pengunjung yang merasa terhubung dengan pengalaman pribadinya saat mereka melihat foto-foto Paul. Atau justru bahkan mendapatkan ide baru untuk proyek pribadi selanjutnya.
Pada akhirnya, prediksi dan tujuan Paul sejak awal, bahwa pemirsa fotonya mempunyai cara sendiri untuk terhubung dengan pengalamannya masing-masing, kemudian memperbincangkannya dalam obrolan, berdiskusi untuk setuju atau berseberangan, menjadi lebih penting daripada karyanya sendiri.
Hal ini juga semakin menguatkan kutipan di awal. Bahwa resep yang dicari-cari pada foto Paul tidak ada, layaknya lembaran kosong yang ditemukan Po dalam Kung Fu Panda. Karena Paul hanya mencoba respek pada setiap barang yang selalu ada di kesehariannya, kemudian memotretnya.
Dan untuk membuat foto Paul menjadi spesial bagi pemirsanya, seperti ucapan Tuan Ping, kita hanya memerlukan keyakinan, atau keteguhan, untuk memercayainya bahwa foto tersebut istimewa.
Editor: Irfan Teguh Pribadi