Menuju konten utama

Reseller, Mesin Pendorong Tak Terlihat E-Commerce Indonesia

Kurang dari 5 tahun, e-commerce di Indonesia berhasil tumbuh 6 kali lipat, di mana pedagang pengecer menjadi mesin pendorong pertumbuhan utama.

Reseller, Mesin Pendorong Tak Terlihat E-Commerce Indonesia
Header Side Job. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pada era digital seperti sekarang, hampir di setiap sudut ruang kita akan menemukan seseorang yang sedang asyik menggunakan gawainya, baik itu untuk berkomunikasi, berselancar di media sosial, hingga window shopping dan berbelanja di platform e-commerce. Penggunaan smartphone menjadi bagian tak terpisahkan pada rutinitas harian generasi saat ini

Fenomena masyarakat yang lebih "melek digital" ini sejalan dengan penemuan APJII yang menyebutkan bahwa 78,19% penduduk Indonesia menggunakan internet. Statista juga mencatatkan nilai serupa, di mana pada 2021 sebanyak 76,26% masyrakat di Tanah Air menggunakan smartphone.

Bahkan, Statista memprediksi jumlah penggunanya akan mencapai 269 juta di tahun 2028, atau lebih dari 80% jumlah penduduk saat ini.

Lebih lanjut, merebaknya penggunaan gawai dan tingginya penetrasi internet mendongkrak pertumbuhan bisnis e-commerce di Ibu Pertiwi.

Studi terbaru dari McKinsey menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-9 sebagai negara dengan nilai e-commerce terbesar di dunia. Nilainya meroket hampir enam kali lipat, dari hanya USD8 miliar di 2018, menjadi USD43 miliar di 2021.

Elemen terpenting dari pesatnya pertumbuhan e-commerce adalah kehadiran pengecer (reseller) atau distributor yang diberi predikat oleh Mckinsey sebagai "unseen engine." Musababnya, 85% pedagang di pasar e-commerce adalah pengusahan UMKM yang bertindak sebagai reseller atau distributor

Di Indonesia, para reseller bisa terdiri dari individu yang berusaha sampingan hingga jaringan sekelompok orang yang membeli dan menjual kembali barang sebagai basis utama sumber penghasilan.

McKinsey menganalisa bahwa segmen reseller dalam e-commerce mewakili potensi pendapatan yang cukup besar. Terhitung bahwa gross merchandise value (GMV), akumulasi nilai perdagangan situs dalam periode tertentu, diperkirakan sebesar USD115-125 miliar, setara Rp1.912,5 triliun (asumsi kurs Rp15.300/USD)

Untung 100 Kali Lipat

Banyaknya individu yang tertarik terjun ke bisnis pengecer tentunya didorong kisah sukses dari usaha ini. Ambil contohnya Mona Mejia, ibu rumah tangga berusia 44 tahun asal Amerika Serikat (AS) yang berhasil meraup pendapatan tahunan USD735.000 atau setara Rp11,25 miliar di tahun 2021.

Merujuk reportase Business Insider, Mejia memulai bisnisnya tanpa modal sepeser pun sebagai reseller melalui melalui platform Poshmark. Dirinya menjual sebuah gaun dari lemarinya seharga USD36 setelah 11 jam. Sejak saat itu, Mejia mendaftar barang yang dimilikinya yang dapat dijual.

Dirinya juga menjual beberapa perhiasan sebagai modal untuk membeli barang yang ditawarkan di garage sell atau clearance sell untuk bisa dijual kembali. Hampir semua barang Mejia jual ulang. Mulai dari pakaian, sepatu, perlengkapan rumah dan anak-anak, aksesoris, hingga barang mewah.

Mejia mengungkapkan dirinya sebenarnya tidak punya bakat khusus untuk memilih barang apa saja yang akan membawa untung. Dia hanya membuat lebih banyak daftar dan mempertahankan tingkat profitabilitas dengan menjual barang yang dibelinya dengan harga murah.

Salah satu “barang mengerikan” yang berhasil ia jual adalah sepasang celana "flamingos and frogs" seharga USD100 setelah dia membelinya hanya seharga USD1.

Mejia mulai merambah ke platform reseller lainnya yang membuat pendapatan USD100-200 yang dia hasilkan per minggu berubah menjadi USD1.000. Ini membuatnya meraup total pendapatan hampir USD50.000 di tahun pertamanya.

Pada tahun 2021, ia mulai berjualan melalui live streaming Instagram, TikTok, dan Facebook, hingga membuat bisnisnya benar-benar berkembang pesat. Mejia berpendapat bahwa siapa pun bisa meraih kesuksesan sebagai reseller.

Kiat-kiat usaha yang dilakukan Mejia untuk meraih kesuksesannya adalah dengan terus bekerja keras dan berkomitmen, karena bagi Mejia saja, butuh waktu tujuh tahun untuk mencapai posisinya sekarang.

Contoh nyata lainnya adalah Muhammad Muntashor dan istrinya Nur Rahmawati Fauziah, pendiri Moonzaya yang mengawali usahanya dengan menjadi reseller.

Dalam wawancara mereka dengan akun YouTube Pecah Telur, disebutkan bahwa masa awal bisnis mereka berdiri diawali dengan menjadi reseller yang mengambil produk langsung dari Jakarta untuk didistribusikan di Sidoarjo.

Bunda Yuzi, sapaan untuk Nur Rahmawati Fauziah memang sebelumnya sudah memiliki bisnis di bidang fashion. Tetapi, ia berusaha meningkatkan bisnis dengan menambah produk fashion lainnya berupa tas.

Tingginya minat pembeli di Sidoarjo dan masih minimnya persaingan di kota ini, membuka peluang bisnis yang lebar baginya untuk menjadi pelopor yang menyediakan tas dengan harga terjangkau yang dijual secara grosir.

Tak lepas dari persaingan bisnis, Bunda Yuzi dan suami sempat mengalami hambatan pada bisnis reseller tas white label - produk yang diproduksi oleh pihak ketiga untuk dijual dengan branding dan logo sendiri.

Ketatnya persaingan harga, desain yang dijiplak oleh kompetitor, sampai masalah tidak konsistennya kualitas tas dari produsen pemasok produk, sudah sempat mereka alami. Ini membuat mereka akhirnya belajar untuk memproduksi produknya sendiri berdasarkan pengalaman yang didapatkan selama menjadi reseller.

Kesamaan cerita antara Mona Mejia dengan pasangan Muhammad Muntashor dan Nur Rahmawati Fauziah adalah pemanfaatan peluang di waktu yang tepat. Cerdas melihat potensi dan mengubahnya menjadi penghasilan tambahan agar dapat berkembang pesat, sangat menggiurkan untuk diikuti, bukan?

Jujur Bangun Reputasi

Meskipun jenis usaha ini sudah digeluti banyak orang, peluang untuk mendapatkan cuan masih terbuka dan bisnis reseller masih menggiurkan. Namun terdapat tantangan yang wajib diketahui jika ingin terjun ke bisnis ini.

Dalam studinya, McKinsey menyebutkan bahwa pengecer di Indonesia masih kurang terlayani dengan hambatan baik dari sisi margin yang tipis, minimnya informasi atas permintaan dan tidak memiliki akses premium dari platforme-commerce.

Terlebih lagi, jika pengecer memanfaatkan fitur social-commerce, di mana jumlah views, engagement dan penjualan tidak konsisten. Hal ini menyulitkan pengecer untuk memahami potensi dan permintaan konsumen.

Infografik Side Job

Infografik Side Job. tirto.id/Fuad

Meskipun begitu, tidak perlu berkecil hati karena terdapat beberapa tips terutama bagi pemula yang baru ingin memulai. Business News Daily menyebutkan hal yang utama adalah dengan selalu pertahankan kejujuran dan ketelitian untuk membangun reputasi menjadi penjual yang baik serta aktif berinteraksi dengan pelanggan.

Menggunakan foto produk yang berkualitas juga dapat membantu meningkatkan minat dan menghindari kekecewaan pelanggan terhadap produk yang tidak sesuai dengan harapan.

Selain itu, penting juga untuk memperhitungkan dengan baik berapa margin keuntungan yang pas, agar pelanggan tetap mendapatkan produk dengan harga terjangkau tanpa membuat reseller merugi.

Jangan lupa juga untuk memasarkan produk dengan baik. Tentukan brand image yang sesuai dan manfaatkan media sosial sebagai sarana promosi adalah salah satu cara meningkatkan penjualan. Apalagi saat ini, live streaming di media sosial bisa dilakukan dengan mudah.

Terakhir, pastikan pembayaran setiap produk yang dikirim sudah dikonfimasi. Ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya penipuan yang mengakibatkan kerugian.

Peluang menjadikan reseller sebagai usaha sampingan yang menggiurkan di tengah perkembangan zaman, membuktikan bahwa asalkan ada kemauan, apapun bisa dijadikan sebagai penghasilan tambahan.

Terlebih lagi dengan meningkatnya penggunaan internet pasca Covid 19 dan adanya platform e-commerce global, peluang bagi mereka yang baru ingin memulai usaha menjadi reseller semakin terbuka.

Pasalnya, lebih mudah mendapatkan pasokan produk dari luar negeri yang bisa dipasarkan kembali ke marketplace lokal maupun lewat media sosial dengan live streaming.

Semua yang telah diutarakan sebelumnya, sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Jerome McCarthy seorang Marketing Professor di Michigan State University yang mengembangkan konsep Marketing Mix, yaitu penerapan 4P (Product, Price, Place, Promotion).

4P ini telah dikenalkan oleh Jerome McCarthy pada tahun 1968 melalui artikelnya yang berjudul “Basic Marketing. A Managerial Approach” dan masih relevan untuk digunakan saat ini.

Pada model bisnis reseller sendiri, penerapan 4P berlaku dengan tersedianya produk (product) yang akan dijual dari e-commerce global, penerapan harga (price) yang bersaing, memanfaatkan e-commerce lokal sebagai tempat berjualan (place), dan memaksimalkan promosi (promotion) dengan media sosial.

Potensi keuntungan yang besar menanti para reseller yang mau membangun jaringan lebih luas. Bahkan, bukan tak mungkin, reseller yang sebelumnya hanya menjual produk siap pakai, akhirnya justru menjadi produsen yang memasok kebutuhan para reseller.

Baca juga artikel terkait RESELLER atau tulisan lainnya dari Arindra Ahmad Fauzan

tirto.id - Mild report
Kontributor: Arindra Ahmad Fauzan
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas