Menuju konten utama

Rencana KPU Tandai Caleg Eks Koruptor Rentan Digugat

KPU mempertimbangkan pencantuman informasi soal caleg bekas koruptor di TPS dan surat suara. Usulan ini rentan digugat jika KPU tak perhatikan sejumlah hal.

Rencana KPU Tandai Caleg Eks Koruptor Rentan Digugat
Warga mengamati daftar nama-nama dalam pengumuman daftar calon legislatif sementara DPR RI untuk Pemilu tahun 2019 di kantor KPU Pusat, Jakarta, Selasa (14/5/2018). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempertimbangkan usulan memberi tanda kepada calon anggota legislatif bekas narapidana korupsi—dan mantan pelaku tindak pidana berat lain—di tempat pemungutan suara (TPS) hingga surat suara. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan usulan ini akan dibahas dalam rapat pleno.

Wacana ini muncul setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang isinya antara lain melarang bekas narapidana korupsi (koruptor), bandar narkoba, dan pelaku kejahatan seksual kepada anak menjadi caleg. Langkah ini diharapkan membuat pemilih benar-benar tahu siapa calon wakilnya.

MA belum melansir berkas putusan uji materi PKPU itu di situs resminya. Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan kepada Tirto kalau salinan putusan baru dikirim ke KPU pada Senin (17/9/2018) malam.

Peneliti hukum dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Hifdzil Alim mengapresiasi usulan menandai caleg bekas koruptor di TPS agar masyarakat diuntungkan. Meski begitu, tetap ada yang harus diperhatikan KPU termasuk risiko digugat kembali. Soalnya, Hifdzil menilai Pasal 240 ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih multitafsir.

Pasal itu menyebut eks narapidana perkara dengan ancaman di atas lima tahun bui bisa menjadi caleg jika sudah mengumumkan ke publik soal statusnya sebagai mantan terpidana. Multitafsir ada pada frase: “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”

“Yang mengumumkan calegnya atau KPU? Masih multitafsir,” ujar Hifdzil kepada Tirto, Senin (17/9/2018).

Sementara aturan di PKPU 20/2018 soal pengumuman status caleg eks terpidana masih lemah. Sebab, kata dia, hanya ada kewajiban mengumumkan di media massa. Itu pun bisa dilakukan sekali saja.

“KPU harus memastikan, informasi status caleg eks koruptor diumumkan ke pemilih, minimal selama masa kampanye sampai hari pencoblosan,” kata dia. “Hak publik untuk tahu harus dijamin.”

Karena itu, kata Hifdzil, salah satu alternatif bagi KPU ialah membuat peraturan yang mewajibkan para caleg mantan koruptor untuk mengumumkan status mereka sebagai eks terpidana korupsi di semua atribut kampanyenya, seperti: poster, baliho, gambar dan lainnya.

“Atribut kampanye mereka harus memuat keterangan kasus korupsinya apa, hukumannya berapa. Lalu, harus diatur pula besar font huruf tulisannya, minimal sama dengan font nama caleg,” ujarnya.

Mantan komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay sependapat dengan Hifdzil soal risiko. Ia menyebut, risiko itu perlu dihitung KPU agar upaya menandai para caleg eks koruptor tidak gampang dihambat. Namun, dia menilai risiko besar penjegalan aturan KPU hanya muncul jika keterangan eks koruptor dituliskan di surat suara.

Sebab, menurut dia, Pasal 342 UU Pemilu sudah mengatur apa saja materi di surat suara para caleg, yakni gambar dan nomor urut partai, nomor urut dan nama caleg, serta foto calon. Meski aturan teknis masih mungkin dibuat dalam PKPU, Hadar memprediksi pemberian tanda bagi caleg eks narapidana korupsi di surat suara membuka celah pertentangan karena sudah ada ketentuan umumnya di UU.

"Selain itu, ada kerumitan secara teknis [pencetakan surat suara]. Tulisannya juga kecil-kecil," ujar dia.

Di luar surat suara, Hadar menambahkan, UU Pemilu memberi ruang luas bagi KPU untuk membuat publik tahu siapa saja caleg eks narapidana korupsi. Ia menjelaskan Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu sudah memuat kalimat “mengumumkan” dan ketentuan teknis turunannya bisa diatur di PKPU.

“Ada dasarnya. KPU tinggal memastikan informasi itu [riwayat hidup caleg bekas koruptor] mudah diakses oleh publik dengan cara sederhana dan dikeluarkan di tempat yang pas,” kata Hadar.

Selain bisa dipublikasikan di situs KPU, nama caleg eks koruptor juga bisa diumumkan "di darat". Ia mencontohkan KPU dapat mencantumkan keterangan “eks koruptor” pada gambar daftar caleg yang dipublikasikan di tempat-tempat umum, seperti di kantor kelurahan dan termasuk pula TPS.

Selain itu, Hadar mengingatkan KPU dan Bawaslu perlu membuat kesepakatan di awal tentang aturan pengumuman para caleg eks koruptor ke publik. Ia mengatakan kasus “kegagalan” KPU di penerapan larangan eks koruptor menjadi caleg berkaitan erat dengan sikap Bawaslu yang menentangnya.

“Ada ketidakkompakan penyelenggara pemilu yang begitu kuat,” ujar dia. “Maka harus betul-betul dipastikan, KPU dan Bawaslu satu perahu sebelum aturan diundangkan. Agar tidak ribut di belakang.”

Infografik CI Caleg Koruptor

Beda dengan larangan mendaftar bagi caleg bekas koruptor, Bawaslu nampaknya tak akan beda suara dengan KPU soal mencatatkan riwayat caleg. Ketua Bawaslu, Abhan menyerahkan sepenuhnya keputusan menandai caleg eks koruptor ke KPU.

“Bagi kami, minimal CV dari calon itu harus dibuka,” katanya.

Ada 41 caleg eks koruptor. 38 calon adalah bakal caleg DPRD kabupaten/kota dan provinsi, sedangkan tiga lainnya calon anggota DPD.

Baca juga artikel terkait PILEG 2019 atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Politik
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Rio Apinino