tirto.id -
"Mahkamah agung fokus pada yang diadili saja. Mahkamah Agung mengadili berdasar hukum," kata Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah di gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (17/9/2018).
Meskipun enggan menyikapi niatan tersebut, Mahkamah Agung siap memberikan fatwa tentang niatan KPU. Namun, mereka menyarankan agar niatan tersebut harus dilakukan sesuai aturan yang ada. Ia menilai, niatan tersebut harus kembali kepada masyarakat dan partai politik (Parpol) terkait.
"Kembali pada masyarakat dan parpol, terpulang kepada masyarakat dan Parpol," kata Abdullah.
MA memutuskan mantan narapidana korupsi boleh maju dalam Pemilu 2019 usai mengabulkan gugatan Peraturan KPU pada Kamis 13 September kemarin. MA membatalkan pasal 4 ayat 3 dan pasal 11 PKPU nomor 20 tahun 2018 tentang caleg DPR, DPRD provinsi dan DPRD kota/kabupaten.
Hakim beralasan mengabulkan gugatan tersebut karena pasal 4 ayat 3 tersebut dianggap melanggar pasal 240 ayat 1 g undang-undang 7/2017 tentang pemilu serta pasal 12 UU 11 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Keputusan MA ini disoroti Indonesia Corupption Wacth (ICW) sebagai lembaga swadaya masyarakat yang intens dalam masalah korupsi di Indonesia.
Peneliti ICW Donal Faridz menyarankan KPU mengambil langkah agar pemilih tetap bisa mengetahui siapa saja caleg yang pernah menjadi narapidana kejahatan serius, terutama di kasus korupsi.
Donal mencontohkan, KPU bisa memberikan tanda terhadap caleg, yang pernah terbukti terlibat korupsi, di dalam surat suara. Langkah ini, menurut Donal, sesuai wacana yang pernah dilempar Presiden Jokowi, bahwa caleg eks koruptor tidak perlu dilarang melainkan “ditandai” saja.
"Kalau itu dilakukan tentu akan merugikan partai. Maka cara yang paling bijak sekarang adalah partai [sebaiknya] tidak mencalonkan orang tersebut [eks koruptor] untuk menghindari polemik dan kerugian [di pemilu]," ujar Donal di kantor ICW, Kalibata Timur, Jakarta, pada Minggu (16/9/2018).
Editor: Agung DH