tirto.id - Pada Jumat (6/3/2020) sekitar pukul 09.00 WIB, remaja perempuan, NF, berangkat dari rumahnya menuju ke Polsek Tamansari, Jakarta Barat. Hari itu ia tak bersekolah, meski mengenakan seragam sekolah. Tiba di sana, ia menemui polisi dan mengaku telah membunuh seorang anak.
Dia sempat lepas seragamnya dan mengenakan jilbab putih, baju lengan panjang motif kotak berkelir cokelat, celana panjang biru muda yang ada motif kucing di dengkulnya, ketika berada dalam ruangan polisi.
Menerima informasi itu, kepolisian setempat melimpahkan kasus itu ke Polsek Sawah Besar lantaran domisili siswi SMA berusia 15 tahun itu ada di kawasan Karang Anyar RT 004/006 Nomor 41, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Polisi menyambangi kediaman gadis berinisial NF itu guna melakukan verifikasi terkait informasi pembunuhan. Di dalam sebuah lemari, polisi menemukan jasad anak perempuan, mulutnya disumpal kain dan badannya 'dibedong' sprei pula. Jasad itu tertutup pakaian yang digantung dan ditumpuk pakaian.
Lantas polisi memeriksa NF atas dugaan pembunuhan terhadap bocah berinisial APA (5), anak tetangga yang juga teman adiknya. Hasil pemeriksaan dan olah tempat kejadian perkara (TKP) yakni dia terinspirasi film horor Chucky dan anime Slender Man.
"Pengakuan dari NF, dia melakukan dengan kesadaran dan terinspirasi oleh film," kata Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto Heru di kantornya, Jumat (6/3/2020).
Peristiwa ini bermula pada 5 Maret 2020, sekitar pukul 16.00, ketika pelaku mengajak korban ke kamar mandi dengan dalih meminta tolong diambilkan mainan di dalam bak mandi.
Kepala APA ditenggelamkan NF ketika bocah itu berada di dalam bak sekitar lima menit. Pelaku juga menyumpal mulut korban agar tak berteriak. Setelah tubuh korban melemas lalu pelaku memasukkan tubuh korban ke ember dalam keadaan terikat.
Jenazah urung dibuang sore itu karena takut ketahuan warga, maka NF menyimpan jasad APA di dalam lemari. Esoknya ia mengaku ke polisi. Kini pihak RS Bhayangkara Tingkat I Raden Said Soekanto, Jakarta Timur, memeriksa kejiwaan pelaku. Hasilnya belum diketahui.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengatur anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satunya diversi, pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Komisioner Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina menyatakan kasus pembunuhan merupakan salah satu perkara yang tidak bisa dilakukan diversi.
"Maka upaya hukum harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak sesuai mandat UU SPPA," ucap dia ketika dihubungi Tirto, Senin (9/3/2020).
Menilik kasus ini, lanjut Putu, dengan mempertimbangkan aspek internal maupun eksternal maka anak lebih prioritas untuk dilakukan pengobatan medis maupun psikososial dalam bentuk rehabilitasi.
Hal ini bertujuan agar kejahatan yang sama tidak terulang. "Tentu saja menunggu diagnosis medis, psikologis anak serta latar belakang keluarga atau pengasuhan yang mungkin menjadi salah satu pemicu pembunuhan tersebut," tutur Putu.
Dia berpendapat tontonan saja tidak cukup mendorong anak melakukan pembunuhan lantaran banyak anak usia seperti NF yang hobi menonton film horor atau thriller, tapi tidak serta-merta menuntun anak melakukan kejahatan.
Pihaknya akan mengawasi proses hukum NF, memastikan hak-hak hukum berjalan baik serta merekomendasikan agar anak direhabilitasi dan diobati melalui terapi tertentu. Putu juga mengingatkan pengawasan yang lebih baik oleh orang tua terhadap anaknya; mengimbau pemerintah pusat maupun daerah membangun sistem pencegahan anak dari kekerasan; dan membuat regulasi tayangan yang berpotensi memiliki adegan kekerasan yang mudah ditiru anak.
Putu melanjutkan jika NF dipenjara, dampak bagi anak dan lingkungan juga harus dipertimbangkan pada saat keluar penjara nanti. "Apakah selama di dalam [penjara] anak jadi jera?" ujar dia.
Dugaan Kejiwaan NF Terganggu
Psikolog Klinis Rahajeng Ikawahyu berpendapat terlalu dangkal kalau mengklaim film adalah pemicu pelaku nekat beraksi. Jika betul film horor jadi pemicu, bisa dibayangkan ada berapa banyak pembunuhan yang bisa terjadi. "Jadi perasaan puas tidak bisa dikaitkan begitu saja dengan menonton filmnya," kata dia ketika dihubungi Tirto, Senin (9/3/2020).
Menurut Rajaheng, yang harus dicari tahu adalah apa yang memengaruhi pelaku hingga muncul hasrat ingin membunuh. Yang pasti ada teori dasar berpikir, misalnya teori faktor genetik turunan, faktor lingkungan maupun faktor neurologis melalui pindai otak.
"Ada teori yang mengatakan para pelaku kriminal itu ada bagian otak tertentu yang mengenal rasa dan empati, yang tidak berkembang atau malah tidak ada," jelas dia. Artinya dalam kasus ini, belum bisa diketahui secara spesifik apa pemicu utama NF.
"Karena pasti akan dilihat dari keseharian anak ini sesuai pengakuan dia, nanti hasilnya akan dibandingkan dengan pengamatan orang lain di sekitarnya. Kalau sesuai, tandanya dia jujur dan mungkin akan bisa ada data pemicunya," tutur Rahajeng.
Pelaku pembunuhan, kata Rahajeng, tidak semudah itu menghilangkan hasrat menyakiti bahkan membunuh. Persoalan hasrat membunuh, yang seharusnya diperhatikan adalah kemampuan mengontrol. Boleh jadi hasratnya tidak lenyap, tapi pelaku diajarkan mengontrol.
Lantas apa hukuman yang cocok untuk NF?
Rahajeng berpendapat hukuman ideal untuk kasus seperti NF di Indonesia belum ada. Idealnya adalah program yang bisa memberikan pemahaman tentang moral, aturan dan kasih sayang.
Secara umum, tidak menyinggung perbuatan NF saja, ada istilah Conduct Disorder. Anak-anak kategori ini yang melakukan beberapa perilaku melanggar aturan seperti membolos maupun menyiksa binatang. "Ada banyak kriterianya. Kalau mau mendiagnosis seseorang, ada batasan jumlah perilaku yang muncul dan waktu terjadinya," ucap dia.
"Di luar kasus ini, yang utama adalah bagaimana membangun lingkungan yang sehat mental dan penuh kasih sayang bagi anak. Karena pada kenyataannya pengaruh lingkungan pada anak bisa jadi lebih kuat daripada faktor genetika," imbuh Rahajeng.
Sementara, psikolog anak Anna Surti Ariani menjelaskan secara umum ihwal impulsivitas. Semisal keluhan yang berujung pada tindak kekerasan, termasuk pembunuhan dan dilakukan tiba-tiba.
"Mungkin ada masalah dalam pengaturan dirinya terkait impulsivitasnya," ujar dia ketika dihubungi Tirto, Senin (9/3/2020).
Indikator impulsivitas seperti kecenderungan melakukan kekerasan atau intimidasi terhadap orang lain maupun binatang. Bisa juga remaja melanggar peraturan, pemberontakan, perusakan barang, pencurian. "Jika anak mengalami kriteria itu, mungkin saja dia mengalami gangguan tersebut," imbuh perempuan yang kerap dipanggil Nina.
Akibat pembunuhan ini, khalayak melabeli NF sebagai psikopat. Padahal, lanjut Anna, label psikopat tidak bisa diberikan kepada orang di bawah usia 18 tahun karena kepribadian dalam umur tersebut belum matang, masih dalam proses pembentukan dan masih sangat mudah berubah. "Maka terbuka kesempatan untuk ditangani dengan baik, sehingga dia tidak jadi psikopat di masa depannya," terang Nina.
Hukuman penjara belum menjamin pelaku jera. Bisa berhasil, bisa tidak. "Bisa iya [berhasil] jika ada pendampingan, ada terapi psikologis, sehingga dia memahami efek perilakunya," jelas Nina.
Namun jika sekadar dipenjara, mungkin saja pelaku mendapatkan 'ilmu baru' dari tahanan lain, tidak membuat kapok pelaku. "Jadi penjara anak dan remaja harus berbeda dari penjara dewasa."
Menurut Nina, terkait perkembangan mental anak, menciptakan situasi kekeluargaan dan kenyamanan menetap di rumah menjadi hal yang penting. Anak yang tumbuh dalam keluarga penuh kehangatan, lanjut Nina, maka tidak ada tempat bagi anak untuk mengekspresikan kekerasan.
Orang tua juga harus disiplin dalam mengontrol kesalahan anak. "Kalau anak salah, harus mendapatkan konsekuensinya. Bukan berarti anak melakukan kesalahan, lalu dibiarkan saja," tegas dia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri