tirto.id - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan rekomendasi yang meminta ada pembatalan tiga poin aturan dalam revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan rekomendasi mengenai peraturan yang akan mulai berlaku pada 1 April 2017 itu muncul setelah lembaganya menggelar rapat internal. KPPU berharap Kementerian Perhubungan menindaklanjuti rekomendasi ini.
KPPU menganggap ketiga poin di aturan itu perlu diubah. Ketiganya ialah penetapan batas bawah dan atas tarif bagi taksi konvensional maupun online, penentuan kuota armada dan kewajiban bagi taksi online memiliki STNK atas nama badan hukum.
"KPPU sebenarnya mendukung pemerintah untuk menetapkan pengaturan yang menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha penyedia jasa angkutan taksi," kata Syarkawi di siaran persnya pada Selasa (28/3/2017) seperti dilansir Antara.
Akan tetapi, menurut dia, tiga aturan tersebut berpotensi menghambat inovasi di sektor jasa transportasi dan terciptanya pasar yang kompetitif.
Di dalam rekomendasinya itu, KPPU meminta pemerintah menghapus kebijakan penetapan batas bawah tarif yang selama ini juga diberlakukan untuk taksi konvensional. Sebagai gantinya, pemerintah diminta mengatur penetapan batas atas tarif saja.
Menurut Syarkawi, penetapan tarif batas bawah akan berdampak membuat industri jasa angkutan taksi secara keseluruhan tidak efisien dan tak inovatif. KPPU juga khawatir aturan ini semakin memahalkan tarif bagi konsumen dan menjadi pendongkrak inflasi.
"Regulasi batas atas dapat menjadi pelindung bagi konsumen dari proses eksploitasi pelaku usaha taksi yang (selama ini) strukturnya bersifat oligopoli," kata Syarkawi.
Rekomendasi KPPU lainnya menyarankan pemerintah tidak mengatur kuota atau jumlah armada taksi konvensional maupun online yang beroperasi di suatu daerah. Syarkawi menyatakan penentuan jumlah armada ini lebih baik diserahkan kepada mekanisme pasar. Setiap pelaku usaha diyakini akan menyesuaikan jumlah armada sesuai kebutuhan konsumen.
Namun, Syarkawi mengimbuhkan, pemerintah selaku regulator harus mengawasi secara ketat pemegang lisensi jasa angkutan dan tegas memberikan sanksi berupa pencabutan izin operasi bila kinerja operator taksi konvensional maupun online tidak memenuhi standar pelayanan minimal.
KPPU juga menyarankan agar pemerintah menghapus aturan tentang kewajiban untuk taksi online memiliki surat tanda nomor kendaraan (STNK) yang diharuskan atas nama badan hukum. "Kewajiban STNK kendaraan taksi online atas nama badan hukum memiliki makna pengalihan kepemilikan dari perseorangan kepada badan hukum," kata dia.
Syarkawi mengatakan pemerintah sebaiknya mengembangkan regulasi yang dapat mengakomodasi sistem taksi online dengan badan hukum koperasi, yang asetnya dimiliki oleh anggota, untuk memberikan ruang bagi masyarakat yang ingin terlibat di industri jasa taksi online.
"Pemerintah seharusnya melihat peluang untuk mengembangkan sharing economy dari taksi online ini, dengan mengubah tatanan di mana pelaku perseorangan bisa masuk ke dalam industri," ujar dia.
Rekomendasi KPPU ini satu suara dengan kritik tiga perusahaan transportasi online, yaitu Grab, Uber dan Go-Jek ke isi Permenhub 32/2016. Ketiga perusahaan itu juga meminta pemerintah membatalkan tiga ketentuan yang dikritik oleh KPPU.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom