tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengklaim reklamasi di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, yang dasar hukumnya Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020, terbit 24 Februari lalu, merupakan “kegiatan untuk melindungi warga Jakarta dari bencana banjir”.
Pernyataan lengkap soal ini ia sampaikan dalam video berjudul Ada Apa Dengan Ancol, dirilis di Instagram, Sabtu (11/7/2020).
Bagaimana bisa demikian? Salah satu penyebab banjir adalah ada waduk dan sungai yang mengalami pendangkalan atau sedimentasi. Itu membuat keduanya tak bisa menampung air dengan maksimal. Pemprov DKI lantas melakukan pengerukan, yang sejak 11 tahun terakhir telah dilakukan terhadap 13 sungai sepanjang 400 kilometer dan 30 waduk. Pengerukan sudah menghasilkan lumpur 3,4 juta meter kubik (m3). Lumpur inilah yang ditimbun di kawasan Ancol.
Saat ini baru 20 hektare kawasan Ancol timur yang direklamasi, sementara izin yang tertera dalam kepgub seluas 155 hektare. Sisanya akan dikerjakan di kemudian hari menggunakan material dari proyek-proyek lain.
Ia lantas membandingkan dengan reklamasi 17 pulau--yang kini izinnya telah dicabut. Menurutnya, reklamasi itu “bukan membantu mengendalikan banjir, tapi malah berpotensi menghasilkan banjir” karena mengganggu aliran sungai ke laut lepas, terutama pulau-pulau yang berhadapan langsung dengan daratan.
Dikritik
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), organisasi yang cukup lantang menentang reklamasi Jakarta, menilai reklamasi dapat mencegah banjir merupakan alasan klise yang diulang-ulang pemerintah provinsi. Alih-alih reklamasi, “Jakarta bisa bebas banjir dengan menyetop pembangunan gedung-gedung tinggi yang mengekstraksi air tanah. Ini sebuah kecacatan,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati, Minggu (12/7/2020).
Beban bangunan serta ekstraksi air tanah besar-besaran, tulis Syifa Saputra dkk, “menyebabkan penurunan permukaan tanah.” Ini adalah ancaman serius bagi kota-kota pesisir di seluruh dunia, “terlebih di negara berkembang yang belum memiliki kemampuan cukup untuk mengatasi hal itu.” Bappenas pernah menyebut rata-rata penurunan muka tanah Jakarta sekitar 7,5 cm per tahun, bahkan di Pluit, Jakarta Utara, penurunan mencapai 18 cm per tahun.
Susan juga mengatakan penjelasan Anies bahwa reklamasi pakai lumpur hasil pengerukan “tidak make sense dan cenderung menyesatkan masyarakat.” Menurutnya, reklamasi tak bisa hanya pakai lumpur yang bersifat cair. Ia juga membutuhkan material padat--yang tak dijelaskan Anies dalam videonya.
Komisi B DPRD DKI Fraksi PSI Viani Limardi juga mengkritisi pernyataan bahwa reklamasi dibutuhkan untuk menampung lumpur hasil pengerukan.
“Proyek reklamasi ini adalah keputusan bisnis yang sudah direncanakan sejak lama oleh Ancol, bukan akibat pengerukan sungai dan waduk. Di laporan tersebut (Laporan Tahunan PT Pembangunan Jaya Ancol Tahun 2009 dan 2010) dituliskan bahwa lahan reklamasi akan dikembangkan menjadi pusat rekreasi, resort, bisnis, dan hunian,” ucap Viani. “Mohon pak Anies jangan mengada-ada.”
Banyak Hal Kurang Maksimal
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga menyebut banyak hal yang tidak maksimal dikerjakan Anies untuk mencegah banjir. Misalnya menata 13 bantaran kali baik dengan cara naturalisasi maupun normalisasi dan merelokasi warga yang tinggal di bantaran.
Awal tahun lalu, ketika Jakarta diterjang banjir besar, kader PSI di DPRD DKI mengatakan proyek naturalisasi/normalisasi ala pemprov tak jelas konsepnya. Serapan anggarannya pun buruk, hanya 20 persen.
Selain itu, perlu upaya serius dalam merevitalisasi 109 situ, danau, hingga embung. Juga merehabilitasi saluran air kota, termasuk menertibkan bangunan yang berdiri di atasnya.
Pemprov juga perlu menambah ruang terbuka hijau (RTH). Oktober lalu, menurut Dinas Kehutanan, DKI hanya punya 9,9 persen RTH. Mereka baru menargetkan 30 persen RTH, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, 2030 nanti.
“Ini yang tidak banyak dilakukan oleh Gubernur dalam mengendalikan banjir,” kata Nirwono kepada reporter Tirto, Senin (13/7/2020).
Jika semua kebijakan itu dilakukan, kata Nirwono, “proses reklamasi akan berhenti dengan sendirinya karena pasokan sedimentasi akan berkurang atau hilang seiring dengan perbaikan lingkungan badan-badan air tersebut.”
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino