tirto.id - (Bagian pertama artikel ini dapat dibaca di tautan berikut).
Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang paling lama yang meninggal karena ditembak pada 8 Juli lalu, dikenal luas sebagai sosok konservatif sekaligus nasionalis garis keras. Pandangan tersebut membuat rekam jejaknya memiliki banyak sisi kelam.
Menormalisasi Sejarah Berdarah
Salah satu sisi kelam yang paling sering disorot ketika membicarakan Abe adalah bahwa ia bagian dari kelompok sayap kanan terbesar di Jepang yang dibentuk pada 1997, Nippon Kaigi. Nippon Kaigi bercita-cita mengembalikan kejayaan kekaisaran yang penuh darah. Mereka juga bertekad menormalisasi militerisme sehingga menormalisasi bahkan mengelak telah mencatatkan sejarah kelam.
Ideologi inilah dasar mengapa pada 2013 lalu Abe mengunjungi Kuil Yasukuni dan mendoakan arwah tentara Jepang termasuk para penjahat perang (Abe mengulang ritual ini tak lama setelah mundur sebagai perdana menteri pada 2020).
Sikap ini memicu kemarahan publik Cina dan Korea Selatan. Yasukuni dianggap simbol agresi Tokyo selama Perang Dunia II. Ketika itu Jepang menduduki sebagian besar Cina dan semenanjung Korea.
Dikutip dari The Economist, anggota Nippon Kaigi kerap bertindak keras terhadap pihak yang berseberangan dengan mereka. Nippon Kaigi, misalnya, pernah mengajukan petisi atau meneror lewat telepon penyelenggara pameran bertema kejahatan perang Jepang di masa lalu.
Nippon Kaigi jugalah pihak yang berupaya menjadikan hari ulang tahun Hirohito, Kaisar Jepang era perang, sebagai hari libur nasional.
Organisasi ini berupaya menjejalkan kepercayaan mereka kepada masyarakat sejak dini, yaitu lewat institusi pendidikan. Mereka pernah mengumpulkan 3,6 juta tanda tangan untuk meloloskan aturan hukum yang mengharuskan patriotisme diajarkan kepada murid sekolah.
Upaya ini berbuah manis. Pada periode pertama administrasi Abe tahun 2006-2007, pemerintah mengesahkan peraturan yang menjabarkan bahwa pendidikan bertujuan mendorong murid agar “menjunjung tinggi tradisi bangsa dan budaya, serta menumbuhkan sikap cinta kepada bangsa dan tanah air.”
Pada 2013, administrasi Abe mengadvokasikan pemakaian buku teks konservatif dengan nilai-nilai patriotisme yang kuat meski itu ikut berperan melengserkannya saat pertama berkuasa pada 2007 silam. Kala itu, administrasi Abe berusaha menghapus kalimat tentang tentara Jepang yang memaksa warga sipil di Okinawa untuk bunuh diri massal pada era perang.
Upaya tersebut membuahkan hasil pada 2017. Sebanyak 50 SMP dilaporkan menggunakan buku teks sejarah yang tidak menyinggung ribu kematian dalam Pembantaian Nanking 1937 maupun 400 ribu perempuan yang dipaksa jadi budak seks tentara Jepang.
Buku tersebut juga mengindikasikan bahwa serangan pilot Jepang ke Pearl Harbour pada 1941 dapat dijustifikasi karena pemerintah AS lebih dulu menabuh genderang perang dengan menerapkan embargo.
Selain buku teks, Kementerian Pendidikan juga mengizinkan diajarkannya lagi bela diri yang akarnya dari pelatihan tentara pada dekade 1930-an, jūkendō, di tingkat SMP.
Abe juga memberikan dukungan finansial kepada lembaga sayap kanan. Pada 2017, ia dan istrinya, Akie, disinyalir memberikan donasi sampai satu juta yen (kira-kira lebih dari 100 juta rupiah) untuk Moritomo Gakuen, lembaga pendidikan di Osaka yang dibuat oleh kelompok sayap kanan. Moritomo Gakuen mengoperasikan taman kanak-kanak dengan misi mengajarkan “patriotisme dan kebanggaan” lewat sistem pendidikan yang terinspirasi era militeristik pra-Perang Dunia II.
Ketika itu, meski tak ada aturan yang dilanggar, Abe tetap dikritik karena dianggap melakukan sesuatu yang tidak etis.
Terungkap pula bahwa Abe dan kepala sekolah tersebut, yang suka memberikan komentar-komentar merendahkan tentang masyarakat Cina dan Korea, Yasunori Kagoike, sama-sama anggota Nippon Kaigi.
Nippon Kaigi begitu penting bagi Abe sampai-sampai seorang peneliti, Tamotsu Sugano, mengatakan ia tidak mungkin kembali ke pucuk pemerintahan pada pemilu 2012 tanpa dukungan dari organisasi ini. Sebanyak 289 dari 480 dewan di parlemen Diet adalah anggotanya, dan sejumlah besar dari mereka berasal dari partai penyokong Abe, LDP. 10 dari 19 anggota kabinet Abe juga anggota Nippon Kaigi, sementara Abe menjabat sebagai “penasihat khusus”.
Mengancam Kebebasan Pers
Sisi kelam lain adalah administrasi Abe berusaha memberangus media yang dianggap bias atau kritis terhadap pemerintah.
Salah satu buktinya adalah pada 2013 lalu pemerintah meloloskan peraturan yang dapat memenjarakan wartawan sampai lima tahun jika mereka mengulik informasi yang termasuk kategori rahasia negara. Lalu, setahun kemudian, kawan dekat Abe, pebisnis konservatif Katsuto Momii, diangkat jadi kepala NHK, jaringan berita utama nasional. Momii menegaskan siarannya tidak boleh tidak mendukung pemerintah.
Harian liberal berhaluan tengah-kiri yang sirkulasinya termasuk paling tinggi, Asahi Shimbun, dimusuhi oleh administrasi Abe dan kalangan nasionalis sebab mereka gencar melayangkan kritik. Salah satunya tentang keterbatasan keamanan dan pemotongan anggaran di balik bencana Fukushima ketika pemerintah justru masih gencar mengampanyekan pemanfaatan energi nuklir.
Pada 2014, Asahi merilis permohonan maaf karena pada dekade 1980-1990 pernah menerbitkan reportase tentang budak seks era perang yang narasumbernya tidak kredibel. Beberapa artikel ditarik. Akibatnya, kalangan konservatif jadi punya alasan untuk menyudutkan media ini: menyebut riwayat tentang budak seks hanya bualan belaka dan menyebarluaskan pandangan bahwa para perempuan di negeri jajahan tidak dipaksa melainkan memang ingin melacurkan tubuhnya.
Pemerintah turut andil memanaskan suasana. Koichi Nakano, pakar politik dari Sophia University di Tokyo, mengatakan pada Washington Post bahwa “pemerintah berusaha—dan tindakan mereka menuai sukses di Jepang—untuk membuat kesan bahwa isu tentang comfort women adalah fabrikasi dari Asahi.”
Abe sendiri menyebut reportase Asahi sudah menimbulkan “penderitaan banyak orang dan mendiskreditkan posisi Jepang di mata komunitas internasional.”
Kemudian, pada 2016, giliran Mendagri Sanae Takaichi yang bicara. Ia mengancam media massa akan kehilangan hak siar jika menyampaikan berita politik secara tidak berimbang.
Tak berapa lama, tiga penyiar yang dikenal berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam tentang kebijakan pemerintah kehilangan pekerjaan. Kabarnya, sebelum (terpaksa) pergi atau mengundurkan diri, bos-bos mereka sempat pergi makan malam bersama Abe.
Iklim penuh intimidasi ini memicu sensor mandiri, yaitu ketika wartawan menyeleksi sendiri konten-konten kritis demi menghindari persekusi dari penguasa.
“Ancaman dari pemerintahan Abe terhadap independensi media, pergantian staf media dalam beberapa bulan terakhir dan bertambahnya sensor mandiri oleh outlet media terkemuka, membahayakan fondasi demokrasi di Jepang,” demikian simpulan laporan Reporters Without Borders pada 2016.
Atas semua ini, tidak heran jika indeks kebebasan media di Jepang merosot. Indeks kebebasan pers tahun itu menempatkan Jepang di peringkat ke-72 dari 180 negara—turun drastis dari peringkat ke-11 pada 2010.
Ambisi Merevisi Konstitusi
Ambisi terbesar yang mencerminkan ideologi Abe tidak lain adalah merevisi konstitusi pasifis. Pasal 9 melarang Jepang memiliki militer yang ofensif. Tujuannya agar mereka tak lagi menjadi negara imperialis. Aturan ini dibuat setelah Jepang kalah Perang Dunia II dan ketika sedang diduduki Sekutu yang dipimpin AS.
Keinginan ini telah Abe upayakan terus-menerus, tapi tidak pernah kesampaian sampai masa baktinya selesai.
Hasil paling pol tercatat pada 2014, yaitu diadopsinya resolusi tentang interpretasi ulang pasal 9. Penafsiran baru ini memungkinkan pasukan bela diri dikirim ke luar negeri untuk melindungi rakyat Jepang yang terancam konflik, membantu divisi persenjataan di militer AS ketika sedang melindungi Jepang, atau menyokong militer asing di zona nontempur.
Setahun kemudian, ketika Abe mencoba mengajukan RUU ke parlemen agar pasukan Jepang diizinkan membela negara lain yang diserang musuh, ia disambut dengan gelombang protes. Jumlahnya sampai 120 ribu demonstran, terbesar kedua sejak protes antinuklir pada 2011.
Suara publik tentang wacana revisi konstitusi pun terpecah belah. Sampai Mei 2020, survei oleh media sayap kiri maupun kanan menunjukkan suara pro dan kontra masing-masing berkisar di angka 40-an persen. Selain itu, revisi juga dipandang sulit dicapai karena partai penyokong Abe, LDP, sangat bergantung pada mitra junior Komeito, partai yang mayoritas basis pendukungnya adalah pasifis.
Pada waktu sama, Abe berusaha memperkuat posisi militer Jepang dan teknologi pertahanannya, dari mulai membuka keran ekspor senjata sampai menghapus batas anggaran belanja militer yang sebelumnya maksimal hanya satu persen dari PDB. Tujuannya, menurut Abe, tak lain untuk “melindungi bangsa kita, melindungi nyawa rakyat Jepang dengan efisien, dengan mempertimbangkan situasi keamanan di Asia-Pasifik termasuk situasi keuangan.”
Advokasi Abe berbuah manis. Setelah Abe mundur, elite partai LDP terus mengupayakan agar Jepang ikut memenuhi target NATO (meskipun bukan anggota), yakni dua persen anggaran militer dari PDB atau kira-kira sampai 10 triliun yen. Seiring itu, anggaran militer menunjukkan tren naik sejak era Abe, sampai akhirnya mencapai rekor tertinggi 5,4 triliun yen untuk tahun anggaran 2022.
Keseriusan administrasi Abe dan penerusnya di sektor pertahanan juga tercermin dari konsistensi pasukan Jepang selama satu dekade terakhir bergabung dalam pelatihan angkatan laut terbesar di dunia: Rim of the Pacific Exercise (RIMPAC). Program ini dinakhodai oleh militer AS dan berlangsung setiap dua tahun.
Ironisnya, partisipasi pasukan marinir Jepang atau Maritime Self-Defense Force (MSDF) di RIMPAC tahun ini berlangsung persis pada hari Abe tewas ditembak oleh seseorang yang kebetulan pernah jadi bagian dari MSDF.
Editor: Rio Apinino