Menuju konten utama

Regulasi yang Membuat Mahal Harga Minyak Goreng menurut KPPU

KPPU melihat ada sejumlah aturan yang menghambat masuknya pemain baru di industri minyak goreng sehingga membuat harga tidak stabil.

Regulasi yang Membuat Mahal Harga Minyak Goreng menurut KPPU
Karyawan menunjukkan minyak goreng kemasan yang dijual di salah satu minimarket di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (19/1/2022). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.

tirto.id - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan ada sejumlah aturan yang menghambat masuknya pemain baru di industri minyak goreng, mulai dari kewajiban pasokan bahan baku hingga standar nasional.

Padahal, dibutuhkan lebih banyak pemain baru di industri minyak goreng agar kestabilan harga bahan pokok itu bisa terjaga.

"Kami melihat regulasi pemerintah belum mendorong industri minyak goreng karena masih banyak regulasi yang menghambat adanya pemain baru di industri minyak goreng," kata Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Renamanggala dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis (20/1/2022) dilansir dari Antara.

Mulyawan memaparkan regulasi pertama yang menghambat masuknya pemain baru di industri minyak goreng adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Dalam aturan tersebut disebutkan untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan, maka perusahaan harus memenuhi sekurang-kurangnya 20 persen kebutuhan bahan baku yang berasal dari kebun sendiri.

"Kami telah mengirimkan surat pada 2007 ke Presiden untuk cabut kewajiban 20 persen tersebut karena kewajiban tersebut kami nilai saat itu menyebabkan kurangnya persaingan usaha di industri turunan CPO dan turunannya. Dan ini terbukti saat ini," katanya.

Mulyawan juga mengungkapkan kebijakan lain yakni Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 46 Tahun 2019 terkait pemberlakuan SNI wajib minyak goreng sawit.

Selain itu Mulyawan mengatakan pihaknya berharap pemerintah terus mendorong munculnya pelaku usaha lokal, khususnya yang berada di wilayah penghasil CPO.

"Skalanya tidak perlu besar, tapi mereka dapat memenuhi kebutuhan lokal dan tidak terintegrasi dengan pelaku usaha CPO atau perkebunan," katanya.

Hal itu dilakukan agar semakin banyak pasokan minyak goreng dan pelaku usaha minyak goreng, maka dominasi perusahaan besar di industri minyak goreng bisa dikurangi.

"Dengan demikian harga minyak goreng relatif akan lebih stabil," katanya.

Mulyawan juga menyarankan agar pelaku usaha mendorong adanya kontrak terkait pasokan CPO dengan produsen CPO guna menjamin harga dan pasokan. Hal itu juga dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan harga minyak goreng di tengah tingginya harga CPO global.

Sebelumnya berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019 terlihat bahwa sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar. Empat perusahaan ini juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin dan minyak goreng.

Dengan struktur pasar yang seperti itu, maka industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoli.

Sebagai komoditas global, harga CPO akan menyebabkan produksi minyak goreng harus bisa bersaing dengan produk CPO yang diekspor.

Hal itu menyebabkan ketika harga CPO global sedang tinggi, maka produksi minyak goreng kesulitan mendapatkan bahan baku lantaran produsen akan lebih mengutamakan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Baca juga artikel terkait HARGA MINYAK GORENG

tirto.id - Bisnis
Sumber: Antara
Editor: Bayu Septianto