Menuju konten utama

Ratusan Peneliti Madya Dipensiunkan, Bagaimana Nasib Riset?

Muhammad Dimyati menolak anggapan bahwa regulasi yang mengatur soal Batas Usia Pensiun (BUP) peneliti kontraproduktif.

Ratusan Peneliti Madya Dipensiunkan, Bagaimana Nasib Riset?
Ilustrasi penelitian stem sel. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Puluhan orang yang menamakan diri Peneliti Korban PHK Asosiasi Peneliti Madya Indonesia melakukan aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/6/2018). Mereka mengkritik kebijakan pemerintah soal Batas Usia Pensiun (BUP) bagi Pejabat Fungsional Peneliti Madya yang diatur dalam PP No. 11/2017 tentang Manajemen PNS [PDF].

Ketua Peneliti Korban PHK Asosiasi Peneliti Madya Indonesia, Masri Wendy Zulfikar mengatakan, akibat kebijakan itu, 208 peneliti madya dipensiunkan mendadak pada 2017. Secara kumulatif jumlah ini akan bertambah menjadi 556 yang berpotensi pensiun dalam waktu dekat, sementara 1.188 peneliti madya berpotensi pensiun dalam kurun 5 tahun ke depan.

Artinya, kata Wendy, setiap bulan rata-rata 15 orang Peneliti Madya akan dipensiunkan. “Sebanyak 12 persen peneliti Indonesia akan hilang berapa pun jumlahnya,” kata Wendy kepada Tirto, di Jakarta, Kamis kemarin.

Hal itu adalah imbas pemberlakuan PP No.11/2017 yang terbit pada 7 April 2017. Regulasi ini mengatur soal Batas Usia Pensiun (BUP) yang ditentukan pada Pasal 239 ayat (2) huruf b, yang menyebutkan bahwa BUP pejabat fungsional madya 60 tahun.

Regulasi itu merevisi aturan yang telah berjalan 39 tahun di era pemerintahan 6 presiden sebelum Joko Widodo. Berdasarkan PP sebelumnya, yaitu PP No. 21/2014 tentang Pemberhentian PNS [PDF] menyebut bahwa jabatan fungsional Peneliti Madya dan Peneliti Utama yang ditugaskan secara penuh di bidang penelitian BUP-nya 65 tahun.

Wendy mengatakan saat ini angka rasio peneliti dengan jumlah penduduk di Indonesia adalah 89 peneliti berbanding satu juta penduduk. Hal ini, kata dia, kalah jauh bila dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya, seperti jumlah peneliti Brasil yang mencapai 700 orang per 1 juta penduduk, Rusia 3.000 peneliti per 1 juta penduduk, dan India 160 per satu juta penduduk.

“Kalau kami baru 89 orang. Jadi, kalau kita mau maju, sama kayak mereka [negara-negara maju] minimum mereka [pemerintah] menaikkan jumlah peneliti untuk bisa menggerakkan semua inovasi, kemandirian dan daya saing,” kata Wendy.

Sehingga, kata Wendy, bisa dibilang bahwa kebijakan pemerintah saat ini kontraproduktif dengan tujuan pembangunan bangsa. “Dia [Presiden Jokowi] punya cara sendiri yang saya tidak mengerti. Contoh dia mau melihat daya saing Indonesia naik, tapi gimana daya saing kita naik, ketika kita tidak memiliki orang-orang yang memang sengaja [meneliti] untuk itu. Jumlahnya sangat sedikit,” kata Wendy.

Menurut Wendy, PP No. 11/2017 juga tidak selaras dengan UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan (Sisnas P3 Iptek) yang mengamanahkan kepada pemerintah untuk menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sisnas P3 Iptek.

Sementara itu, Sekretaris Peneliti Korban PHK Asosiasi Peneliti Madya Indonesia, Sigit Asmara Santa mengatakan, PP No. 11/2017 justru memperburuk cerminan kemajuan penelitian di Indonesia. Selain soal jumlah peneliti yang sangat terbelakang dibandingkan negara-negara lainnya, ada pembiayaan penelitian yang masih sangat jauh tertinggal.

“Sekarang, jumlah biaya penelitian di Indonesia itu masih terbontot di dunia. Hanya 0,1 persen maksimal biaya riset per PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia. Sedangkan, di AS dan negara maju lainnya bahkan di Israel bisa 5-6 persen dari DGP,” kata Sigit.

Sigit menyatakan kebijakan pemerintah memensiunkan Peneliti Madya juga terkesan prematur. Alasannya, dalam PP maupun UU yang digunakan sebagai landasan hukum memensiunkan mereka yang berprofesi sebagai Peneliti Madya tidak menyebut istilah “Peneliti Madya,” melainkan jabatan fungsional madya. Menurut Sigit, kedua istilah itu tidak bisa disamakan.

Selain itu, kata Sigit, terdapat juga Peneliti Madya yang dipensiunkan sebelum petunjuk teknis (Juknis) diberikan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN). Juknis pertama kali keluar pada 15 September 2017, kemudian ada revisi dan terbit yang kedua pada 3 Oktober 2017.

Sigit menambahkan, penerapan aturan tersebut juga diskriminatif. Menurut dia, Peneliti Madya yang berumur lebih dari 60 tahun pada saat diberlakukannya PP 11/2017 dikecualikan dari ketentuan pensiun 60 tahun. Mereka tetap dipensiunkan saat berusia 65 tahun.

Hingga saat ini, kata Sigit, pihaknya belum pernah mendapat penjelasan pemerintah soal alasan pemotongan Batas Usia Pensiun (BUP) Peneliti Madya dari 65 menjadi 60 tahun. “Penggantian 65 jadi 60 tahun tidak pernah terungkap secara jelas,” kata Sigit.

Respons Kemenrisktekdikti

Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal (Dijen) Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti, Muhammad Dimyati mengatakan, PP No. 11/2017 merupakan amanat dari UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ANS), salah satunya untuk mengatur masa pensiun pegawai negeri (PNS).

Dimiati mengatakan, regulasi itu tidak hanya mengatur BUP peneliti madya, namun juga PNS secara umum dan fungsional. “Sebetulnya itu enggak peneliti madya saja yang dipangkas itu. Itu ada penelii ahli pratama jadi 58 [tahun] juga, yang 60 [tahun] itu yang peneliti madya, ahli utama tetap 65 tahun,” kata Dimiyati kepada Tirto, Jumat (29/6/2018).

Secara aturan, kata Dimyati, pegawai negeri yang sudah masuk BUP, tetap harus pensiun. Namun demikian, kata dia, ada kebijakan untuk beberapa kategori PNS yang tetap diperbantukan secara internal untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung.

“Peneliti yang bagian dari ASN/PNS, maka tergantung dengan kebijakan atau institusi yang bersangkutan. Kalau institusi dari kesehatan, maka kesehatan, LIPI, dan lain-lain,” kata dia.

Karena itu, kata Dimyati, ASN atau peneliti saat merencanakan kegiatannya harus disesuaikan dengan banyak hal, termasuk salah satunya soal usia yang bersangkutan. Prinsipnya, kata dia, meskipun menurut aturan harus berhenti, namun bisa saja ada kebijakan internal institusi.

Selain itu, Dimyati juga menolak anggapan bahwa regulasi yang mengatur soal BUP peneliti itu kontraproduktif. Saat ini, kata dia, pihaknya sedang mendorong UU Sinas P3 Iptek untuk memberikan kekhususan bagi para peneliti, misalnya bagi peneliti yang masih produktif tetap tidak langsung dipensiunkan.

“Kalau dia dalam catatan fungsional madya misalnya, dia lama enggak meneliti di umur 58 dan 60 tahun, maka dia pensiun. Tapi kalau dia masih meneliti, cuma kurang persyaratan untuk menjadi peneliti utama, ya dievaluasi, dikasih waktu berapa lama lagi,” kata dia.

Dimyati menambahkan “kami sedang mendorong dalam tahap itu. Sekarang pemerintah sedang mengevaluasi kerja ASN, termusuk peneliti berdasarkan kinerjanya.”

Bagaimana Nasib Riset di Indonesia?

Peneliti Madya, Sri Kuncoro mengatakan, pemotongan BUP Peneliti Madya tentu dapat mempengaruhi kinerja penelitian. Menurut dia, secara kumulatif jumlah peneliti berkurang, dan ada gap besar antara peneliti madya dengan peneliti junior di bawahnya.

Kuncoro mencontohkan bidang penelitian yang ditanganinya, yaitu radiasi nuklir. Menurut dia, gap pengalaman antara peneliti madya dengan tingkatan peneliti di bawahnya ada 20 tahun. “Nah, jenjang itu gap-nya jauh, yang menyenangi bidang radiasi nuklir, seperti saya. Baru anak baru yang selisih pengalamannya 20 tahun, masak 20 tahun bisa dikejar? Enggak bisa kan,” kata Kuncoro.

Ia menerangkan, penelitian bukan sesuatu yang bisa dikerjakan saat ini juga, melainkan harus melalui jenjang karier yang bertahap panjang untuk mengasah kemampuan menciptakan produk penelitian.

Kuncoro lantas menjelaskan soal cakupan pekerjaannya dalam membuat proteksi radiasi nuklir saat reaktor beroperasi. Penelitian tersebut, kata dia, berguna untuk mengeksplorasi manfaat nuklir dengan mengantisipasi munculnya bencana nuklir yang terjadi, seperti di Fukushima Daiichi, pada 11 Maret 2011.

“Dan itu berapa tahun kami melakukan itu? Saya sendiri sudah bekerja 30 tahun di bidang itu,” kata Kuncoro.

Ia menambahkan “junior saya, anak yang baru masuk 1 tahun. Saya dan Pak Sigit sebentar lagi pensiun, siapa yang akan menangani setelahnya? Ya nanti kalau ada pekerjaan tentang desain reaktor untuk proteksi radiasi dan sebagainya, bisa jadi enggak ada yang mengerjakan. Itu kerugian berapa miliar,” kata dia.

Karena itu, kata Kuncoro, pihaknya akan tetap berjuang menolak kebijakan pemerintah yang diatur dalam PP No. 11/2017. Menurut Kuncoro, dirinya bersama dengan para Peneliti Madya yang tersebar di 43 kementerian/non-kementerian berencana untuk melakukan aksi demo lebih besar dan akan mengembalikan Satyalancana Karya Satya para Peneliti Madya, sebagai ungkapan kekecewaan.

“Pengabdian selama 30 tahun kami kembalikan kepada Jokowi. Itu adalah klimaks kami karena tidak menghargai pengabdian kami, maka akan kami kembalikan seluruh Satyalancana Karya Satya,” kata Kuncoro.

Lantas, bagaimana dengan nasib penelitian di Indonesia ke depan?

Baca juga artikel terkait PENELITIAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz