Menuju konten utama

Ratusan Dokter Tolak Program Dokter Layanan Primer

Ratusan dokter di Sulawesi Tenggara dan Gorontalo menggelar aksi demonstrasi menolak program Dokter Layanan Primer. Aksi itu dilakukan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke-66.

Ratusan Dokter Tolak Program Dokter Layanan Primer
Sejumlah dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melakukan aksi damai dengan membentangkan spanduk di halaman DPRD Temanggung, Jateng, Senin (24/10). Dalam aksi yang mengusung tema Reformasi Sistem Kesehatan dan Sistem Pendidikan Kedokteran yang Pro Rakyat itu mereka mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah di antaranya revisi UU Pendidikan Kedokteran dan penurunan pajak obat dan alat kesehatan. ANTARA FOTO/Anis Efizudin.

tirto.id - Kurang lebih ada 2000 dokter menggelar aksi damai dengan tuntutan dihapuskan program Dokter Layanan Primer (DLP). Para dokter menganggap kebijakan tersebut memberatkan dokter dan membebani APBN.

"Aksi damai merupakan puncak dari berbagai usaha yang telah dilakukan untuk menyadarkan pemerintah mengenai persoalan dokter," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Ilham Oetama Marsis di Jakarta, Senin, (24/10/206).

Menurut dia, negara harus mengeluarkan uang hingga Rp300 juta per tahun untuk satu orang dokter selama menjalani program DLP. Sementara, di Indonesia terdapat lebih dari 100 ribu dokter yang harus menjalani DLP.

Marsis mengatakan sebaiknya pemerintah mengalihkan dana DLP yang besar itu untuk perbaikan tata kelola penyebaran dokter dan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia.

Aksi damai tersebut terjadi di berbagai daerah, antara lain ratusan dokter di Sulawesi Tenggara dan Gorontalo. IDI Sulawesi Tenggara gelar aksi damai di Kendari, Senin (24/10/2016) dengan membentangkan poster penolakan konsep pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) dengan cara berjalan dari Alun-Alun Kendari menuju kantor DPRD Sultra untuk menyampaikan aspirasi tersebut.

Ketua IDI Sultra dr Junuda Raf memberikan orasi yang menyatakan bahwa program DLP akan memberatkan calon dokter dan merendahkan serta meragukan kompetensi dokter yang selama ini telah melayani masyarakat di layanan primer. Padahal, menurutnya, selama ini para dokter sudah melalui proses uji kompetensi untuk sertifikasi.

“Jika program regulasi Dokter Layanan Primer terlaksana, dokter nanti diwajibkan kembali mengikuti uji kompetensi dengan biaya cukup mahal untuk mendapatkan status DLP agar bisa berpraktik di masyarakat,” ujar Junuda.

Senada dengan IDI Kendari, ratusan dokter yang tergabung dalam IDI cabang Gorontalo juga menolak program studi DLP dengan melakukan aksi damai. Ketua IDI Gorontalo dr Irianto Dunda mengatakan pihaknya menolak DLP karena disetarakan dengan dokter spesialis.

“Kami juga menuntut agar pemerintah mempercepat pendirian Fakultas Kedokteran di Provinsi Gorontalo,” ungkap Irianto seperti dikutip kantor berita Antara.

Dalam aksi damai yang mengambil tema “Reformasi Sistem Kesehatan dan Sistem Pendidikan Kedokteran Pro Rakyat” itu, juga disampaikan tuntutan agar biaya pendidikan dokter diturunkan supaya orang miskin bisa menjadi dokter. Mereka juga menuntut agar pajak obat dan alat kesehatan diturunkan serta layanan BPJS diperbaiki.

Selain menggelar aksi damai, IDI Gorontalo juga menggelar pelayanan pengobatan kepada masyarakat.

Menanggapi aksi damai tersebut, Wali Kota Gorontalo Marthen Taha mengapresiasi aksi yang berlangsung tertib dan damai, berupa orasi dan tuntutan dalam bentuk doa dan puisi.

“Tugas kami tentunya menyalurkan aspirasi ini ke Pemerintah Pusat, karena ini adalah kebijakan yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia,” jelas Taha.

Baca juga artikel terkait KEDOKTERAN atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh