tirto.id - Ratna Sarumpaet adalah anak menteri. Ayahnya memang pernah jadi Menteri Pertanian dan Perburuhan. Bukan dalam kabinet pemerintah yang sah dan berpusat di Jakarta, melainkan di kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra pada akhir 1950-an. Waktu itu, Ratna Sarumpaet masih kecil. Ibunya, Julia Hutabarat, adalah aktivis perempuan.
Menurut sebuah situs yang menceritakan kisah hidup Ratna, ayahnya adalah sekretaris jenderal pertama Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Sementara ibunda Ratna pernah menjadi anggota Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955. Meski orang tuanya adalah orang penting di Dewan Gereja Indonesia, ketika remaja Ratna tertarik dengan Islam dan akhirnya jadi mualaf.
Saladin Sarumpaet, bapak Ratna, seperti disebut surat kabar Jawa Bode (13/1/1956), bersikap kritis sebagai wakil rakyat. Dia pernah mengkritisi soal pelarangan film Marthen Luther yang katanya dilarang di beberapa daerah di Indonesia. Dia pun bertanya kepada Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Suwandi. Selain itu, ayahnya ikut menyunting Kamus Batak-Indonesia bersama saudarinya, Riris Sarumpaet.
Saat ini, orang mengenal Ratna sebagai aktivis, bahkan tak sedikit yang sepakat dia adalah politisi. Berseberangan dengan pemerintah bukan hal aneh baginya. Seperti ayahnya, Ratna Sarumpaet kerap berurusan dengan aparat pemerintah. Seperti dicatat Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi (2008: 329), Saladin pernah hendak ditahan oleh pemerintah (Kabinet Djuanda) sehari setelah PRRI diproklamasikan pada 15 Februari 1958. Dalam hal ini, Ratna memang tidak jauh beda dengan ayahnya.
Melawan Soeharto
Jika ayahnya dikaitkan dengan PRRI yang sudah kena cap sebagai gerakan separatis, maka Ratna tak selalu terkait dengan kelompok tertentu. Hanya, saat ini dirinya dikaitkan dengan Prabowo Subianto. Ratna termasuk golongan pro #2019gantipresiden. Padahal, dulu Ratna juga musuh dari mertua Prabowo. Kesamaan Prabowo dan Ratna adalah sama-sama anak dari tokoh PRRI.
Di zaman Orde Baru, waktu Jenderal Besar Soeharto masih berkuasa, Ratna Sarumpaet termasuk pembela buruh. Dia membela Marsinah, aktivis buruh perempuan yang dibunuh ketika memperjuangkan hak buruh di tempatnya bekerja. Untuk para buruh dan Marsinah, Ratna membuat pertunjukan Marsinah Menggugat di beberapa kota. Meski di Lampung, Bandung, dan Surabaya dibubarkan paksa.
Tak hanya soal Marsinah. Dosa Orde Baru terkait penderitaan rakyat Aceh pun disuarakan. Ratna mengaku dalam pengantar di buku naskah drama Anak-anak Kegelapan (2004: ix), dirinya mencari tahu soal dampak dari operasi militer pada bulan puasa 2002. Sepengamatan Ratna, operasi keamanan membuat masjid-masjid kosong di waktu tarawih.
“Ia membela Marsinah dan Rakyat Aceh tanpa peduli dengan cara itu dia harus berhadapan dengan penguasa orde baru pada masa di mana nyaris seluruh rakyat Indonesia diam meski pelanggaran HAM terjadi di depan mata,” tulis Joel Thaher dalam buku tersebut (hlm. 167).
Di dalam naskah drama itu, Ratna juga bercerita tentang korban G30S. Ia menyatakan, naskah ini sudah dicita-citakan sejak lama.
“Proses penulisan Anak-anak Kegelapan adalah proses paling sulit yang saya lalui dibandingkan naskah-naskah lain,” tutur Ratna (hlm. viii).
Dirinya mengaku, “mempertanyakan diatas panggung kebenaran sebuah tragedi seburuk dan serumit G30S, keakuratan dan obyektifivitas, bagaimanapun sangat mutlak.” Untuk itu, Ratna melakukan serangkaian wawancara. Baginya, membicarakan korban G30S adalah membicarakan sikap dan perilaku buruk Orde Baru.
Bakat menulis Ratna setidaknya diasah dari masa sekolah. Dia memulainya dengan menulis puisi, sebelum belakangan bisa menulis naskah drama.
Menurut Chrisye dalam memoarnya yang ditulis Alberthiene Endah, Chrisye: Sebuah Memoar Musikal (2007: 58), Ratna adalah salah satu kawan sekelasnya waktu sekolah di PSKD Menteng. Dia suka menulis puisi dan membacakannya di muka kawan-kawannya. Seingat Chrisye, di masa sekolah dulu, Ratna Sarumpaet punya rasa percaya diri yang tinggi—sebuah sifat yang masih terlihat hingga hari ini.
Ratna yang pernah kuliah arsitektur di Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini akrab dengan dunia teater sejak muda. Setelah menyaksikan Kasidah Berzanji yang dipentaskan kelompok teater W.S. Rendra, dia kian yakin untuk menggeluti dunia itu. Setidaknya pada 1974, dia sudah aktif di kelompok drama Satu Merah Panggung, yang mementaskan kisah-kisah dari luar negeri.
Ibunda dari Atiqah Hasiholan ini sukses juga di dunia film. Salah satu filmnya, Jamila dan Sang Presiden (2010), mewakili Indonesia di ajang Piala Oscar untuk kategori film berbahasa asing.
Pada 1993, Ratna menjadikan teaternya sebagai alat perjuangan politik. Menjelang Pemilu 1997, Ratna dan teaternya ikut bergabung dalam kampanye partai yang bukan partai kesayangan Orde Baru, Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Jangankan di masa Orde Baru, di era setelahnya, Ratna pun tak ragu untuk menjadi oposisi. Dengan Orde Baru saja berani, apalagi yang bukan Orde Baru.
Perempuan kelahiran 16 Juli 1949 ini pernah ditahan rezim Orde Baru pada Maret 1998 dengan tuduhan hendak makar. Itu bukan terakhir kalinya Ratna kena tuduh makar. Di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ratna yang bagi-bagi Sembako pada Maret 2013 juga dituduh hendak makar. Personil TNI dan panser mereka pun harus menjaga emak-emak satu ini.
Di zaman Joko Widodo (Jokowi), pada akhir 2016, Ratna kena tuduh hendak makar lagi. Kali ini bersama kelompok 212.
Editor: Ivan Aulia Ahsan