Menuju konten utama
Periksa Data

Ramai Social Commerce, Bagaimana Tren Belanja Warga Indonesia?

Sejak April 2023, terus terjadi penurunan Indeks Penjualan Riil (IPR) selama tiga bulan berturut-turut hingga bulan Juli.

Ramai Social Commerce, Bagaimana Tren Belanja Warga Indonesia?
Header Periksa Data Ramai Social Commerce, Bagaimana Tren Belanja Warga Indonesia?. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pemerintah resmi melarang media sosial merangkap platform perdagangan (social commerce) seperti TikTok Shop yang belakangan jadi sorotan.

Aturan itu termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023, sebagai penyempurna Permendag 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menilai, konsep social commerce merugikan lantaran ada algoritma yang bisa memengaruhi konsumen, sehingga mengancam bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

"Perdagangan adil jadi bagaimana sosial media ini tidak serta merta menjadi e-commerce. Karena apa? karena ini algoritma nih," kata Budi Arie usai rapat terbatas soal social commerce di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/9/2023).

Keputusan pemerintah tersebut bergema pasca beberapa pedagang di Tanah Abang mengeluh sepi pembeli dan mereka meminta pemerintah untuk segera menutup TikTok Shop. Salah satu poster yang sempat dipajang di area kumpulan kios pakaian, tekstil, dan barang rumah tangga tersebut berbunyi “Tolong pak, TikTok ditutup pak”.

Kondisi ini lantas memunculkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya tren belanja warga Indonesia?

Kinerja Penjualan Eceran Tetap Kuat Didorong oleh Kelompok Sandang

Konsumsi masyarakat sebetulnya terpantau lebih kuat dibanding tahun lalu pada bulan Juli 2023, tercermin dari perkiraan Indeks Penjualan Riil (IPR) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). Meski begitu, tren penurunan penjualan eceran selama tiga bulan berturut-turut terus terjadi hingga Juli.

Menurut data BI, pada Juli 2023, IPR tercatat di level 203,3, tumbuh positif sebesar 1,6 persen year-on-year (yoy). Perkembangan ini didukung oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau, serta subkelompok sandang yang tetap tumbuh positif.

Kendati mengalami kenaikan tahunan, penjualan eceran bulanan Juli tahun ini mengalami kontraksi sebesar 8,8 persen secara bulanan (month to month/mtm), terutama dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang mengalami kontraksi, serta kelompok bahan bakar kendaraan bermotor yang merosot.

Menurut BI, hal itu lantaran terjadi normalisasi aktivitas masyarakat setelah periode liburan sekolah dan cuti bersama Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idul Adha 1444 H selama 28 – 30 Juni 2023.

Perlu dicatat juga bahwa sejak IPR mencapai puncak dengan angka 242,9 pada bulan April 2023, sejak itu, terus terjadi penurunan IPR selama tiga bulan berturut-turut hingga bulan Juli, yang mengindikasikan penurunan penjualan eceran secara umum.

Adapun BI memperkirakan IPR Agustus 2023 mencapai 204,4 alias tumbuh positif sebesar 1,3 persen secara tahunan (yoy). Secara umum, kuatnya kinerja penjualan eceran tersebut didorong oleh subkelompok sandang yang meningkat (termasuk pakaian), serta perbaikan kelompok bahan bakar kendaraan bermotor, perlengkapan rumah tangga lainnya, barang lainnya, serta suku cadang dan aksesori.

Adapun secara bulanan, penjualan eceran diperkirakan tumbuh positif sebesar 0,5 persen mtm, yang artinya akan menjadi kenaikan IPR setelah penurunan selama tiga bulan.

Perkembangan tersebut terutama didorong oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau serta suku cadang dan aksesori yang meningkat, serta perlengkapan rumah tangga lainnya yang tetap kuat. BI menyebut, hal itu sejalan dengan kenaikan permintaan berkaitan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.

Apabila diamati sepanjang tahun 2023, penjualan eceran mulai melorot secara signifikan pada Mei. Selama bulan itu, IPR tercatat sebesar 223,5 atau secara tahunan terkontraksi sebesar 4,5 persen dan secara bulanan melambat sebesar 8 persen (mtm).

Penurunan tersebut terjadi pada seluruh kelompok, utamanya pada subkelompok sandang, makanan, minuman, dan tembakau, serta barang budaya dan rekreasi, sejalan dengan kembali normalnya konsumsi masyarakat pasca momen Ramadan dan hari raya Idul Fitri.

Aktivitas Belanja yang Dominan Online

Penjualan eceran secara tahunan memang nampak tumbuh jika mengacu pada IPR. Namun, transaksi itu kemungkinan besar banyak dilakukan secara daring.

Laporan terbaru We Are Social bersama Meltwater memperlihatkan bahwa pada awal 2023, persentase konsumen Indonesia yang melakukan transaksi belanja online mencapai 62,6 persen, melonjak sebesar 3,3 persen secara tahunan dibanding Januari 2022.

Jumlah warga Indonesia yang membeli barang habis pakai (consumer goods) via internet juga tercatat meningkat sejumlah 12,8 persen yoy, hingga menyentuh 178,9 juta orang pada Januari 2023. Kategori produk yang paling besar nominal belanjanya yakni barang elektronik, di mana nilainya mencapai 13,37 miliar dolar AS sepanjang 2022.

Menyusul berikutnya yaitu kategori permainan dan hobi, fesyen, perabotan, perawatan pribadi dan rumah tangga, makanan, media fisik seperti kaset atau vinyl, serta minuman.

Dalam laporan itu disebutkan, alasan mayoritas masyarakat Indonesia dalam belanja online adalah lantaran bebas biaya kirim, yang mana persentasenya mencapai 54,9 persen. Faktor lain yang juga dominan adalah adanya diskon (52,3 persen), bisa mengetahui penilaian dari pelanggan lain (52 persen), dan proses checkout yang mudah dan cepat (45 persen).

Tak mengherankan jika nilai total barang dagangan yang terjual di sektor e-commerce juga secara historis terus melesat. Google, Temasek, dan Bain & Company lewat laporannya berjudul “e-Conomy SEA 2022” mengungkap, capaian gross merchandise value (GMV) atau nilai penjualan barang di sektor e-commerce di Indonesia pada 2022 mencapai 59 miliar dolar AS, naik 22 persen dari 48 miliar dolar AS pada tahun sebelumnya.

Angka GMV e-commerce ini mengambil proporsi sebanyak 76,62 persen dari total GMV ekonomi digital Indonesia senilai 77 miliar dolar AS pada 2022. Tak berhenti di situ, masih dari data e-Conomy SEA, Indonesia juga diketahui menjadi negara dengan GMV ekonomi digital tertinggi se-Asia Tenggara.

Menyoal GMV ekonomi digital Asia Tenggara, Cube Asia melaporkan, pada 2022 penggunaan platform social commerce telah mendorong pertumbuhan transaksi ­e-commerce Asia Tenggara dengan estimasi nilai sekitar 42 miliar dolar AS, atau menyumbang GMV e-commerce Asia Tenggara sebanyak 25 persen.

Lebih jauh dari laporan tersebut, sebanyak 55 persen dari pengguna internet di Indonesia dan Thailand tercatat mengalokasikan pengeluaran untuk transaksi di platform social commerce, masing-masing sebesar 100 dolar AS dan 180 dolar AS, per pengguna, setiap tahun.

Temuan itu selaras dengan meningkatnya nilai transaksi belanja menggunakan uang elektronik yang tercatat dalam Statistik Sistem Pembayaran dan Infrastruktur Keuangan (SPIP) keluaran BI.

Selama April 2023, nilai transaksi belanja dengan uang elektronik di dalam negeri dilaporkan menyentuh angka Rp37,46 triliun, naik 1,4 persen mtm dan 5,8 persen lebih tinggi ketimbang April 2022.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty