Menuju konten utama

Rakyat Bersatu Bangun Lumbung Pangan tanpa Menunggu Pemerintah

Beberapa desa di Yogyakarta berinisiatif membuat program semacam 'lumbung pangan' untuk menghadapi COVID-19. Gerakan serupa ada di daerah lain.

Rakyat Bersatu Bangun Lumbung Pangan tanpa Menunggu Pemerintah
Warga antre untuk mendapatkan makan siang gratis di Lio Genteng, Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat, Jumat (10/4/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/pras.

tirto.id - Banyak cara diupayakan warga agar tetap bertahan hidup dalam situasi krisis seperti sekarang. Masyarakat di beberapa desa di Yogyakarta memilih membangun sistem ketahanan pangan secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah. Pangan dikumpulkan untuk didistribusikan kepada yang paling berhak dan membutuhkan.

Di RW 09 Dusun Candi Karang, Sardonoharjo, Sleman, warga membeli bahan kebutuhan pokok seperti beras, mi instan, dan telur dari dana patungan. Bahan pokok tersebut lantas disumbangkan untuk "warga yang kurang mampu, para pekerja yang dirumahkan, pedagang yang omzetnya turun drastis," kata Ketua RW 09 Pujono kepada reporter Tirto, Kamis (9/4/2020).

Beberapa hari terakhir, terutama sejak sejumlah orang di Yogyakarta termasuk di Kecamatan Ngaglik diketahui positif terinfeksi Corona COVID-19, warga betul-betul membatasi diri keluar rumah. Tak pelak, aktivitas yang terbatas membuat perekonomian ikut terpuruk, termasuk yang dialami 150 keluarga RW09 yang penghasilannya dari berdagang.

Dana patungan klaster pertama terkumpul Rp5 juta. Dari sana 21 warga mendapatkan paket berisi lima kilogram beras, telur, mi instan, dan kecap. Jenis sumbangan itu telah dipikir masak-masak karena banyak pula warga yang bekerja sebagai petani hortikultura. Jadi, bahan-bahan seperti cabai, tomat, dan mentimun masih bisa diperoleh dari tanah sendiri.

Selain dari warga, RW bekerja sama dengan takmir masjid untuk menggunakan kas atau infak dari jemaah. Rencananya pada periode kedua ini ada 41-50 warga yang akan mendapatkan paket sembako. Sistem ini akan terus berlanjut sampai pandemi COVID-19 lenyap.

Kepada Desa Sardonoharjo Herjuno Wiwoho mengatakan ia memang "mendorong warga untuk punya lumbung pangan di wilayah masing-masing," selain juga membangun lumbung pangan sendiri di tingkat desa.

Kepada reporter Tirto, Kamis (9/4/2020), ia mengatakan lumbung pangan dimaksudkan sebagai jaring pengaman sosial terutama bagi mereka yang kurang mampu dan harus mengisolasi diri secara mandiri.

Ia lantas mengatakan selain dari donasi mandiri warga, ada pula dana lain yang disisihkan dari Dana Desa. "Yang dianggarkan sekitar Rp350 juta. Ini untuk jangka panjang karena tidak bisa diprediksi sampai kapan."

Perangkat desa sedang mendata penerima bantuan pangan. Ia tak ingin bantuan tidak merata dan tumpang tindih dengan bantuan lain seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dari pemerintah pusat--jika ada.

Lumbung Pangan ala Muhammadiyah

Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah juga ikut menggerakkan pengaktifan lumbung pangan di tengah pandemi lewat Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazizmu).

Kepada reporter Tirto, Jumat (10/4/2020), ketua Lazizmu Hilman Latief menjelaskan konsep lumbung itu ada beberapa jenis. Pertama ada lumbung yang identik dengan gudang penyimpanan pangan dan hanya dapat dimanfaatkan oleh satu komunitas dalam keadaan mendesak, misalnya paceklik. Kedua, lumbung dapat juga berbentuk kerja sama pengelolaan bahan pangan. Apa yang dilakukan Muhammadiyah dan Lazizmu adalah konsep yang terakhir yakni membangun kerja sama dengan para petani dan peternak.

"Seperti itu juga lumbung, bukan hanya secara fisik," kata Guru Besar Studi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini. "Sekian produksi mereka akan menjadi bagian dari program kita. Misalnya petani beras dalam dua bulan diminta 10 ton, peternak ayam diminta 5 ton."

Tentu Lazizmu membayar mereka dengan angka yang layak. Bahan pangan ini lantas dikemas dan diberikan gratis kepada warga. "Paket yang kami distribusikan menjelang Ramadan ini cukup untuk sepekan," ujarnya.

Menurutnya cara ini juga menguntungkan produsen karena beberapa di antara mereka juga saat ini kesulitan menjual barang.

Hilman telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh pengurus Lazizmu di daerah untuk menyediakan gudang termasuk isinya dan juga mendata penerima manfaat. Salah satu contoh yang sudah berjalan di Kampung Nitikan, Umbulharjo, Yogyakarta. Lazizmu bekerja sama dengan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Nitikan dan pengurus kampung.

Tak Perlu Menunggu Pemerintah

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi yang terdiri dari serikat tani, masyarakat adat, juga nelayan dan kerap berkampanye soal 'reforma agraria sejati', pun mengaktifkan lumbung pangan yang mereka namakan 'lumbung agraria'. Mereka mulai memobilisasi hasil panen para petani yang harga jualnya semakin turun karena terdampak COVID-19.

Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan ada dua konsep lumbung agraria yang saat ini sedang dijalankan, yakni melalui insentif dan melalui donasi. Mekanisme pertama, KPA mengumpulkan hasil panen petani kemudian didistribusikan. Distribusi ini tidak dibuka secara umum tetapi hanya kepada jaringan serikat buruh, komunitas sektor informal, dan kaum miskin kota--yang paling terdampak pandemi.

Pengumpulan distribusi hasil petani ini dilakukan dengan protokol yang ketat. Setiap rumah tangga petani atau komunitas petani diminta untuk mengamankan persediaan sendiri terlebih dahulu untuk enam bulan, baru kemudian sisanya dijual ke KPA dengan harga normal.

"Kami memberikan insentif di level petani agar harga tidak anjlok tapi kita menjualnya juga tidak terlalu mahal. Misalnya beras pandan wangi Rp14 ribu, kita jual hanya Rp9.500. Jadi benar-benar harganya normal," kata Dewi kepada reporter Tirto, Kamis (9/4/2020)

Mekanisme kedua adalah lumbung agraria berbasis donasi dari para petani. Seperti namanya. Petani memberikan cuma-cuma hasil buminya untuk diberikan kepada yang berhak.

Bagi Dewi, di tengah situasi seperti sekarang, menunggu bantuan pemerintah sama sekali tidak tepat. Toh gerakan seperti ini sudah banyak dilakukan di sektor-sektor lain. "Kalau menunggu pemerintah, kita enggak tahu targetnya di mana, apakah tempat sasaran atau tidak," tegasnya.

Dalam konteks pertanian, apa yang hendak dilakukan pemerintah juga belum jelas. "Apakah memastikan hasil panen akan dibeli entah Kementan, Kemendes, atau Bulog. Sampai sekarang kami belum merasakan itu, sementara harga jual di tingkat petani semakin turun," ujarnya.

Meski inisiatif 'rakyat bantu rakyat' semakin berlipat ganda, ia menegaskan masyarakat tetap wajib menuntut hak pemenuhan hidup kepada pemerintah. "Kita tetap menuntut jaminan dari pemerintah yang by system dan sistematis," tegasnya.

Baca juga artikel terkait KRISIS PANGAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino