tirto.id - Rahaf Mohammed Alqunun menjadi simbol terbaru perjuangan yang sedang dilakukan oleh banyak perempuan di Arab Saudi.
Hal ini diungkapkan oleh Sarah Aziza jurnalis spesialisasi Timur Tengah, HAM, dan gender dalam opininya yang ditulis di Washington Post berjudul How Rahaf Mohammed Alqunun embodies the struggles of may Saudi women.
“Melalui perlawanannya yang berani, dia untuk sesaat telah menarik perhatian global pada perjuangan berkelanjutan para perempuan Arab Saudi,” tulis Sarah.
Rahaf melarikan diri dari keluarganya pada tanggal 5 Januari 2019. Remaja 18 tahun tersebut mencari suaka ke Australia setelah menderita secara fisik dan emosional oleh keluarganya. Ia juga diancam akan dibunuh karena meninggalkan Islam serta dipaksa menikah.
Ketika sampai di Bangkok, dia ditangkap dan berkonfrontasi dengan petugas di sana. Otoritas Thailand menyita paspornya dan diancam akan dideportasi untuk dikembalikan ke negaranya.
Rahaf menolak. Ia membarikade dirinya di dalam ruang hotel dan menulis dalam akun Twitternya @rahaf84427714 untuk meminta pertolongan. Dia mengatakan dirinya dalam bahaya.
Lalu badan pengungsian PBB (UNHCR) turun tangan untuk melindunginya. Pemerintah Australia juga tengah mempertimbangkan pemberian visa kemanusiaan untuk Rahaf.
Rahaf termasuk salah satu orang yang beruntung dibandingkan perjuangan perempuan Arab Saudi lainnya. Pada tahun 2017, Dina Ali Lasloom yang mencoba melarikan diri karena dipaksa menikah. Dia juga diancam akan dibunuh oleh keluarganya. Namun, Dina mengalami deportasi dan dikembalikan lagi ke negara asalnya. Saat ini nasibnya masih belum jelas.
“Banyak perempuan Arab Saudi lainnya yang digagalkan lebih cepat saat mereka bepergian sendiri. Mereka menjadi sasaran pengawasan yang ketat dari bandara domestik dan tak terhitung calon perempuan yang tak pernah berhasil mencapai penerbangan keluar,” tulis Sarah.
Kepergian Rahaf tanpa izin ayahnya melanggar dua hukum sekaligus, hukum Arab Saudi dan budaya. Hukum Arab Saudi menerapkan perwalian bagi perempuan di bawah umur. Ketika mereka tengah bepergian, menikah, membuka rekening bank, hingga mendapatkan paspor harus mendapat izin wali. Wali itu bisa jadi suami, ayah, paman, atau saudara lelakinya.
Hak-hak sipil dan kemanusiaan perempuan dikontrol oleh laki-laki. Banyak lainnya menghadapi perlakuan kasar di tangan kerabat dan pasangan. Serta kekerasan dalam rumah tangga merajalela di banyak komunitas Saudi, tetapi banyak yang tidak dilaporkan.
Di sisi lain, putra mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman al-Saud tengah memperjuangkan kesetaraan dan mempromosikan dirinya sebagai pembebas bagi perempuan. Ia juga berjanji meningkatkan partisipasi perempuan dalam masyarakat, seperti diberi kebebasan mengemudi.
“Baik di dalam maupun di luar Arab Saudi, perempuan Saudi harus mendorong kembali perlawanan terhadap kontrol patriarki, menolak untuk dihentikan oleh ketakutan,” jelas Sarah.
Penulis: Isma Swastiningrum
Editor: Yantina Debora