tirto.id - Rahaf Mohammed al-Qunun membuka lembar baru kehidupannya di Kanada. Setelah berhasil melarikan diri dari keluarga yang tak menerima keputusannya menjadi ateis, remaja 18 tahun itu akhirnya mendapat suaka dari Perdana Menteri Justin Trudeau.
Dalam wawancaranya dengan ABC Australia, Rahaf berkata, “Saya harap kisah saya bisa mendorong perempuan lain untuk menjadi berani dan bebas. Saya juga berharap ini mendorong perubahan hukum, terutama setelah dunia menyorotinya.”
Orang yang memilih menjadi ateis memang masih lekat dengan stereotip tak bermoral. Stereotip ini tidak hanya bertahan di negara dengan masyarakat yang konservatif seperti Arab Saudi, namun juga di negara sekuler seperti Amerika Serikat.
Nature Human Behaviour, seperti diwartakan BBC, membuktikan pernyataan ini lewat survei yang mereka lakukan pada 2017 silam.
Mengambil 3000 partisipan dari 13 negara dan 5 benua, Nature Human Behaviour menyuguhkan pertanyaan siapa yang paling berpotensi menyiksa hewan dan membunuh lima gelandangan.
Hasil survei itu menunjukkan bahwa, partisipan cenderung dua kali lebih memilih ateis yang berpotensi menjadi pelaku, daripada mereka yang teis (beragama).
Menurut Direktur Regional Dewan Humanisme Sekuler dan penulis Thought.co Austin Cline, moralitas ateis terwujud melalui banyak hal seperti kasih sayang, niat baik, empati, kehendak diri, kejujuran, hingga keadilan.
Menganggap moralitas adalah bagian yang terpisahkan dari ateis baginya sama saja dengan memisahkan hati dari tubuh.
Meski fungsi moralitas dan hati bisa dibicarakan secara terpisah, bukan berarti dua hal tersebut “bekerja” tanpa mendapat pengaruh dari hal lain.
“Kejujuran itu penting karena menyingkap kenyataan, dan informasi palsu hanya akan membuat kita marah. Saya pikir tidak ada moralitas tanpa kejujuran, tapi kejujuran bisa ada tanpa Tuhan. Selain itu, tanpa kehendak diri, moralitas juga hal yang mustahil karena itu menentukan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan orang,” kata Cline.
Nicholas Reece adalah orang tua tak beragama yang sepakat dengan pendapat Cline. Kendati sempat menjalani hidup sebagai orang Katolik, Reece tak ingin memperkenalkan Santa Claus pada putrinya sebagai sosok yang mengamati tingkah lakunya dalam satu tahun.
Dia juga sepakat bahwa anak-anak tak seharusnya dipaksa mengikuti pelajaran agama untuk membentuk moral mereka.
“Saya lebih senang menciptakan pembicaraan yang terstruktur tentang filosofi dan perbedaan salah dan benar dengan anak-anak saya. Pembicaraan ini bahkan bisa membuat kami mempertanyakan hidup yang pantas itu seperti apa. Jika dia sudah siap mengetahui siapa itu Santa Claus, saya akan menjelaskannya tanpa kebohongan,” ujar Reece.
Reece membuktikan bahwa moral bisa terbentuk tanpa dogma agama ketika putrinya memutuskan menjadi relawan bagi pengungsi.
Dia mengaku buku karangan Dr. Seuss menjadi salah satu medianya mengajarkan anak-anak dalam mengatasi masalah rasisme, lingkungan, hingga fasisme.
“Saya pikir sudah seharusnya ada upaya lebih dalam mempertimbangkan digantinya instruksi religius di rumah dan masyarakat,” tambah Reece.
Editor: Yandri Daniel Damaledo