Hasil referendum Turki telah menggariskan perubahan besar bagi sistem politik di Turki. Hasil yang menguntungkan Erdogan ini tak lepas dari dukungan para diaspora Turki khususnya di Jerman.
Hari Ahad lalu, referendum Turki digelar dan hasilnya Turki akan memakai sistem presidensial. Dengan sistem baru ini, kekuasaan Presiden Turki semakin besar dan Erdogan dimungkinkan berkuasa hingga 2029.
Berdasarkan pandangan hasil ketat referendum dan implikasinya yang luas terhadap amandemen konstitusi, Uni Eropa menyeru pihak berwenang Turki untuk mencari konsensus nasional seluas mungkin.
Referendum untuk perubahan konstitusi Turki akhirnya memenangkan Presiden Recep Tayyip Erdogan yang unggul tipis dari suara yang menolak, yang memulai babak baru sistem presidensial di Turki.
Sebanyak 55 juta orang memberikan suara di sedikitnya 167.140 tempat pemungutan suara di seantero Turki dalam referendum yang dimulai pukul 7.00 pagi waktu setempat.
Swiss menggelar aksi protes untuk menyerukan "Tidak" bagi pemungutan suara di Turki pada referendum 16 April mendatang. Aksi itu dinilai sebagai upaya menyerukan pembunuhan terhadap Presiden Erdogan.
Hubungan Turki dan Belanda semakin memanas di akhir pekan ini. Setelah penerbangan Menlu Turki ke Belanda dilarang, konsulat Belanda di Turki ditutup paksa, dan sehari kemudian, Menteri Urusan keluarga Turki ditangkap di Rotterdam untuk dideportasi.
Turki di bawah pemerintahan Erdogan akan membuat format baru dengan menghilangkan jabatan perdana menteri. Tanpa ada perdana menteri, posisi Erdogan sebagai presiden kian kuat.
Pemerintah Turki menutup 15 kantor media dan memberhentikan kerja 10.000 pegawai negeri sipilnya melalui Surat Keputusan darurat 675. Pemerintah menyebut langkah tersebut sebagai upaya pembasmian semua pendukung Fethullah Gulen dari barisan aparatur negara.
Atas tuduhan berafiliasi dengan gerakan Fethullah Gullen, Majelis umum Dewan Tertinggi Hakim dan Jaksa Turki (Hakimer ve Savcilar Yuksek Karulu/HSYK) memutuskan memberhentikan 543 hakim dan jaksa yang sudah diskors dari pos-pos mereka.
Kementerian Luar Negeri Iran pada Ahad (21/8) dengan keras mengutuk serangan bom mematikan terhadap pesta perkawinan di Kota Gaziantep di Turki Tenggara, dan menyatakan itu "tidak manusiawi", demikian laporan media setempat.
Presiden Tayyip Erdogan mengatakan kemungkinan militan ISIS menjadi pelaku atas serangan tengah malam, di saat bom meledak di tengah tarian orang merayakan pesta pernikahan.