tirto.id - Hari ini, Minggu (16/4/2017), rakyat Turki berpartisipasi menggunakan hak suaranya dalam sebuah referendum untuk mengubah sistem politik negara itu. Perubahan paling radikan dalam sejarah modern Turki itu nantinya dapat memberi kekuasaan-kekuasaan baru dan penuh kepada Presiden Tayyip Erdogan.
Seperti dilansir dari Antara, jajak pendapat menunjukkan keunggulan tipis bagi suara "Ya" sebagai tanda dukungan bagi referendum yang akan menggantikan demokrasi parlementer Turki dengan sebuah mekanisme kepresidenan yang berkuasa penuh.
Hasil referendum itu memungkinkan Erdogan berada di tampuk kekuasaan hingga sedikitnya tahun 2029. Nantinya, hasil referendum juga akan membentuk hubungan yang renggang antara Turki dengan Uni Eropa (UE).
Negara anggota NATO itu telah meredam arus migran -- kebanyakan pengungsi dari perang-perang yang berkecamuk di Suriah dan Irak - masuk ke wilayah blok itu. Hanya saja Erdogan menyatakan ia menyatakan kemungkinan untuk mengaji ulang persetujuan itu setelah pemungutan suara tersebut.
Sebanyak 55 juta orang berhak memberikan suara di sedikitnya 167.140 tempat pemungutan suara di seantero negeri, yang buka pukul 7.00 pagi waktu setempat (pukul 11.00 WIB) di bagian timur negara itu dan tutup pada pukul 17.00 waktu setempat (pukul 21.00 WIB). Sebelumnya, para pemilih Turki di luar negeri sudah memberikan suara mereka.
Referendum itu telah membelah Turki. Erdogan dan pendukungnya mengatakan perubahan-perubahan diperlukan untuk mengamandemen konstitusi yang berlaku saat ini, menghadapi tantangan politik dan keamanan yang negara itu hadapi, dan menghindari pemerintahan-pemerintahan koalisi yang rentan seperti terjadi di masa lalu.
Sementara itu, para penentang menyatakan referendum itu merupakan satu langkah menuju pemerintahan yang dipimpin oleh penguasa otoriter di sebuah negara tempat 40.000 orang telah ditangkap dan 120.000 dipecat atau di-PHK dalam penumpasan menyusul kudeta yang gagal Juli lalu.
Aksi pemerintah itu mengundang kritik dari para sekutu Turki di Barat dan kelompok-kelompok HAM.
Hubungan antara Turki dan Eropa mencapai titik rendah selama kampanye referendum ketika negara-negara anggota UE, termasuk Jerman dan Belanda, melarang para menteri Turki mengadakan kampanye untuk mencari dukungan bagi perubahan-perubahan tersebut.
Erdogan menyebut larangan-larangan itu "tindakan Nazi" dan mengatakan Turki dapat mempertimbangkan kembali hubungan dengan UE setelah bertahun-tahun mengupayakan untuk menjadi anggota blok itu.
Dalam kampanye menjelang referendum, Erdogan mengadakan empat rapat umum di tempat terpisah di Istanbul, mendesak para pendukung dalam jumlah besar untuk memberikan suara.
"16 April akan menjadi titik balik bagi sejarah politik Turki... Setiap suara yang Anda berikan besok akan menjadi batu lompatan dari kebangkitan kembali kita," kata Erdogan kepada khalayak yang membawa bendera-bendera Turki dan memadati rapat itu.
"Waktunya hanya tinggal beberapa jam lagi dari sekarang. Ajak semua teman Anda, keluarga, sahabat-sahabat dan bergerak menuju tempat pemungutan suara," kata dia.
Erdogan dan Partai AK yang berkuasa, dipimpin Perdana Menteri Binali Yildirim, telah menikmati liputan luas dari media untuk meraih dukungan dalam pemungutan suara itu, menyisihkan partai Rakyat Republik (CHP) dan partai Demokratik Rakyat (HDP) yang pro-Kurdi.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari