tirto.id - Suara pendukung perubahan konstitusi dalam referendum yang digelar Turki dilaporkan menang tipis. Karena itu, menurut Komisi Eropa, Turki seharusnya mencari konsensus luas nasional menyangkut amendemen konstitusi tersebut.
Dilansir dari Antara, Senin (17/4/2017), hasil sementara menunjukkan 51,4 persen rakyat Turki setuju mengubah konstitusi yang akan memperkuat kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
"Berdasarkan pandangan hasil ketat referendum dan implikasinya yang luas terhadap amandemen konstitusi, kami menyeru pihak berwenang Turki untuk mencari konsensus nasional seluas mungkin untuk implementasinya," kata Komisi Eropa.
Pernyataan Uni Eropa yang disampaikan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker dan dua pejabat puncak UE lainnya itu menyebutkan bahwa eksekutif UE menggarisbawahi hasil referendum itu dan menantikan penilaian sebuah misi pengamat internasional, selain mempertimbangkan dugaan kecurangan.
Amendemen konstitusi akan dinilai berdasarkan kewajiban Turki sebagai negara calon anggota Uni Eropa dan sebagai anggota Dewan Eropa yang bertugas mengawasi demokrasi, HAM dan hukum di seluruh benua ini.
"Kami mendorong Turki menjawab keprihatinan dan rekomendasi Dewan Eropa, termasuk dalam kaitannya dengan keadaan darurat," kata Komisi Eropa.
Para anggota Parlemen Eropa umumnya meratapi hasil referendum Turki, kata Manfred Weber, ketua kelompok tengah-kanan, yang menyebut Erdogan telah memecah belah negaranya sendiri.
Sementara itu, pemimpin Partai Hijau Ska Keller menyebut hasil referendum Turki sebagai pukulan serius yang bisa merusakkan demokrasi di Turki.
Seperti diberitakan, hasil referendum untuk perubahan konstitusi Turki akhirnya memenangkan Presiden Recep Tayyip Erdogan yang unggul tipis 51,4 persen dari suara yang mendukung dan yang menyatakan “tidak” sebesar 48,6 persen dari total 99,5 persen suara yang dihitung.
Referendum yang diadakan pada Minggu (16/4/2017) ini untuk mengetahui apakah Turki akan mengadopsi sistem presidensial atau parlementer. Kemenangan Erdogan mengubah sistem parlementer yang selama ini berlaku menjadi presidensial yang sekaligus memberi wewenang lebih besar pada Presiden.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari