tirto.id - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) merilis analisis lembaga itu mengenai dugaan soal penyebab tsunami di Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu malam (22/12/2018).
PVMBG menduga tsunami yang menyebabkan kerusakan di pesisir Banten dan Lampung itu dipicu oleh longsoran sebagian tubuh dan material Gunung Anak Krakatau. Tubuh Gunung Anak Krakatau yang diduga runtuh dan menjadi longsoran di bawah laut adalah bagian samping (flank collapse), khususnya di sektor selatan dan barat daya.
Sebagai catatan, sebelum terjadi tsunami pada Sabtu malam, Gunung Anak Krakatau telah secara terus menerus dan fluktuatif mengalami erupsi sejak Juni 2018. Namun, PVMBG tidak mencatat peningkatan intensitas erupsi yang signifikan sejak Juni lalu.
“Masih diperlukan data tambahan dan analisis lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada faktor lain yang berperan,” demikian pernyataan PVMBG yang dirilis pada Senin (24/12/2018).
PVMBG juga menyimpulkan butuh pengamatan dan penelitian lebih mendalam untuk mencari tahu penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda pada akhir pekan kemarin.
“Tsunami yang terjadi [22 Desember 2018] adalah kasus yang spesial [khusus] dan jarang terjadi di dunia, serta masih sangat sulit untuk memperkirakan kejadian partial collapse [keruntuhan sebagian tubuh] pada suatu gunung api,” tulis PVMBG di siarannya.
Oleh karena itu, PVMBG menilai pemantauan tsunami di tengah Selat Sunda, baik dengan pemasangan peralatan pemantau (stasiun pasang surut di Pulau sekitar Gunung Anak Krakatau dan/atau BUOY) maupun pemantauan visual dengan penginderaan jauh, sangat diperlukan.
Menurut PVMBG, tsunami genik atau sumber pemicu tsunami di Selat Sunda selama ini beragam. Kejadian tsunami dalam kurun waktu ratusan tahun belakangan juga ada yang belum diketahui pasti sebabnya.
Berdasar data katalog tsunami yang ditulis S.L. Soloviev dan Ch.N. Go pada 1974, tsunami di Selat Sunda yang dipicu oleh gempa bumi pernah terjadi pada tahun 1972, 1852 dan 1858.
Sedangkan tsunami di Selat Sunda yang dipicu oleh erupsi atau aktivitas Gunung Krakatau tercatat pernah terjadi pada tahun 416, 1883 dan 1928. Sementara tiga kejadian tsunami di Selat Sunda pada tahun 1851, 1883 dan 1889 diduga disebabkan oleh hal ini yang belum diketahui.
“Hingga saat ini erupsi Gunung Anak Krakatau masih berlangsung menerus, masyarakat di pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung agar tetap waspada,” begitu rekomendasi PVMBG di siarannya.
Berdasar data BNPB per Senin pagi (24/12/2018), sementara ini tercatat tsunami di Selat Sunda telah mengakibatkan 281 orang tewas, 1.016 korban luka-kuka dan 57 jiwa masih Hilang.
Volcanogenic Tsunami
Kejadian tsunami di Selat Sunda akhir pekan kemarin, yang tidak didahului gempa atau surutnya muka air laut, memang menimbulkan banyak pertanyaan soal penyebabnya. Peneliti Volkanologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman menyatakan jika tsunami pada Sabtu malam lalu terkait aktivitas Gunung Anak Krakatau, maka ia termasuk Volcanogenic Tsunami.
"Suatu gunung yang terletak di tengah laut seperti halnya Anak Krakatau atau yang berada di pinggir pantai, sewaktu-waktu sangat berpotensi menghasilkan Volcanogenic Tsunami," kata Mirzam seperti dilansir laman resmi ITB.
Dia menjelaskan Volcanogenic Tsunami bisa terjadi ketika ada perubahan mendadak volume laut sebab letusan gunung api. Di kasus seperti ini, ada 4 kemungkinan mekanisme tsunami terjadi.
Pertama, kata Mirzam, tsunami terjadi karena kolom air kolaps akibat letusan gunung api yang berada di laut. Itu seperti balon pelampung meletus di dalam kolam yang menyebabkan riak air di sekitarnya.
Kedua, menurut dia, tsunami terjadi karena pembentukan kaldera akibat letusan besar gunung api di laut menyebabkan perubahan kesetimbangan volume air secara tiba-tiba. Menekan gayung mandi ke bak mandi lalu membalikannya adalah analogi pembentukan kaldera gunung api di laut.
"Mekanisme 1 dan 2 pernah terjadi pada letusan Krakatau, tepatnya 26-27 Agustus 1883. Tsunami tipe ini seperti tsunami pada umumnya didahului oleh turunnya muka laut sebelum gelombang tsunami yang tinggi masuk ke daratan," ujar Mirzam.
Yang ketiga, tsunami karena longsor. Dia menjelaskan material gunung api yang longsor bisa memicu perubahan volume air di sekitarnya. Tsunami tipe ini pernah terjadi saat Gunung Unzen, Jepang erupsi pada 1972. Tsunami yang menelan 15 ribu korban jiwa itu juga terjadi saat ada gelombang pasang.
Sedangkan yang keempat, kata Mirzam, tsunami terjadi karena aliran piroklastik yang menuruni lereng gunung di laut dengan kecepatan tinggi saat letusan terjadi. Aliran piroklastik bisa mendorong muka air laut jika gunung api berada di dekat pantai.
"Tsunami tipe ini pernah terjadi saat Gunung Pelee, Martinique [Prancis] meletus [1902]. Saat aliran piroklastik Gunung Pelle menuruni lereng, mendorong muka laut dan menghasilkan tsunami," kata dia.
Meskipun demikian, Mirzam menyatakan "Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan sebab utama Tsunami di Selat Sunda [2018]."
Editor: Addi M Idhom