tirto.id - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut tsumani yang terjadi di Selat Sunda, pada Sabtu (22/12) malam tidak disebabkan aktivitas gempa tektonik, melainkan akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan penyebab tsunami kali ini tergolong baru. Sebab, kata dia, pada umumnya bencana tsunami di Indonesia didahului oleh gempa tektonik.
“Ini, kan, berbeda. Kalau tsunami selama ini diakibatkan gempa bumi tektonik. [Kali ini] tidak ada gempa bumi. Tidak ada tanda apa,” kata Rahmat kepada reporter Tirto, Minggu (23/12/2018).
Menurut Rahmat, BMKG menduga tsunami yang menewaskan 281 orang itu [data sementara BNPB hingga Senin (24/12/2018) pukul 07.00] terjadi karena akibat letusan Gunung Anak Krakatau.
Hal senada diungkapkan pakar tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko. Ia mengaku telah melakukan kajian cepat soal bencana tsunami yang terjadi di Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan.
Dari kajiannya tersebut, Widjo mengindikasikan hal yang serupa dengan BMKG, yaitu: penyebab tsunami ialah erupsi Gunung Anak Krakatau.
“Kemungkinan besar terjadi flank failure/collapse akibat aktivitas Anak Krakatau dan akhirnya menimbulkan tsunami,” kata Widjo dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.
Analisis yang sama juga diungkapkan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko. Menurutnya tsunami bisa juga disebabkan oleh guguran lava yang masuk ke laut meruntuhkan satu atau beberapa sisi flank dari Gunung Anak Krakatau.
Selain itu, kata Sukmandaru, terdapat pula faktor getaran yang diakibatkan pergerakan magma dan erupsi. Hal ini, kata dia, secara tidak langsung memicu longsoran bawah laut pada tebing-tebing yang memang banyak terdapat di Selat Sunda.
“Letusan Krakatau semalam menghasilkan pyroclastic flow, yang kalau di Gunung Merapi biasa disebut wedhusgembel dan masuk ke laut,” kata Sukmandaru kepada reporter Tirto, Minggu (23/12/2018) sore.
Akan tetapi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM dalam rilis yang diterima Tirto, Senin (24/12/2018) meragukan analisis tersebut. Hasil amatan mereka belum menunjukkan adanya korelasi yang jelas antara letusan Krakatau dengan tsunami yang terjadi.
Sebelum erupsi pada 22 Desember lalu [yang disebut-sebut sebagai penyebab tsunami], Gunung Anak Krakatau sebenarnya telah tercatat mengalami beberapa kali erupsi.
Pada 2018, misalnya, Gunung Anak Krakatau tercatat meletus sejak tanggal 29 Juni. PVMBG menggolongkan letusan tersebut ke dalam strombolian atau disertasi semburan lava pijar dari magma yang dangkal.
Gejala awal terjadinya erupsi di 2018, menurut PVMBG, ditandai dengan munculnya gempa tremor dan peningkatan jumlah gempa hembusan dan low frekuensi pada tanggal 18-19 Juni 2018.
“Jumlah gempa hembusan terus meningkat hingga akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 Gunung Anak Krakatau meletus,” demikian rilis PVMBG.
Saat itu, lontaran material letusan sebagian besar jatuh di sekitar tubuh Gunung Anak Krakatau atau kurang dari 1 km dari kawah. Tapi sejak tanggal 23 Juli, teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai, sehingga radius bahaya diperluas dari 1 km menjadi 2 km dari kawah.
Ketika dua hari lalu erupsi gunung terjadi, amatan visual yang dilakukan PVMBG menunjukkan letusan disertai dengan tinggi asap berkisar 300-1500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, juga terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm).
Nihil Peringatan Dini
Terlepas dari perdebatan penyebab tsunami di Selat Sunda itu, sejumlah institusi sepakat jika sistem peringatan dini saat ini masih lemah. Hal ini diakui BMKG yang tidak mengeluarkan peringatan dini atau early warning system sebelum kejadian.
“Karena tidak ada aktivitas kegempaan, kami simpulkan tsunami itu bukan akibat gempa bumi. Karena itu kami tidak memberikan warning,” kata Rahmat.
Ia menambahkan “seperti yang sudah-sudah, kalau ada gempa kemudian kami mengeluarkan warning.”
Sehingga, BMKG merasa karena tsunami disebabkan oleh faktor gunung, hal tersebut menjadi wilayah tanggung jawab Badan Geologi.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho juga mengakui sistem peringatan dini saat ini masih terbatas pada tsunami yang diakibatkan gempa bumi tektonik saja.
“Memang sistem peringatan dini yang dibangkitkan oleh longsoran bawah laut belum ada,” kata Sutopo.
Namun demikian, Sukmandaru menilai, meskipun penyebab tsunami kali ini tergolong jarang terjadi di Indonesia, tapi seharusnya ada koordinasi antara BMKG dan lembaga terkait, seperti Badan Geologi.
“Mau penyebabnya gempa bumi atau vulkanisme. [Penanganannya] itu mesti kita perhatikan. Selama ini kita terbiasa dengan tsunami yang disebabkan gempa bumi,” kata dia.
“Yang seperti ini tuh harus saling koordinasi, yang beri warning siapa, apakah Badan Geologi, BMKG, atau BNPB?” kata Ketua IAGI ini.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz