tirto.id - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia merilis temuan soal perbedaan putusan hukum dengan tuntutan hukum atas sebuah tindak pidana korupsi atau lazim disebut disparitas hukum. Temuan itu mereka keluarkan dalam laporan berjudul “Memaknai dan Mengukur Disparitas: Studi terhadap Praktik Pemidanaan pada Tindak Pidana Korupsi.”
Peneliti MaPPI FH UI, Andreas Nathaniel Marbun mengatakan MaPPI mendapati 166 temuan yang mengkonfirmasi disparitas putusan pengadilan tindak pidana korupsi. "Temuan ini diperoleh dari studi terhadap 587 putusan pengadilan tindak pidana korupsi serta korespondensi hukum dengan 689 terpidana korupsi dalam rentan 2011-2015," kata Andreas kepada Tirto, Sabtu siang.
Andreas menjelaskan disparitas ini dilatari tiga hal. Pertama, tidak ada patokan resmi mengenai takaran putusan pidana. Kedua, latar belakang pendidikan yang berbeda-beda dari pengambil putusan. “Terakhir, tidak adanya data pusat yang menjadi referensi dalam putusan pidana, terutama untuk kasus korupsi,” ucap dia.
Studi kali ini berbeda dengan studi disparitas hukum sebelumnya. Sisi hukum kali ini menggunakan lima variabel, yakni kesamaan pasal yang terbukti, rentang kerugian negara yang ditimbulkan, perolehan uang korupsi dan pengembalian ke kas negara, aspek kewilayahan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan, dan pekerjaan terpidana.
Angka 166 yang ditemukan MaPPI, kata Andreas, membuktikan masih ada kekurangan di ranah putusan pengadilan. Untuk menekan angka disparitas, Andreas menyebut, aparat penegak hukum harus terus belajar dan mengevaluasi praktik pemidanaan yang selama ini dijalankan.
“Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus membuat semacam database terpusat agar semua pihak dapat mengakses, mempelajari polanya, serta menerapkannya dalam pengambilan putusan pidana yang akan diambil,” kata Andreas menambahkan.
Evaluasi praktik pemidanaan ini diperlukan lantaran korupsi telah menjadi musuh bersama di berbagai negara belahan dunia. Di Indonesia, korupsi terjadi dari tingkat akar rumput hingga ke pusat.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan tahunannya pada 2016 menyebutkan, dalam rentang waktu 12 bulan, aparat penegak hukum telah menetapkan 1.101 tersangka kasus korupsi dari 482 kasus korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1,47 triliun (Rp31 miliar di antaranya adalah suap).
“KPK dan lembaga penegak hukum yang lain harus lebih giat dalam turun tangan sampai ke akar-akarnya untuk melihat apa yang sebetulnya menggerogoti. Karena dengan cara seperti itu, korupsi dapat diminimalisir,” jelas Andreas.
Disparitas Hukum Bersifat Kasuistis
Dihubungi terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah mengatakan disparitas putusan pidana dalam kasus tindak korupsi merupakan hal yang wajar. Menurut dia, putusan hukum untuk setiap kasus korupsi tidak bisa disamakan.
Ia mencontohkan jika seorang guru yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi senilai Rp 100 juta, putusannya tidak bisa disamakan dengan putusan atas kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik.
"Pengambilan putusan pidana itu sifatnya kasuistis," kata Abdullah kepada Tirto.
Abdullah menjelaskan disparitas berkaitan erat dengan independensi seorang hakim dalam memutus sebuah perkara. "Dalam hukum, kan, dikenal asas kesamaan. Semisal ada yang berkeberatan terhadap putusan hakim, ya, bisa langsung mengajukan banding," ujar Abdullah.
Menurut Abdullah yang menjadi tantangan bukan hanya disparitas putusan, melainkan Undang-undang seperti Undang-undang Pilkada. Ia menyebut, banyak celah dalam Undang-undang yang bisa diakali koruptor. Sehingga, pembenahan bukan hanya soal putusan tapi juga regulasi yang berlaku.
"Jika ingin meminimalkan kasus korupsi, ya, benahi dulu undang-undangnya," kata Abdullah.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Mufti Sholih