tirto.id - Shimon Peres meninggal dunia pada Rabu (28/9/2016) pagi pukul 03.40 saat tengah menjalani perawatan di The Sheba Medical Centre. Stroke mengakhiri perjuangannya setelah dirawat intensif selama dua minggu.
Salah satu tokoh politik generasi awal yang turut mendirikan negara Israel pada 1948 ini menyerah setelah dirawat sejak 13 September lalu akibat kesehatannya yang terus menurun.
BBC menyebut Peres sebagai “kakek negara Israel”, sesuatu yang tidak berlebihan mengingat usia Peres sendiri jauh melebihi negara Israel—Peres berusia 93 tahun sementara Israel “baru” 68 tahun.
Ia juga dikenal sebagai politisi kawakan yang sudah menempati banyak pos sentral dalam pemerintahan Israel. Selain itu, Peres adalah murid yang sempat menimba ilmu langsung dari David Ben-Gurion, sang pendiri negara Israel dan salah satu tokoh Zionisme terbesar.
Titian Karier Perski Kecil
Shimon Peres terlahir dengan nama Szymon Perski pada 2 Agustus 1923. Ia dan keluarganya adalah diaspora Israel di Polandia. Peres termasuk dalam generasi Israel pra-kemerdekaan saat kaum Yahudi masih tersebar di berbagai penjuru dunia, tidak memiliki tanah air sendiri, dan berada di bawah ancaman genosida dari rezim Nazi Hitler.
Peres dan keluarganya pindah ke Tel Aviv, Palestina--yang saat itu berada dalam kontrol Inggris--pada 1934 di usia 11 tahun. Orang tua Peres adalah seorang penjual kayu dan penganut Yahudi Orthodoks. Namun, Peres akhirnya tumbuh sebagai seorang penganut Talmud yang taat.
Sebagian besar keluarganya yang tidak berhasil keluar dari Polandia akhirnya tewas saat Holocaust. Kakeknya, yang turut tewas, menitipkan satu pesan terakhir sebelum mereka berpisah : “Jadilah seorang Yahudi, selamanya!”
Selepas lulus dari sekolah pertanian, Peres bekerja di "kibbutz" atau area pertanian kolektif yang diinisiasi pemerintah Israel. Keterlibatannya dalam politik dimulai saat Peres dipilih sebagai sekretaris Gerakan Buruh Zionis.
Karier politik Peres mulai menanjak saat ia ditugasi langsung oleh David Ben Gurion, perdana menteri pertama Israel, untuk mengorganisasi milisi Haganah—cikal-bakal Israel Defense Force--pada 1947. Saat itu usianya baru menyentuh 23 tahun.
Setahun berikutnya, Ben-Gurion semakin menunjukkan kepercayaannya dengan memberikan jabatan yang tak main-main : kepala angkatan laut Israel. Peres saat itu baru berumur 24 tahun. Kemampuan militer Peres muda benar-benar tidak bisa diremehkan. Ia termasuk ke dalam tim konseptor serangan rahasia gabungan Israel-Inggris-Perancis terhadap Mesir di Terusan Suez (Operation Susannah) yang akhirnya berujung pada Krisis Suez 1956.
Peres berada di pemerintahan Israel selama 70 tahun. Berbagai posisi penting telah dijabatnya : perdana menteri, menteri pertahanan, menteri transportasi, menteri keuangan, menteri keuangan, dan terakhir, sebagai Presiden Israel.
Ia berada di tengah-tengah pusaran politik dan menghadapi berbagai guncangan keamanan sejak negara Israel lahir. Saat menjabat sebagai menteri pertahanan, ia harus menghadapi drama penyanderaan terhadap warga negara Israel di bandara Entebbe, Uganda. Ia juga dikenal sukses melobi Perancis untuk menjual pesawat tempur Mirage demi mempertahankan Israel dari serangan para tetangganya sekaligus merintis kompleks persenjataan nuklir di Dimona.
Kepiawaian diplomasi Peres terlihat saat ia menjadi menteri luar negeri yang menginisiasi serangkaian perundingan rahasia antara Israel dan Palestine Liberation Organization (PLO) pimpinan Yasser Arafat di Oslo pada 1993. Perundingan itu sukses meredakan ketegangan antara PLO dan Israel sekaligus menjadi momen dimana untuk pertama kalinya Israel mengakui otonomi Palestina.
“Palestina adalah tetangga terdekat kita. Saya percaya bahwa suatu saat mereka akan menjadi teman terdekat kita,” ujarnya suatu kali seperti dikutip dari BBC. Sayangnya, itikad baik itu tak selalu bisa dijaga oleh Peres selama berada di pemerintahan.
The Atlantic mencatat bahwa Peres telah menjadi anggota Knesset (sebutan untuk parlemen Israel) selama 48 tahun. Ia juga mengaku telah mencicipi interaksi dengan 10 presiden Amerika Serikat, mulai dari Harry S. Truman sampai Barack Obama.
Peres memang punya rekam jejak politik yang mentereng. Namun, dalam pemilu, ia sebetulnya lebih banyak menderita kekalahan. Peres tercatat telah lima kali kalah dalam pemilu, tetapi pengaruhnya yang sangat besar selalu mampu menempatkannya di berbagai posisi strategis lewat koalisi-koalisi politiknya.
Dua Wajah Peres
Peres adalah seorang tokoh politik yang rekam jejaknya sangat kontradiktif. Di satu sisi, ia merupakan penganjur utama perdamaian. Ia bahkan diganjar oleh penghargaan prestitius Nobel Perdamaian 1994 atas peranannya mewujudkan perundingan damai Oslo 1993 bersama pemimpin Palestina, Yasser Arafat.
Perannya dalam perundingan Oslo 1993 membuat Peres dijuluki sebagai seorang“dovish” atau penganut ideologi perdamaian (mengacu kepada “dove”/merpati sebagai lambang perdamaian). Di sisi lain, Peres justru kerap menunjukkan sikap keras yang mengingatkan kita akan sosok Golda Meir, sang “wanita besi” yang pernah menjadi perdana menteri Israel.
Peres disebut-sebut telah mencabut banyak nyawa warga Palestina di masa kepemimpinannya. Salah satu kejadian yang paling terkenal adalah saat tentara Israel melancarkan serangan membabi-buta selama 16 hari terhadap Hizbullah pada 1996.
Tentara Israel saat itu bertindak sangat brutal, bahkan sampai menembakkan roket ke kamp pengungsi PBB di Lebanon Selatan. Peristiwa itu menewaskan 100 pengungsi Palestina. Saat itu, Peres bertindak selaku perdana menteri interim pascaterbunuhnya Yitzhak Rabin setahun sebelumnya.
“Sikap Peres seperti memoles make-up di wajah yang buruk. Ia berusaha mempercantik wajah kejahatan-kejahatan Israel,” kecam Abdullah Abdullah, seorang pejabat terkemuka Palestina, kepada NPR.
Peres dikenal kerap berseberangan dengan pemimpin-pemimpin Israel berhaluan keras seperti Ariel Sharon maupun Benjamin Netanyahu. Berbeda dengan nama-nama tersebut, Peres selalu berusaha supaya keberadaan Israel diakui secara damai oleh negara-negara Arab yang menjadi tetangganya. Di sisi lain, Peres tetap bersikukuh untuk menggunakan militer sebagai tameng jika sewaktu-waktu muncul ancaman terhadap Israel.
Kontradiktifnya sifat Peres dalam memaknai perdamaian namun tetap bersikeras menggunakan kekerasan membuatnya bisa dijuluki sebagai sang “merpati besi”.
“Saya akan tetap menjadi “elang” (baca : mengedepankan kekerasan) selama Israel masih terancam bahaya. Jika ada seseorang ingin membunuhmu, maka jadilah elang! Jika ada yang ingin berdamai denganmu, jadilah merpati. Sesederhana itu,” paparnya kepada BBC saat ulang tahunnya yang ke-90.
Peres memang masih menyimpan sisi keras dalam dirinya. Pada era '70an, sebuah era dimana Israel tengah berada di ujung tanduk, Peres lebih dikenal sebagai seorang penganut “politik besi”. Sebagai anak didik salah satu penganjur Zionisme terbesar, Peres menganggap masalah tanah dan teritori adalah harga mati bagi Israel.
“Ia adalah orang yang paling keras di antara orang-orang keras lainnya di Israel,” ujar Yossi Beilin, salah satu kolega Peres dalam perundingan Oslo, seperti dikutip dari NPR.
Sikap keras itu masih dibawa oleh Peres, bahkan saat ia mulai mempromosikan jalur perdamaian pada era '80an.
“Perang yang saat ini kami jalani adalah sesuatu yang dipaksakan kepada kami Tapi, terima kasih kepada kekuatan Israel Defense Forces, kami bisa memenangkan itu semua. Sayangnya, kami tidak bisa memperoleh kemenangan terbesar : melepaskan diri dari kebutuhan untuk menang,” ujarnya seusai menerima penghargaan Nobel Perdamaian 1994 seperti dikutip dari BBC.
Dalam kesempatan berbeda, ia juga menegaskan kesiapannya berperang. “Kami siap memerangi Hamas dan Jihad Islam tanpa sedikit pun keraguan dan tanpa batasan, seperti juga kami siap untuk terlibat dalam perdamaian,” pungkasnya kepada BBC.
Shimon Peres sang merpati sekarang telah pergi. Selama menjaga Israel, ia memang tak pernah ingkar janji, meskipun untuk itu, ia perlu sesekali menjelma jadi besi.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti