tirto.id - Hari itu menu makan Elvan De Porres hanya ada nasi, sayur, dan kerupuk. Tidak ada daging dan ikan yang biasanya tersaji hampir tiap hari di meja makan. Elvan tidak sedang bokek atau keluarganya sedang paceklik, tetapi hari itu adalah hari Rabu Abu.
Bagi umat Katolik, Rabu Abu artinya sudah memasuki masa prapaskah ketika Yesus akan bangkit dari kematian. Ia menganjurkan umat Katolik berpuasa atau berpantang hingga hari paskah yang jatuh 40 hari kemudian.
“Kami di Flores biasanya berpuasa dengan pantang makan makanan yang biasa kami konsumsi. Kalau biasa kami makan daging dan ikan, pada saat puasa, daging dan ikan tidak akan ada,” kata Elvan.
Elvan mengingat puasa yang dilakoni orang-orang tua di tempatnya. Ia ingat bagaimana neneknya berpuasa dengan cara yang berbeda. Hanya makan satu kali sehari selama masa prapaskah. Dan saat makan pun tidak ada menu ikan dan daging; hanya nasi, sayur, dan lauk seadanya.
“Orang-orang dulu itu lebih ketat, puasa beneran, tidak makan. Tapi kalau sekarang sudah berubah,” ujarnya.
Dalam tradisi gereja Katolik, memang tidak ada aturan baku dalam berpuasa. Romo Danang Bramasti SJ, seorang pastor di Yogyakarta, mengatakan puasa umat Katolik dilakoni dalam masa prapaskah, antara Rabu Abu dan Paskah.
Puasa atau berpantang ini hanya dilakukan pada hari Rabu Abu dan hari Jumat pada masa prapaskah. Biasanya puasa dilakukan dengan cara makan sekali kenyang dalam sehari atau berpantang daging.
“Puasa itu ada, tapi tidak diwajibkan, dan sesuai kesanggupan saja,” ujar Romo Danang.
Begitu pula dalam tradisi gereja Kristen Protestan. Puasa bukan dijadikan sebagai kewajiban. Jenis puasanya bervariasi. Sesuai kesepakatan gereja atau individu jemaat sendiri.
Pendeta Yoses Rezon dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) mengatakan perihal puasa ini sebenarnya tidak ada aturan pasti. Karena itu, urusan berpuasa diserahkan sepenuhnya kepada individu.
“Ada yang puasa tidak makan daging, ya boleh. Itu saja yang dilakukan. Hanya satu kali makan kenyang juga bisa,” ujar Pendeta Yoses.
Meski tak ada aturan baku, di dalam Alkitab, ada banyak kisah orang suci yang mempraktikkan pantangan makan, termasuk Yesus sendiri. Diceritakan dalam Matius 4, Yesus berpuasa selama 40 hari tanpa makan dan minum di sebuah padang gurun dan dibujuk iblis.
Iblis berkata kepada Yesus, “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti.”
Tantangan itu diabaikan oleh Yesus. Lalu Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang terucap dari mulut Allah.”
Kisah Yesus ini menunjukkan puasa tak sekadar soal menahan lapar dan haus, tapi bagaimana melawan godaan iblis dan hawa nafsu. Itu pula yang disebut Pendeta Yoses menjadi makna dari puasa.
“Gunanya puasa itu memberi makanan pada rohani kita. Hawa nafsu itu bukan soal makan dan minum saja, ada banyak. Menahan untuk tidak tamak, mematikan ketamakan diri atas segala sesuatu,” ujarnya.
Menurut Pendeta Yoses, puasa juga harus memiliki dampak sosial. Salah satu contoh yang pernah dilakukannya adalah tidak makan malam. Dalam sehari, Pendeta Yoses hanya makan pagi dan siang selama sebulan. Pada malam hari ia menahan lapar dan menyisihkan uang jatah makan malam untuk persembahan.
“Katakanlah jatah makan malam itu 10 ribu rupiah, dalam sebulan itu ada 300 ribu rupiah. Itu bisa untuk persembahan ke gereja, atau memang mau diberikan untuk orang lain yang membutuhkan,” ujarnya.
Begitu pula dalam ajaran Katolik. Menurut Romo Danang, puasa harus memiliki dampak di luar urusan personal. Maka salah satu model puasa yang dilakukan dalam Katolik adalah puasa sebagai tindakan.
“Kalau kamu biasanya makan sop, maka puasa makan sop. Tapi sop itu tetap kamu masak, kemudian kamu berikan kepada orang lain. Contoh lain, kamu tidak biasa ngosek WC, ya sudah kamu puasanya ngosek WC,” ujar Romo Danang.
Keluwesan puasa ala pengikut Yesus itu tidak terjadi pada agama saudara tua dan saudara muda, Yahudi dan Islam.
Puasa umat Islam dan Baha'i
Dalam Islam, seperti diketahui secara umum, puasa dilakukan sebulan penuh selama Ramadan. Di Indonesia, dengan mayoritas penduduknya adalah muslim, sebagaimana sebagiannya tergambar dalam Ramadan di Jawa (2005), puasa Ramadan bahkan adalah sebuah perayaan, kegembiraan, yang memiliki dimensi kultural.
Ia disambut oleh para orang tua dan anak-anak, dari musala hingga masjid, yang digenapi dengan perjalanan mudik menyambut hari raya Idulfitri. Kosakata Indonesia bahkan punya nama sendiri untuk menyebutnya sebagai Lebaran.
Ibadah puasa umat muslim ditakik dari salah satunya Surat Al-Baqarah 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.” Tidak sekadar menahan lapar dan haus, tetapi secara menyeluruh menjaga hawa nafsu.
Sebagaimana agama-agama besar di dunia, umat Islam di Indonesia menjalani ibadah selama Ramadan dengan kecenderungan kultural maupun kedekatannya dengan mazhab tertentu. Diwakili oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesa, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, masjid yang kental dengan tradisi NU akan melakoni ibadah tarawih selepas salat isya berjumlah 23 rakaat; sebaliknya masjid Muhammadiyah hanya 11 rakaat.
Selama Ramadan, ada satu hari ganjil menjelang akhir bulan yang disebut Lailatul Qadar atau malam seribu bulan. Pada saat itu umat Islam biasanya beriktikaf atau berserah diri kepada Allah SWT di masjid.
Persis seperti agama-agama lain, puasa dalam ajaran Islam dianjurkan pula untuk bersedekah dan berbuat baik.
Selain ramadan, puasa bisa dilakukan pada hari biasa. Salah satunya yang dicontohkan oleh Daud. Praktik puasa ini dilakukan dengan jeda satu hari, misalnya hari ini berpuasa, besok tidak, lalu besok lusa berpuasa lagi. Puasa ini dikenal dengan puasa Daud. Ada pula puasa pada hari Senin dan Kamis.
Puasa pada hari Senin dan Kamis ini pun dilakukan dalam tradisi agama Yahudi, saudara paling tua, yang disebut sheni va-hamish.
Namun, puasa wajib bagi umat Yahudi adalah puasa pada hari Yom Kippur, secara harfiah artinya hari perdamaian, yang mewajibkan mereka berpuasa selama 25 jam sejak matahari terbenam. Puasa ini dilakukan dengan cara tidak makan dan minum. Bagian yang menarik dalam puasa ini adalah para pemeluk Yahudi akan melakukan pertobatan dan pengakuan dosa, tidak boleh mengenakan sepatu kulit dan mengenakan perhiasan saat beribadah.
Baca:
- Berkenalan dengan Komunitas Yahudi di Indonesia
- Mengenal Kegembiraan dan Ratapan Ibadah Puasa Umat Yahudi
Puasa tidak makan dan minum ini juga dipraktikkan oleh agama Baha'i yang mendaku sebagai bagian dari agama keturunan Abraham. Agama Baha'i merupakan agama baru yang usianya belum genap 200 tahun. Dalam tradisi Baha'i, puasa dilakukan selama 19 hari atau satu bulan dalam penanggalan Baha'i.
Dalam hitungan kalender Masehi, puasa pemeluk Baha'i berlangsung pada 2-21 Maret. Tidak ada ritual khusus. Selama berpuasa, pemeluk Baha'i melakukan ritual biasa, yakni doa pagi dan petang. Pada 21 Maret mereka merayakan hari raya Naw-Ruz atau tahun baru Baha'i.
Sama seperti dalam agama keturunan Abraham lain, puasa pemeluk Baha'i dilakukan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam