tirto.id - Polemik anggaran DKI Jakarta yang diprotes anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PSI William Aditya Sarana berujung pada pelaporan atas dirinya ke Badan Kehormatan (BK) DPRD DKI Jakarta.
Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) yang menjadi dasar RAPBD DKI 2020 menjadi sorotan. Sebab, sejumlah usulan anggaran dinilai janggal. Salah satuny, rencana pengadaan lem Aibon senilai Rp82,8 miliar.
William dilaporkan oleh seorang warga asal Tanjung Priok, Sugiyanto, karena dinilai telah melanggar aturan yang mengacu pada Peraturan DPRD DKI Jakarta Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib DPRD DKI Jakarta.
Sugiyanto mengatakan langkah William itu sebagai anggota dewan justru menimbulkan kegaduhan. Apalagi unggahan mengenai kejanggalan usulan anggaran seperti lem Aibon Rp82,8 miliar atau pulpen Rp123 miliar dibongkar di forum tidak resmi melalui jumpa pers dan media sosial.
"Sikap yang bersangkutan justru menimbulkan opini negatif kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang seolah-olah dianggap tidak transparan," ucap Sugiyanto dalam keterangan resminya, Senin (4/11/2019) lalu.
Menurutnya, William telah melanggar kode etik karena mengunggah dokumen KUA-PPAS ke media sosial, salah satunya Twitter. Meski dokumen itu milik publik, kata Sugiyanto, upaya William ini dianggap tidak etis karena dokumen itu belum dibahas dalam forum resmi antara eksekutif dengan legislatif.
"Sebagai anggota dewan yang memiliki hak bertanya kepada mitra kerjanya Pemprov DKI Jakarta, harusnya kesempatan bertanya itu digunakan di forum rapat komisi atau Badan Anggaran [Banggar]," kata Sugiyanto.
Anggota Dewan Harus Terbuka
Langkah PSI mengkritik kejanggalan KUA-PPAS ini diapresiasi oleh Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi. Ia mengapresiasi kinerja DPRD DKI periode 2019-2024 yang dianggap mampu memeriksa semua anggaran yang diajukan Pemprov DKI secara teliti.
"Alhamdulilah saya apresiasi anggota DPRD yang baru ini [William], dia detail, semua dari komisi per komisi itu detail melihat [anggaran] itu," katanya, Rabu (30/10/2019) lalu.
Akibat dari tak transparannya KUA-PPAS 2020 yang memunculkan anggaran-anggaran janggal, akhirnya Prasetyo meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencopot anak buahnya di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tak becus menganggarkan kebutuhan bidang masing-masing.
"Kayak masalah Aibon-lah, terus masalah influencer. Kalau SKPD-nya enggak mampu, ganti orangnya," kata Prasetyo.
Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta, Wibi Andrino, juga tak mempermasalahkan langkah PSI. Ia bahkan mendesak Anies membuka akses publik terhadap Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 DKI.
Wibi menilai pembukaan akses tersebut bisa meredam polemik yang berkembang di masyarakat. Ia mengklaim fraksi Nasdem sudah meminta kepada Anies secara langsung untuk membuka rancangan anggaran DKI tersebut.
"Komponennya dipublikasikan saja, ini era keterbukaan. Sekarang ini masyarakat sudah amat kritis. Bilamana tidak, akan jadi pertanyaan ada apa di balik ini," kata Wibi, Kamis (31/10/2019) lalu.
Wibi menilai Jakarta adalah role model bagi daerah lain. Oleh karena itu, KUA-PPAS 2020 DKI Jakarta perlu dibuka ke publik sebagai bentuk transparansi.
"Karena Jakarta bukan milik semua orang Jakarta. Buka saja semuanya seterang-terangnya. Agar tidak jadi preseden buruk," kata dia.
Hal serupa ditegaskan oleh Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono. Ia menilai kalau memang data KUA-PPAS 2020 adalah milik publik warga Jakarta yang memang harus dibuka seluas-luasnya.
"Bahwa KUA-PPAS itu bukan hanya milik Anies atau DPRD, tapi itu milik publik. Warga Jakarta. Yang punya duit kan mereka, dari pajak mereka. Karena itu milik publik, maka anggota dewan boleh menyampaikannya ke publik," kata Gembong saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (6/11/2019) pagi.
Ia menilai apa yang dipermasalahkan banyak pihak, termasuk Sugiyanto dan partai-partai lainnya seperti PAN dan Gerindra, hanya perkara KUA-PPAS 2020 yang belum dibahas dengan legislatif namun sudah disebar.
"Tapi kalau soal informasi, ya zaman digital dan terbuka kok. Apalagi semua berawal dari Pemprov sendiri yang enggak transparan ke publik perihal KUA-PPAS. Kalau terbuka, persoalan kaya gini enggak akan muncul," katanya.
Ia menilai bahwa semua warga negara memang memiliki hak untuk melaporkan anggota dewan ke BK DPRD DKI Jakarta.
"Apakah melanggar etika atau tidak, biarlah nanti BK yang menelaah dan memutuskan. Tapi apa yang dilakukan oleh William memang tugasnya anggota dewan kaya gitu," ujarnya.
Karena PSI Sendirian dan Dikucilkan?
Pengajar komunikasi politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, menilai pelaporan ke BK DPRD DKI Jakarta yang dialami oleh politikus PSI William tak lain adalah bentuk penggembosan, mengingat ia merupakan politikus yang baru bergabung dan berani bersuara.
"Ketika William dilaporkan ke BK DPRD, itu bagian dari salah satu membendung suara-suara kritis. Dan itulah politik, terkadang yang membuka kasus, justru yang dilaporkan," kata Ujang saat dihubungi, Rabu siang.
Ia menilai pelaporan tersebut juga bisa didasari karena ketidaksukaan pihak-pihak tertentu karena PSI terlalu mengambil panggung.
Ujang menilai sangat wajar jika PSI mengambil langkah membuka dokumen ke publik lewat jaringan media sosial, mengingat partainya masih berkekuatan lemah di internal legislatif.
"Makanya PSI main sendiri bawa ke sosial media," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri