Menuju konten utama

Mekanisme dan Proses Pembuatan Bioetanol dari Singkong

Bagaimana cara membuat bioetanol? Simak penjelasan singkat mengenai mekanisme dan proses pembuatan bioetanol dari singkong berikut ini.

Mekanisme dan Proses Pembuatan Bioetanol dari Singkong
Mahasiswa mengolah buah bintaro (Cerbera manghas) menjadi bioetanol di laboratorium kimia, UM, Malang, Jawa Timur, Selasa (1/8). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

tirto.id - Bioetanol adalah jenis bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari bahan baku organik seperti tanaman pertanian atau limbah biomassa. Sebagai senyawa kimia dengan struktur alkohol, bioetanol memiliki sifat-sifat yang memungkinkannya jadi pengganti bahan bakar fosil seperti bensin.

Salah satu keunggulan utama bioetanol, sifatnya ramah lingkungan. Sebab, saat dibakar, bioetanol menghasilkan emisi karbon dioksida lebih rendah daripada bahan bakar fosil.

Bioetanol digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk sebagai bahan bakar alternatif dan bahan baku industri kimia. Bioetanol pun dapat digunakan sebagai sumber energi listrik, hingga bahan pembuatan produk kosmetik dan obat-obatan.

Mekanisme Pembuatan Bioetanol

Proses pembuatan bioetanol melalui fermentasi gula yang ada dalam bahan baku organik, yang kemudian diubah jadi etanol. Mekanisme pembuatan bietanol melibatkan setidaknya 4 tahapan berikut:

1. Pengolahan Bahan Baku

Proses pembuatan bioetanol dimulai dengan pemilihan bahan baku yang dapat bervariasi. Bahan baku bioetanol yang umum digunakan adalah tanaman pertanian seperti jagung, tebu, sorgum, singkong, berbagai jenis buah-buahan, serta biomassa lignoselulosa dari limbah kayu, jerami, dan berbagai jenis tumbuhan.

Bahan baku bioetanol perlu mengandung pati atau gula. Pemilihan bahan baku menjadi kunci dalam memastikan ketersediaan dan keberlanjutan produksi bioetanol.

Pada tahap awal, bahan baku dihancurkan dan diolah agar dapat memisahkan pati atau gula yang nantinya akan digunakan dalam proses fermentasi.

2. Fermentasi

Tahap selanjutnya dalam proses pembuatan bioetanol adalah fermentasi. Pada tahap ini, bahan baku yang telah disiapkan direaksikan dengan mikroorganisme tertentu, seperti ragi atau bakteri, dalam kondisi yang sesuai untuk mengubah gula menjadi etanol. Proses fermentasi ini menghasilkan campuran etanol, air, karbon dioksida, dan residu lainnya.

3. Distilasi

Setelah fermentasi selesai, bioetanol yang dihasilkan kemudian melewati tahap distilasi untuk memisahkan etanol dari campuran lain yang dihasilkan selama fermentasi.

Distilasi adalah proses pemanasan yang membuat campuran etanol menguap dan lantas terkondensasi menjadi cairan kembali. Distilasi berguna untuk meningkatkan konsentrasi etanol dalam larutan sehingga menghasilkan bioetanol dengan kadar alkohol yang tinggi.

4. Pemurnian

Proses selanjutnya ialah pemurnian bioetanol untuk menghilangkan kelembapannya dan memastikan produk akhir siap digunakan. Pemurnian bioetanol berguna menghilangkan senyawa-senyawa tidak diinginkan dan meningkatkan kemurniannya.

Pemurnian bioetanol dapat melibatkan proses seperti penyaringan atau menambahkan zat kimia tertentu untuk menghilangkan kontaminan lain. Hasil akhir tahap ini ialah bioetanol yang siap digunakan sebagai bahan bakar atau bahan baku dalam industri lainnya.

Contoh Proses Pembuatan Bioetanol dari Singkong

Bagaimana cara membuat bioetanol? Penjelasan tentang proses pembuatan bioetanol dari singkong secara singkat bisa disimak di bawah ini:

1. Menyiapkan Bahan Baku

Sebelum diolah, singkong dihancurkan terlebih dahulu menjadi bubur. Jika bahan baku ini dalam jumlah banyak dan tidak dapat diproduksi langsung, singkong perlu diawetkan.

Sebelum diawetkan, singkong terlebih dahulu dicuci. Setelah singkong kering, kemudian dimasukkan ke dalam karung dan disimpan di gudang penyimpanan.

2. Pemasakan atau Likuifikasi

Kandungan karbohidrat berupa tepung atau pati pada bahan baku singkong (filtrat bubur) bisa mengalami konversi menjadi gula kompleks melalui penggunaan enzim alfa amylase sebesar 0.03% dari jumlah total bahan baku.

Proses likuifikasi ini terjadi melalui pemanasan pada suhu 90 derajat celcius selama 30 menit (hidrolisis). Selama proses tersebut, tepung mengalami gelatinisasi, menjadi mirip dengan tekstur jelly.

Dalam kondisi optimal, enzim alfa amilase bisa bekerja dengan memecah struktur tepung secara kimia menjadi gula kompleks yang disebut dextrin. Proses likuifikasi selesai ketika parameter bubur yang diproses berubah menjadi lebih cair, mirip dengan sup.

3. Sakarifikasi

Di proses sakarifikasi, gula kompleks dari singkong dipecah lagi menjadi gula sederhana (glukosa) melalui beberapa tahapan berikut:

  • Bubur didinginkan hingga suhu optimum membuat enzim glukoamilase beroperasi.
  • PH enzim diatur agar berada pada kondisi optimal.
  • Enzim Glukoamilase ditambahkan sebanyak 0.02% dari jumlah total bahan baku.

Selama sakarfikasi, pH dan suhu dipertahankan 60°C selama 3 jam. Sakarifikasi dianggap selesai setelah dilakukan pengujian kadar gula sederhana yang dihasilkan.

4. Fermentasi

Pada tahap ini, tepung telah mengalami konversi menjadi gula sederhana yang terdiri dari glukosa dan sebagian fruktosa, dengan kadar gula berkisar antara 5 hingga 12%.

Berapa lama fermentasi bioetanol? Berikut penjelasan mengenai detail proses fermentasi bioetanol dari singkong:

  • Bubur didinginkan hingga mencapai suhu sekitar 37°C agar sesuai dengan kondisi optimal untuk kerja enzim glukoamilase.
  • Penambahan Pupuk Urea (ZA) sebanyak 0.14% dan Pupuk NPK sebanyak 0.02% dari jumlah total bahan baku. Pupuk ini berfungsi sebagai bahan tambahan untuk memperkaya pertumbuhan sel ragi.
  • Suspensi ragi (yeast) sebanyak 0.065% dari total bahan baku dicampur dengan cairan bahan baku (bubur) sebanyak 10% untuk membentuk biang.
  • Campuran ini dibiarkan dalam wadah tertutup pada suhu optimal antara 27 hingga 32 derajat celsius selama 24 jam.
  • Biang yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam bubur sisa pembuatan biang (volume 90%) dan kemudian dimasukkan ke dalam fermentor.
  • Proses fermentasi bioetanol berlangsung selama 5 hingga 7 hari (24 jam) secara anaerob (tertutup dari udara bebas). Selama fermentasi, akan dihasilkan cairan etanol/alkohol dan CO2.
  • Hasil dari fermentasi adalah cairan yang mengandung alkohol/etanol (mirip dengan beer).
  • Perlu diperhatikan bahwa kadar etanol yang sangat tinggi dapat membuat ragi menjadi tidak aktif lagi. Kelebihan alkohol dapat menjadi racun bagi ragi itu sendiri dan menghambat aktivitasnya.

5. Distilasi

Distilasi atau destilasi (penyulingan) dilakukan untuk memisahkan alkohol dalam cairan hasil fermentasi. Dalam proses distilasi, pada suhu 78 derajat Celcius (setara dengan titik didih alkohol), etanol akan menguap lebih dulu daripada air yang bertitik didih 95 derajat celcius.

Uap etanol dalam destilator akan dialirkan ke bagian kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan etanol. Penyulingan etanol merupakan tahap terpenting dari keseluruhan proses produksi bioetanol.

Dalam proses distilasi bioetanol, dibutuhkan operator yang menguasai teknik penyulingan etanol. Untuk mendapatkan hasil penyulingan etanol yang optimal, tenaga operator juga perlu memiliki pemahaman tentang teknik fermentasi dan pengoperasian alat destilator.

6. Dehidrasi (Opsional)

Jika diperlukan, tahap dehidrasi bisa dilakukan. Etanol yang sudah melalui proses distilasi perlu melalui tahap dehidrasi untuk menghilangkan sebanyak mungkin kadar air. Etanol anhidrat (tanpa air) memiliki nilai energi lebih tinggi sehingga layak untuk bahan bakar.

7. Pemurnian Lanjutan (Opsional)

Untuk mendapatkan bioetanol dengan kemurnian lebih tinggi, proses pemurnian lanjutan seperti penggunaan adsorben atau membran pemisah dapat dilakukan. Manfaatnya ialah menghilangkan senyawa lain yang tersisa dalam etanol.

Pengujian Bioetanol

Bioetanol dihasilkan dari reaksi kimia antara etilena dan uap air. Rumus kimia bioetanol adalah C₂H₅OH, yang merupakan alkohol etil.

Untuk memastikan kualitas bioetanol, perlu ada pengujian. Beberapa metode pengujian bioetanol yang umum digunakan adalah:

1. Pengujian Kadar Air

Pengujian ini untuk menentukan jumlah air dalam bioetanol. Kadar air yang tinggi dapat memengaruhi kualitas bioetanol sebagai bahan bakar. Pengujian kadar air bioetanol bisa memakai beberapa metode, yakni:

a. Distilasi

Penguapan sampel bioetanol, diikuti pengukuran berat jenis uapnya. Kadar air bioetanol kemudian dihitung berdasarkan perbedaan antara berat jenis uap air dan etanol.

b. Metode Karl Fischer

Metode Karl Fischer adalah metode titrasi yang digunakan secara luas untuk mengukur kadar air di berbagai zat kimia, termasuk bioetanol. Dalam metode ini, sampel bioetanol direaksikan dengan larutan Karl Fischer yang mengandung reagen khusus yang bereaksi dengan air. Reaksi kimia ini menghasilkan perubahan warna, dan kadar air dalam sampel dapat dihitung berdasarkan volume larutan Karl Fischer yang digunakan.

c. Metode Inframerah

Metode inframerah atau FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) dapat digunakan untuk mengukur kadar air bioetanol. Teknik FTIR memanfaatkan sifat absorpsi cahaya inframerah di molekul air. Dengan mengukur pola absorpsi cahaya inframerah di sampel bioetanol, jumlah air yang terkandung dalam sampel bisa diketahui.

d. Memakai Hydrometer

Hydrometer adalah alat untuk mengukur berat jenis (densitas) cairan. Dalam pengujian kadar air bioetanol, hydrometer khusus dapat dipakai untuk mengukur densitas bioetanol. Kadar air bioetanol dihitung berdasarkan perbedaan densitas antara bioetanol murni dan campuran bioetanol-air.

e. Metode Kering

Metode ini berupa penggunaan magnesium atau natrium yang bereaksi dengan air dalam sampel bioetanol. Reaksi tersebut menghasilkan produk samping yang dapat diukur untuk menentukan jumlah air dalam sampel.

2. Pengujian Kadar Etanol

Pengujian ini berguna untuk mengukur konsentrasi etanol dalam bioetanol. Etanol harus memiliki konsentrasi yang sesuai demi efisiensi pembakaran. Metode spektrofotometri atau titrasi dapat digunakan mengukur kadar etanol secara akurat.

3. Analisis Kromatografi

Teknik kromatografi, seperti kromatografi gas (GC) atau kromatografi cair (HPLC), perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan memisahkan komponen dalam bioetanol. Pengujian ini bisa memastikan bahwa hanya etanol yang hadir dalam produk akhir bioetanol.

4. Pengujian Nilai Kalor

Pengujian nilai kalor untuk menentukan jumlah energi yang bisa dihasilkan oleh bioetanol saat terbakar. Pengujian nilai kalor bioetanol akan menentukan efisiensinya sebagai bahan bakar. Nilai kalor bioetanol mengacu pada jumlah energi dari pembakaran bioetanol dalam kondisi tertentu.

Pengukuran nilai kalor bioetanol bisa menggunakan metode pembakaran. Caranya adalah dengan membakar sampel bioetanol di alat seperti bomb kalorimeter. Lantas, panas hasil pembakaran diukur dengan termometer. Berikutnya, hitung nilai kalor bioetanol berdasar perbandingan panas yang dihasilkan dan massa sampel yang digunakan.

5. Pengujian specific gravity

Pengujian spesific gravity berguna mengukur densitas atau massa jenis relatif bioetanol. Densitas bioetanol bergantung pada komposisi kimianya, termasuk kadar etanol dan air.

Pengujian ini memerlukan sampel bioetanol serta sejumlah peralatan, seperti termometer, hydrometer, cylinder ukur, dan larutan standar untuk kalibrasi hydrometer.

Baca juga artikel terkait ENERGI atau tulisan lainnya dari Ruhma Syifwatul Jinan

Kontributor: Ruhma Syifwatul Jinan
Penulis: Ruhma Syifwatul Jinan
Editor: Addi M Idhom