tirto.id - Di sebuah diskusi kalangan anak-anak muda yang khusus mengkaji ajaran Islam, seorang peserta mengatakan bahwa sepuluh sampai dua puluh tahun belakangan ada dua penulis keislaman Indonesia yang sama-sama memiliki watak tulisan yang sangat provokatif: Masdar Farid Mas’udi dan Ulil Abshar Abdalla. Keduanya—dengan warna kalimat dan corak tulisannya masing-masing—memang sama-sama provokatif.
Yang membedakan hanyalah jika Ulil provokatif pada artikel-artikel pendeknya, maka provokasi Masdar Farid Mas’udi dituangkan dalam bentuk buku yang utuh. Provokasi Masdar dalam konteks terus merangsang pembaca untuk berpikir ulang mengenai konsepsi-konsepsi pemahaman agama yang terlihat sudah mapan telah ia lakukan sejak dalam gagasan.
Dalam pendahuluan buku kontroversialnya yang bertajuk Pajak itu Zakat: Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat (2005), Masdar membuka bukunya dengan satu tarikan kalimat panjang yang menghentak:
“Dengan dibangun dan dikukuhkannya benteng-benteng bertahan mazhab dalam Islam yang dimulai sekitar abad ke-3 H (Abad Ke-9 M), secara perlahan umat mengalami kemandekan dalam pemikiran [...] Semua ajaran itu, tahap demi tahap, dianggap sudah selesai secara konsepsional. Tugas umat Islam di kemudian hari tinggal mengenali konsep-konsep tersebut, menghafalkan sebisanya dan di atas segalanya mengamalkannya setepat mungkin menurut tata cara yang diajarkannya (hlm. 7).”
Masdar memang selalu provokatif sejak tarikan paragraf pertama. Sikap yang demikian ia ambil sebagai konsekuensi atas kritik-kritiknya yang tajam pada kejumudan pemikiran yang dirasakannya sebagai ancaman nyata bagi perkembangan ajaran Islam. Maka, jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah mendobrak dan mendemistifikasi pemahaman-pemahaman lama yang dianggap sudah selesai dan paripurna.
Selain memiliki kutub statis (jãnibus tsãbit), yang jumlahnya sangat sedikit dan terdiri dari hal-hal prinsip, Islam juga memiliki kutub dinamis (jãnibul mutaghayyir) yang memiliki spektrum dan wilayah yang jauh lebih luas. Pada kutub dinamis inilah Masdar mendendangkan pemikirannya.
Akibat dari pemahaman yang menganggap bahwa Islam tidak memiliki watak dinamis dan cenderung menganggap semua sudah selesai itu, Masdar melancarkan kritik tajam bahwa pemahaman yang seperti itu akan melahirkan ortodoksi dan mistifikasi ajaran yang jumud dan cenderung dogmatis, kaku dan tidak responsif terhadap perkembangan zaman.
“Setiap keinginan yang menjurus pada pemikiran ulang konsepsi-konsepsi keagamaan segera dicurigai, dan selalu diusahakan untuk dihindari. Ada dua trik sekurang-kurangnya untuk mengelak dari kemungkinan semacam itu. Pertama, dengan menciptakan mitos seolah-olah keinginan seperti itu hanya bisa dipenuhi oleh kualitas keulamaan yang tidak lagi dilahirkan di muka bumi ini. Ini terlihat antara lain dengan mempersempit kemungkinan atau menakut-nakuti orang yang ingin memasuki wilayah ijtihad. Kedua, pemikiran ulang seperti itu selalu saja didiskreditkan sebagai tidak perlu dan hanya akan membuat stabilitas keberagamaan umat mengalami kekacauan (hlm. 8).”
Demikianlah Masdar Farid Mas’udi, pria kelahiran Purwokerto, 18 September 1954 ini mendedahkan pikiran-pikirannya. Ia juga dikenal sebagai sosok yang menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh kebersahajaan.
Banyak yang salah sangka di balik kritik tajam dan pikiran kontroversialnya itu, Masdar kerap dianggap sebagai sarjana muslim didikan Barat atau pernah menggondol gelar kesarjanaan dari universitas-universitas luar negeri. Senyatanya, Masdar memang tidak pernah mengenyam bangku perkuliahan di Barat.
Setalah digodok oleh dua sosok kiai karismatik: Kiai Chudlori Tegalrejo dan Kiai Ali Maksum Krapyak, Masdar melanjutkan pengembaraan keilmuannya di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pada 1997, Masdar menamatkan studi jenjang master bidang Filsafat di Universitas Indonesia.
Sebagai Intelektual cum organisatoris di lingkungan Nahdlatul Ulama, Masdar malang melintang di pelbagai pos jabatan. Untuk menyebut beberapa yang cukup strategis seperti Ketua I PB PMII 1983-1985, Anggota kelompok G dan tim 24 yang menggagas kembalinya NU ke Khittah 1926, Anggota Tim Tujuh Khittah NU 1926, Katib Awal Syuriah PBNU 1999-2003, dan pada 2004 ditunjuk sebagai pelaksana tugas harian Ketua Umum PBNU selama K.H. Hasyim Muzadi menjadi cawapres. Masdar juga pernah menjabat Direktur P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Saat ini, ia menduduki jabatan sebagai Rais Syuriah PBNU periode 2015-2010.
Menggugat Kemapanan
Selain provokatif dalam tulisan, gagasan-gagasan Masdar dinilai kontroversial. Masdar pernah mewacanakan, lebih tepatnya menggugat, agar pelaksanaan ibadah haji diperpanjang. Ia melihat bahwa adanya tragedi kemanusiaan dan penumpukan jemaah haji dari tahun ke tahun membutuhkan jalan keluar yang konkret.
Solusi yang ditawarkan Masdar adalah merujuk kalimat al-hajju asyhurum ma’lumãt (ibadah haji dilaksanakan di beberapa bulan yang diketahui: Syawwal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah), maka jalan keluarnya bisa ditempuh dengan cara memperpanjang durasi atau waktu pelaksanaan ibadah haji.
Publik dibuat geger oleh pemikiran ini. Kalangan tradisionalis, juga mereka yang sangat konservatif, menilai pikiran itu adalah pikiran nakal yang tidak berdasar pada ajaran agama yang telah diajarkan dan diterima umat Islam selama ini.
Masdar juga membuat geger publik ketika mengeluarkan pendapat bahwa pajak dan zakat itu sama. Zakat dan pajak itu ibarat ruh dan badan. Zakat spirit atau ruhnya, sementara pajak adalah badan, fisik atau bentuk konkretnya.
Masdar mengatakan, “sebagai bagian dari ajaran agama untuk kehidupan sosial, zakat pada dasarnya adalah konsep etik atau moral, sementara wujud institusional atau kelembagaannya adalah pajak yang ada dalam kewenangan negara.”
Banyak kalangan merasa terusik dengan pemikiran ini. Bahkan yang menyedihkan, tidak sedikit yang memilih untuk menutup pintu diskusi. Mereka memilih untuk menuduh dan menghakimi bahwa produk pemikiran seperti ini adalah keluar dari tradisi yang diajarkan ulama-ulama terdahulu.
Namun bukan Masdar jika tidak bergeming. Ia membiarkan, bahkan pada konteks tertentu malah menikmati, buah pemikirannya diperbincangkan, didiskusikan, dan bahkan diperdebatkan. Ini bukti, terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya, bahwa ada naluri dan gairah-gairah diskusi yang sebetulnya diam-diam hidup di kalangan kesarjanaan Islam atau di NU khususnya, meski sporadis dan cenderung malu-malu.
Upaya Masdar untuk membongkar pemahaman-pemahaman yang dianggap mapan barangkali sejalan dengan gagasan Al-Qarrafi, ahli hukum Mesir dari abad ke-13, bahwa ”al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãlun fid din wa jahlun bi maqãsidihi”, pembacaan-pembacaan teks keagamaan yang bersifat statis nir-penafsiran yang progresif adalah kesesatan abadi dalam beragama.
Namun, tentu ia menyadari bahwa pembongkaran atas pemahaman-pemahaman yang dianggap mapan tersebut harus menggunakan metodologi yang tepat, dan tampaknya dalam konteks ini Masdar menjadikan maslahah sebagai basis metodologis sumber gagasan-gagasannya.
Basis metodologi itu sejalan dengan adagium ushul fikih: ”idzã wujida nahs fatsamma masslahah, waidzã wujidal maslahah fatsamma shar’ullãh. Jika ditemukan sebuah teks, maka di sanalah ada kemaslahatan; sebaliknya jika ditemukan kebaikan, maka di sanalah hukum (syariat) Allah”. Dengan bingkai kaidah ini, bagi Masdar, penafsiran ajaran agama Islam menjadi dua langkah lebih dinamis dan progresif, tidak jumud dan stagnan.
Pensyarah Konstitusi
Komitmen kebangsaan Masdar, sebagaimana lazimnya komitmen kebangsaan yang diajarkan dalam tradisi Nahdlatul Ulama, dituangkan dalam sebuah karya monumental Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif Islam (2010). Buku ini memberikan syarah (komentar) berupa dalil-dalil naqli untuk semua ketentuan yang ada di dalam UUD 1945.
Masdar mengatakan, "dengan syarah ini ditunjukkan bahwa nilai-nilai dan aturan dasar konstitusi tidaklah bertentangan dengan substansi nilai keislaman. Oleh sebab itu tantangannya bukanlah sebagaimana memperjuangkan formalisasi negara Islam, melainkan bagaimana merealisasikan nilai dan aturan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, jujur, dan konsekuen" (hlm. viii).
Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU 1999-2014, saat mengomentari buku tersebut mengatakan bahwa ada semacam kebutuhan mutlak akan bagaimana nilai dasar dan konsep utama di dalam UUD 1945 mampu diterima masyarakat, dan khususnya umat Islam. Gagasan dan inisiatif brilian Masdar untuk memberikan syarah pada UUD 1945—meminjam bahasa Kiai Sahal—mampu meretas benang keraguan dan juga sikap setengah hati umat Islam yang acap ditemukan di pelbagai belahan Indonesia.
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan