Menuju konten utama

Profil Hoegeng Imam Santoso Jadi Inspirasi Polisi di Awards 2023

Berikut profil mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso yang jadi inspirasi polisi  untuk Awards 2023.

Profil Hoegeng Imam Santoso Jadi Inspirasi Polisi di Awards 2023
Ilustrasi Hoegeng Iman Santoso. tirto.id/Gery

tirto.id - Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso adalah Kapolri periode 1968–1971. Dia merupakan polisi yang dikenal lurus dan memiliki integritas tinggi. Bahkan namanya terkenal jujur, bersih, dan tegas. Hoegeng melegenda hingga hari ini sebagai ikon polisi bebas korupsi.

Presiden keempat Republik Indonesia, Gus Dur bahkan pernah berkelakar bahwa di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur yaitu "patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng."

Perjalanan karier kepolisiannya yang bersih dan lurus menjadi inspirasi diadakan Hoegeng Awards 2023, sebuah penghargaan untuk anggota kepolisian yang mewarisi nilai-nilai dari Hoegeng selama bertugas sebagai polisi.

Secara spesifik, sebagaimana dilaporkan Antara News, penerima Hoegeng Awards 2023 adalah anggota kepolisian aktif yang tidak memiliki catatan buruk selama bertugas, memberikan dampak terhadap masyarakat, memiliki citra positif, berintegritas, dan menjalankan prinsip presisi.

Seperti disampaikan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo, ada lima kategori dalam ajang penghargaan Hoegeng Awards 2023, yang meliputi:

  1. Polisi Berintegritas
  2. Polisi Inovatif
  3. Polisi Berdedikasi
  4. Polisi Pelindung Perempuan dan Anak
  5. Polisi Tapal Batas

Latar Belakang Hoegeng Awards 2023

Hoegeng Awards pertama kali digelar pada Juli 2022, yang merupakan usulan dari Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo pada rapat kerja dengan Komisi 3 DPR RI pada Januari 2022.

Pada gelaran perdanya, Hoegeng Awards 2022 hanya terdiri dari tiga kategori penghargaan yang meliputi Polisi Berintegritas, Polisi Inovatif, Polisi Berdedikasi.

Latar belakang yang menjadi pemicu terbentuknya Hoegeng Awards 2023 adalah karena keresahan masyarakat kepada institusi Kepolisian, yang berpuncak pada ulah oknum kepolisian yang tidak sedikit jumlahnya.

Ini kemudian membuat citra polisi di masyarakat semakin buruk hingga muncul tagar #percumalaporpolisi dan #satuharisatuoknum di media sosial beberapa waktu lalu.

Krisis citra polisi di hadapan masyarakat membuat Polri harus berbenah, salah satu caranya dengan memberikan penghargaan kepada anggota kepolisian, yang menjalankan tugasnya dengan lurus dan bersih layaknya Jenderal Hoegeng.

Profil Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso

Hoegeng Imam Santoso adalah putra sulung dari ayah yang bernama Soekario Kario Hatmodjo dan ibu bernama Oemi Kalsoem, dia dilahirkan pada 14 Oktober 1921 di Kampung Pesatean, Pekalong.

Hoegeng lahir dari keluarga menengah, kala itu ayahnya merupakan jaksa di Pengadilan Negeri pada masa pemerintah Belanda, demikian mengutip buku Suhartono berjudul Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan (Sebuah Autobiografi) dalam Jurnal Swadesi, Volume II Nomor 1 (Mei) 2021.

Hoegeng Iman Santoso masuk sekolah SD atau Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Pemalang pada tahun 1927. Dari HIS Pemalang, Hoegeng pindah ke HIS Pekalongan karena pada sang ayah (Soekario Kario Hatmodjo) dipindahkan tugas menjadi Hoofd jaksa di Pekalongan.

Lulus dari HIS ditahun 1934, Hoegeng melanjutkan sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah yang sederajad dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekarang.

Setelah tamat MULO tahun 1937, Hoegeng melanjutkan sekolah ke Aglemeene Middlebare School (AMS) di Yogyakarta atau setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada saat ini.

Hoegeng mengambil jurusan A II dan lulus pada tahun 1940. Selanjutnya Hoegeng melanjutkan kuliah di Recht Hoge School (RHS) Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Namun pendidikan RHS tidak dapat diselesaikan karena Jepang sudah masuk Indonesia dan RHS ditutup.

Ketika kembali ke Pekalongan, Hoegeng mendapat informasi terbukanya ruang bagi para pemuda Indonesia untuk bisa masuk kursus Polisi, salah satu syaratnya adalah minimal tamatan MULO. Polisi yang dibutuhkan sebanyak 11 orang.

Dengan semangat jiwa muda yang berkobar, Hoegeng mendaftarkan diri. Dia percaya karena alumi AMS dan Drop Out RHS mempunyai kesempatan yang besar untuk menjadi inspektur polisi. 130 orang yang mendaftar, Hoegeng adalah salah satu yang terpilih menjadi inspektur kepolisian.

Namun kursus tersebut hanya untuk Hoofd Agent Polisi, di mana jabatannya di bawah pangkat Inspektur polisi kelas II. Kursus dan latihan polisi ini diserahkan sepenuhnya kepada orang pribumi di bawah kepemimpinan Soemarto.

Kursus sekolah ini bertempat di asrama polisi. Hoegeng dan teman-temannya yang diterima sebagai siswa mendapat gaji Rp32, seragam serta senjata.

Sekolah kepolisian ini berlangsung selama kurang lebih 6 bulan. Siswa dari sekolah tersebut merupakan hasil produk sekolah kepolisian pada zaman kependudukan Jepang kemudian menjadi perwira kepolisian Republik Indonesia pada gelombang pertama.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 saat proklamasi digaungkan, Hoegeng Iman Santoso berdinas di kepolisian Kota Semarang. Hoegeng terus meneruskan pendidikan kepolisiannya sampai pada akhirnya menjadi Mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Di sisi lain, Hoegeng menjalankan tugasnya sebagai polisi bagian lalu lintas dan lain–lain di Markas Besar Angkatan Kepolisian. Pangkat Hoegeng saat itu adalah Arjun Komisaris Polisi (AKP) dan an Hoegeng lulus PTIK pada tahun 1952.

Setelah lulus dari PTIK Hoegeng bekerja di wilayah kepolisian Jawa Timur selaku wakil kepala direktorat DPKN (Dinas Pengawasan Keamanan Negara).

Selanjutnya tahun 1956, Hoegeng ditugaskan ke Medan, Sumatera Utara. Pada saat itu, kondisinya sangat banyak kasus kejahatan, mulai dari penyelundupan, perjudian dan perampokan.

Medan bukanlah wilayah yang mudah untuk bekerja karena ujiannya sangat besar, terutama untuk para polisi yang jujur dan tidak mudah disuap seperti Hoegeng, namun sangat menarik untuk polisi yang mudah melanggar hukum.

Karena teguh pendirian dan tidak bisa diajak kompromi oleh para penyeludup, Hoegeng sering menghadapi ancaman pembunuhan dan menjadi sasaran para penembak jitu. Tahun 1960 Hoegeng ditarik pulang ke Jakarta.

Pulang dari Medan, Hoegeng tidak memiliki pekerjaan dan mengganggur, waktunya banyak dihabiskan untuk melukis, bermusik dan berkumpul bersama keluarga (Suhartono, 2013).

Pada 19 Januari 1961 secara resmi Hoegeng dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Ini adalah pekerjaan pertama Hoegeng di luar kepolisian. Namun pada bulan Juni 1965 ia mengundurkan diri.

Kemudian, pada tahun 1965, Hoegeng bergabung dalam Kabinet Dwikora I dan dilantik menjadi Menteri Iuran Negara. Dia juga pernah menjabat sebagai menteri/sekretaris presidium kabinet.

Pada saat kabinet Dwikora II, Hoegeng diamanahkan menjadi Menteri Urusan Iuran Negara yang berjalan mulai 24 Februari 1966 dan usai pada tanggal 28 Maret 1966. Pada Bulan Agustus 1966, secara resmi Presiden Soeharto memandatkan Hoegeng sebagai Deputi Menteri Muda Angkatan Kepolisian.

Dalam menjalankan tugasnya, ia tidak hanya mengatur dan mengawasi Brigade Mobil (Brimob) tetapi juga berkoordinasi serta mengawasi Kesatuan Polisi perairan dan Udara, Direktorat Tugas umum dan Direktorat lalu lintas.

Pada tahun 1967, dia diangkat sebagai wakil menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menteri/Pagak) yang bertugas mengatur operasional Kepolisian Indonesia.

Pada awal Mei 1968 sebelum menjadi menteri/pangak Hoegeng dinaikkan pangkatnya menjadi Bintang Tiga atau Komisaris Jenderal. Selanjutnya 15 Mei 1968, Hoegeng dan Tengku Azis dilantik menjadi Menteri/Pangak dan Wakil menteri/Pangak saat ini sama seperti Kapolri dan Wakapolri.

Banyak sepak terjang Hoegeng yang menunjukkan karakternya sebagai polisi lurus dan bersih di masa pemerintahan korup. Salah satu yang sangat membekas adalah Hoegeng dihadapkan pada kasus pemerkosaan seorang penjual telur bernama Sumarijem di Yogyakarta.

Dalam kasus pemerkosaan ini, anak seorang pejabat diduga ikut menjadi pelakunya. Hoegeng langsung membentuk tim khusus untuk pemerkosaan ini dan diberinama Tim pemeriksa Sum Kuning. Tim ini dibentuk pada bulan Januari 1971.

Hoegeng tidak gentar dalam mengusut tuntas kasus ini, akan tetapi Presiden Soeharto meminta kasus ini tidak ditangani oleh mereka melainkan dialih tugaskan oleh tim pemeriksa pusat Kopkamtib. Kasus pemerkosaan ini menyebabkan Jendral Hoegeng dipensiunkan dari jabatanya sebagai Kapolri.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Alexander Haryanto