tirto.id - Direktur Utama PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta William Sabandar membeberkan rencana mengakuisisi PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) dari PT Kereta Api Indonesia (KAI). “MRT akan mendapat kepemilikan 51 persen pada KCI dan sisanya 49 persen akan dimiliki oleh PT KAI,” ucap William dalam diskusi virtual, Kamis (10/12/2020) lalu.
KCI atau Commuterline Indonesia sebelumnya adalah Divisi Jabodetabek KAI yang berganti nama sejak September 2017. Saat ini pemegang saham KCI adalah KAI sebesar 99,78 persen dan Yayasan Pusaka 0,22 persen.
Pengamat BUMN Toto Pranoto mengatakan akuisisi bisa mempermudah integrasi transportasi yang ada di Jakarta. Toto bilang integrasi akan semakin memanjakan masyarakat yang tinggal di luar Jakarta namun bekerja di ibu kota. “Kemudahan buat konsumen. Kalau dia sudah punya satu tiket yang berlaku untuk tiga moda, kan, jauh lebih mudah. Enggak usah buka 3 kartu untuk 3 layanan yang beda,” tutur dia kepada reporter Tirto, Kamis (14/1/2021).
Secara bisnis pun ini akan memberi keuntungan bagi dua perusahaan. Proses pengembangan kawasan integrasi transportasi atau transit oriented development (TOD) bisa lebih optimal bila pihak-pihak yang terlibat berada dalam satu entitas bisnis yang sama.
TOD menjadikan stasiun transit atau stasiun pemberhentian sebagai pusat. Ia juga dikelilingi infrastruktur pendukung komersial seperti perkantoran dan pusat perbelanjaan. Proyek ini beberapa di antaranya tengah dibangun di Stasiun Tanjung Barat, Pasar Senen, Pondok Cina, Depok Baru, dan Citayam.
Bila potensi pendapatan dari TOD bisa diptimalkan, dananya bisa dimanfaatkan untuk menambal beban biaya transportasi. “Mengoptimalisasai pendapatan dari TOD, subsidi dapat dikurangi,” katanya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, subsidi atau public service obligation (PSO) untuk KRL Jabodetabek tahun lalu mencapai Rp1,55 triliun.
Ia juga mengingatkan akuisisi tak akan menghilangkan hak negara terhadap KCI lewat KAI. “Sahamnya KAI enggak hilang di KCI. Mungkin MRT yang akan jadi mayoritas karena dia punya saham 51 persen,” tandasnya.
Integrasi Tanpa Akuisisi
Rencana ini mendapat penolakan dari Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA). Ketua Umum SPKA Edi Suryanto mengatakan akuisisi justru berpotensi merusak sistem transportasi perkeretaapian yang sudah mapan.
Edi mengatakan akuisisi tidak pernah dibahas dalam rapat-rapat resmi. Rapat 8 Januari 2019, misalnya, hanya membahas optimalisasi TOD dan ticketing terpadu. “Untuk kelola TOD, stasiun, dan tiket itu mau dibentuk PT-nya. Nanti penumpang LRT, KA Bandara, Trans Jakarta, MRT itu satu kartu,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis. “Kami sepakat itu bikin penumpang efisien, tapi kenapa yang kedengaran sekarang soal akuisisi?”
Dia mengatakan serikat bukan menolak integrasi, tapi integrasi itu “bisa dilakukan tanpa perlu akuisisi.”
Pandangan senada juga datang dari Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno. Menurutnya ruang lingkup layanan KCI yang luas, tidak hanya DKI, perlu jadi pertimbangan.
Berdasarkan Pasal 6 UU 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, KCI tergolong 'perkeretaapian nasional' karena melayani angkutan orang di lebih dari satu provinsi. Karena sifatnya nasional, maka yang berwenang adalah pemerintah pusat pusat. Dalam hal ini pusat telah membentuk Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) melalui Peraturan Presiden Nomor 103 Tahun 2015.
Bila tujuannya sekadar integrasi, menurutnya masih banyak opsi lain yang bisa dipilih selain penggabungan bisnis lewat skema akuisisi atau pencaplokan saham.
Salah satu opsi tersebut adalah memperbaiki BPTJ. “Tugas BPTJ adalah mengembangkan, mengelola, dan meningkatkan pelayanan transportasi secara terintegrasi di Jabodetabek. Ya sudah, BPTJ saja benahi, optimalkan, pasang orang yang ahli untuk bertugas di sana.”
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino