Menuju konten utama

Pro-Kontra Perlindungan Pekerja Sharing Economy California

Di awal tahun 2020, California merilis produk hukum yang membatasi ruang gerak perusahaan IT.

Pro-Kontra Perlindungan Pekerja Sharing Economy California
Parkir mobil Uber. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Semua orang di California ketakutan,” kata Gloria Rivera, perempuan yang hijrah dari Peru ke Amerika Serikat sebagai pekerja paruh waktu. Ia bekerja sebagai penerjemah untuk berbagai perusahaan dan institusi di San Diego, California, Amerika Serikat.

Rivera, sebagaimana mengungkapkannya pada The New York Times, menyatakan bahwa statusnya sebagai pekerja paruh waktu terancam. Sebab, California, negara bagian Amerika Serikat yang menjadi rumah bagi Silicon Valley dan Hollywood, menerapkan undang-undang baru bertajuk Assembly Bill 5 sejak 2020.

Dalam Assembly Bill 5, jika seorang pekerja bekerja secara reguler untuk satu perusahaan dan pekerjaannya itu memang menjadi bagian tak terbantahkan perusahaan, orang tersebut harus diangkat sebagai pegawai tetap, bukan kontraktor, paruh waktu, atau mitra. Perusahaan atau institusi yang memanfaatkan jasa Rivera kini kebingungan status apa yang harus diberikan kepadanya setelah 1 Januari 2020.

Menanggapi Assembly Bill 5, SB Nation, situs web olahraga milik Vox Media, memutus hubungan kerja lebih dari 200 penulis lepas, karena menurut undang-undang baru itu, mereka harus diakui sebagai karyawan tetap.

Bagi beberapa sektor bisnis, Assembly Bill 5 terasa menakutkan. Hubungan kerja pemberi kerja-pekerja dalam kerangka freelance terancam. Namun, sesungguhnya, bukan orang-orang seperti Rivera atau para penulis lepas SB Nation yang disasar produk hukum baru California ini. Perusahaan-perusahaan penggerak “gig economy” alias “sharing economy” seperti Uber-lah yang sesungguhnya diincar Assembly Bill 5.

Selain Assembly Bill 5, California pun memberlakukan hukum baru di wilayahnya bernama California Consumer Privacy Act (CCPA). CCPA menyasar semua perusahaan IT, lebih luas dari yang disasar Assembly Bill 5.

Yang jelas, hadirnya Assembly Bill 5 dan CCPA tercipta karena satu alasan: perusahaan IT bertindak menyebalkan di beberapa titik operasionalnya.

Mendulang Ulang dari Mitra Hingga Data Pengguna

Tak bisa dipungkiri, lahirnya perusahaan gig economy seperti Uberdan kawan-kawannya mengubah hidup banyak orang. Di Amerika Serikat misalnya, lebih dari 750.000 orang kini menggantungkan hidupnya pada Uber. Di Indonesia, menurut Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI), Gojek berkontribusi Rp44,2 triliun hingga Rp55 triliun terhadap perekonomian Indonesia. Lalu, menurut survey yang dilakukan CSIS dan Tenggara Strategics, Grab berkontribusi Rp48,9 triliun pada perekonomian Indonesia sepanjang 2018.

Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat dalam laporannya bertajuk “The ‘Sharing’ Economy Issues Facing Platform, Participants and Regulators” (2016) menyebut bahwa gig economy atau sharing economy merupakan marketplace atau tempat menjajakan barang dan jasa yang dikelilingi tiga pemain utama: platform, penjual, dan pembeli. Platform, menurut laporan itu, berguna “untuk mempertemukan individu yang memiliki jasa/barang dengan peminat jasa/barang yang bersangkutan.”

Konsep ekonomi ini sesungguhnya menihilkan pihak ketiga (middle man). Namun, kenyataannya, aplikasi seperti Uber, Lyft, Gojek, Grab, AirBnB adalah pihak ketiga itu sendiri. Mereka memperoleh bagian dari tiap transaksi yang terjadi antara penjual-pembeli, pengguna jasa-pemberi jasa. Misalnya, ketika seseorang menggunakan Uber untuk bepergian dan harus membayar $18, Uber memperoleh $7. Begitupun Lyft, Gojek, Grab, AirBnB, dan bisnis-bisnis sejenis.

Terdengar baik-baik saja, bukan? Tapi, coba pikirkan, para pengemudi aplikasi, yang berkontribusi besar pada si pemilik aplikasi, seberapa pun lamanya bekerja dan saban hari menenteng logo aplikasi, tidak dianggap karyawan tetap si pemilik aplikasi. Akibatnya, mereka tidak memperoleh asuransi kesehatan dan fasilitas lainnya sebagaimana karyawan tetap. Senator negara bagian california Maria Elena Durazo menyatakan, "Sesungguhnya, perlu saya perjelas, tidak ada yang inovatif dari perusahaan yang membayar rendah upah dan tidak memberikan asuransi bagi pekerjanya,” ujarnya sebagaimana dikutip New York Times.

The New York Times melaporkan perusahaan-perusahaan gig economy “membangun kerajaan bisnis dari tenaga-tenaga berbiaya murah nan independen”. Alih-alih memperlakukan pengemudi selayaknya karyawan, Uber, Lyft, Grab, hingga Gojek menyebut mereka sebagai “mitra”.

Atas klasifikasi sebagai mitra, para pengemudi atau pekerja gig economy via aplikasi kehilangan hak-hak dasar mereka, seperti asuransi kesehatan, jaminan sosial ketenagakerjaan, hingga cuti kerja.

Di Amerika Serikat sendiri, karena klasifikasi pengemudi sebagai mitra, Uber dan Lyft menghemat uang hingga $7 miliar per tahun, sebagai angka pajak yang harus dibayarkan pada pemerintah jika para pengemudi berstatus karyawan.

Assembly Bill 5 lahir untuk merespons situasi kerja tersebut.

Di lain sisi, mengawali 2020 California juga memberlakukan California Consumer Privacy Act (CCPA) guna menghalau perilaku perusahaan IT yang semena-mena menggunakan data penggunanya.

Data sangat berharga dalam dunia digital. Sayangnya, sebagaimana dilaporkan Voxbanyak perusahaan yang memanfaatkan data pengguna tanpa sepengetahuan penggunanya. Contohnya, Copley Advertising yang memberikan jasa iklan berbasis lokasi. Lalu, ada pula 23andMe, perusahaan yang menawarkan analisis DNA, diketahui menjual info data DNA pada perusahaan farmasi GlaxoSMithKline. Terakhir dan yang paling menghebohkan adalah perilaku Cambridge Analytica, yang memanfaatkan 87 juta profil pengguna Facebook untuk melakukan kampanye memenangkan Donald Trump menjadi presiden.

Infografik Aturan Baru di Tahun Baru

Infografik Aturan Baru di Tahun Baru. tirto.id/Nauval

Secara umum, Oana Barbu, peneliti dari Western University of Timisoara, dalam studi berjudul “Advertising, Microtargeting and Social Media” (2014) mengatakan bahwa kini perusahaan IT lazim melakukan praktek microtargeting memanfaatkan data digital warga maya. Microtargeting didefinisikan sebagai cara sukses dalam menyampaikan pesan atau penawaran dengan mempersonifikasikan iklan. Microtargeting, lanjutnya, ialah membagi-bagi kelompok masyarakat, awalnya dengan memanfaatkan kode pos alias pembagian berdasarkan posisi geografis. Kini dengan layanan digital, microtargeting sanggup melakukan pengelompokan secara personal. Entah berdasarkan lagu favorit, lokasi yang pernah dikunjungi, hingga preferensi politik.

Laporan ProPublica menyebutkan ada 50 ribu kategori unik microtargeting di Facebook. Microtargeting membuat pengiklan dapat bekerja efektif dengan menawarkan materi iklan mereka ke kelompok yang tepat.

Data merupakan komoditas berharga. Mengutip paparan Chris Hughes, salah satu pendiri Facebook, menyatakan bahwa seharusnya perusahaan-perusahaan Amerika yang memanfaatkan data pengguna dipajaki 5 persen dari pendapatannya, demikian lapor Quartz.Jika pajak berhasil ditarik, Hughes memperkirakan setidaknya ada uang senilai $100 miliar per tahun yang didapat, yang berarti tiap penduduk Amerika bisa memperoleh cek senilai $400 per tahun.

Sementara itu, memanfaatkan average revenue per user, pada kasus Facebook misalnya, data diketahui bernilai $7,50 per bulan per pengguna. Terakhir, mengutip kalkulasi Recode, data pengguna digital diperkirakan bernilai $35 per bulan per pengguna.

Sayangnya, di banyak kasus, pengguna tidak memiliki kekuatan apapun untuk melindungi, memanfaatkan, atau menjual data miliknya dengan kehendaknya sendiri. CCPA ingin mengubah ini.

CCPA bukan produk hukum pertama di dunia yang melindungi privasi pengguna maya. Sebelumnya, Uni Eropa mulai memberlakukan General Data Protection Regulation alias GDPR. Seperti warga California, dengan GDPR warga Eropa dapat mengambil alih data digital miliknya. Yang menyedihkan, di saat California dan Eropa telah beranjak untuk melindungi warga mayanya, warga maya Indonesia tidak dapat melakukan apa-apa.

Baca juga artikel terkait GIG ECONOMY atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf