tirto.id - Bertahun-tahun lalu Agnes Anya, 27 tahun, sempat punya ketertarikan mendaftarkan diri jadi aparatur sipil negara (ASN) alias PNS di sebuah lembaga kementerian.
Latar belakangnya sebagai lulusan program studi Pendidikan Bahasa Inggris, dan pengetahuannya soal posisi yang hendak ditujunya, menjadi landasan utama hasrat tersebut.
Keinginan lawas Anya pada akhirnya tak terealisasi. Anya lebih memilih jalur karier sebagai jurnalis untuk sebuah media di Jakarta. Namun, hingga kini, ada satu pertanyaan besar yang masih belum terjawab dalam benaknya:
“Dulu kementerian itu mensyaratkan pendaftarnya tidak boleh bertato atau piercing. Aku sempat mempertanyakan hal itu, karena buatku persyaratan seperti itu enggak relevan,” ujarnya.
Mengobrol dengan sejumlah pejabat di instansi yang sama, Anya diberi tahu aturan itu tidak lepas dari stigma kepribadian negatif yang kerap ditanam masyarakat kepada orang bertato. Padahal, menurutnya pribadi, tak ada hubungan tato dan aspek integritas—hal yang paling dituntut dari seorang PNS.
Anya percaya tato adalah ekspresi diri, tidak sepantasnya dicap buruk dan membatasi kebebasan seseorang.
“Itu pandangan saya selaku warga negara Indonesia dari kalangan milenial, ya,” ujar Anya.
Keheranan Anya juga dirasakan oleh Sonya, 27 tahun, pekerja industri kreatif di Jakarta.
“Kalau untuk aku yang [juga] bertato, alasan orang bertato punya kecenderungan kepribadian negatif itu salah besar," kata Sonya.
"Kami menato diri bukan untuk pamer: ’Ini loh, kami bertato, keren’. Enggak sama sekali. Sayang banget menurutku stigma pada orang bertato di Indonesia [di mata lembaga pemerintahan] masih jelek sekali."
Peninggalan Zaman Lawas
Syarat CPNS tidak bertato adalah mainan lama. Dari belasan tahun lalu, tiap ada lowongan CPNS dibuka, prasyarat larangan bertato selalu menghiasi sebagian besar instansi pemerintahan.
Pada tahun ini sebagian instansi, khususnya dari lingkup kementerian seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kemendagri, memang sudah meniadakan aturan larangan bertato bagi pendaftar CPNS.
Namun, lama bukan berarti kedaluwarsa. Tidak sedikit pula lembaga yang masih memberlakukan aturan ini.
Sebut saja Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Perpustakaan Nasional, dan sejumlah Pemprov (termasuk Pemprov DKI Jakarta).
Saat dikonfirmasi Tirto soal alasan pemberlakuan aturan ini, Plt. Karo Humas BKN Paryono belum memberikan jawaban detail.
“Nanti ya, saya tanyakan pastinya dulu ke bidang kepegawaian,” jelasnya.
Sementara Kepala Humas BNPB Agus Wibowo menyebut ada beberapa poin yang mendasari instansinya masih memberlakukan kebijakan pendaftar CPNS tidak bertato.
“PNS itu cerminan pemerintah yang bersih dan profesional, baik sikap juga kebersihan fisiknya," kata dia. "Tato ditafsirkan sebagai sikap negatif dan perilaku tidak menghormati kebersihan badan."
Selain karena stereotip tato yang masih diidentikkan dengan "perilaku negatif", menurut Agus, larangan bertato pada dasarnya bertujuan "melindungi ASN itu sendiri."
“Karena tato identik menjadi vektor masuknya penyakit tertentu, yang sangat memengaruhi kesehatan, misalnya AIDS dan lain-lain, sehingga diharapkan PNS akan terseleksi sejak awal sebelum menjadi masalah kesehatan ke depan,” papar dia.
Agus berkata kebijakan larangan bertato di BNPB tidak berlaku mutlak. Ada pengecualian untuk tato yang difungsikan sebagai syarat adat atau agama tertentu.
“Jadi, tidak ada maksud diskriminasi dalam hal pelarangan tato bagi CPNS karena ini dikecualikan untuk mereka yang melakukannya karena adat atau agama,” tandasnya.
Medis Membuatnya Jadi Logis
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Amaranila Lalita Drijono SpKK memvalidasi klaim Agus Wibowo soal alasan medis yang mendasari pelarangan pendaftar CPNS bertato.
Nila memandang praktik tato di beberapa tempat di Indonesia saat ini belum sepenuhnya memenuhi standar kesehatan (belum terjamin sterilitasnya).
“Jangankan tato, proses menindik saja bisa berdampak penyakit kalau dia [penato] memakai jarum-jarum yang tidak steril atau prosedur pengerjaanya tidak memenuhi syarat kesehatan,” ujarnya saat dikonfirmasi via telepon pada Rabu (13/11/2019) sore.
Menurut Nila, langkah instansi memukul rata larangan bertato bagi pendaftar CPNS sebaiknya dipandang sebagai upaya preventif.
Jika sudah telanjur berpotensi membawa penyakit, ujar Nila, untuk menjamin orang itu bisa kembali terbebas dari penyakit tentu perlu langkah ekstra.
“Tes itu, katakanlah untuk mendeteksi HIV/AIDS perlu berulang, minimal dua kali. Biayanya tidak murah."
"Kalau untuk posisi jabatan tinggi atau posisi tenaga ahli yang amat dibutuhkan negara, syarat itu mungkin tidak masalah ditetapkan di akhir. Tapi, kalau baru CPNS, yang perjalanan tahap saringan-observasinya masih perlu beberapa tahapan lagi, pemerintah mungkin ingin aman karena jika tidak, biaya yang diperlukan untuk tes itu, kan, juga uang pajak masyarakat,” tegasnya.
Jika penekanannya adalah kesetaraan, menurut Nila, tidak menutup kemungkinan suatu saat syarat ini dihapuskan. Asalkan ada jaminan yang jelas bahwa para penato di Indonesia punya "kompetensi yg diakui oleh negara." Atau, setidaknya, harus ada persyaratan praktik yang sudah diakui oleh badan kesehatan.
“Jadi diharapkan bila kita menato, ada semacam rekam medis atau sertifikat oleh pelayanan tindakan tato yang sudah diakreditasi. Ada detailnya tahun berapa, tintanya apa, kedalamannya berapa, ada reaksi penolakan atau tidak? Jika begitu, mungkin bisa,” pungkasnya.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Fahri Salam