tirto.id - Kehamilan yang tak direncanakan bukanlah problem ringan. Pada anak di bawah umur, perkara semacam ini bisa membuat masa depan tak optimal, terutama pada gadis-gadis yang lantas terpaksa berhenti sekolah.
Jika terjadi dalam pernikahan pun bisa jadi persoalan. Sebab jumlah anak idealnya sesuai dengan kemampuan ekonomi, di luar banyak faktor lain seperti kesiapan psikis dan fisik orangtua, ketersediaan pengasuh, dan seterusnya.
Pada 2012, Guttmacher Institute merilis hasil penelitian yang menunjuk ada 40 persen kehamilan tak diinginkan terjadi di seluruh dunia, dari keseluruhan 213 juta kehamilan. Persentase tertinggi terjadi di Amerika Latin sebesar 56 persen, Amerika Utara sebanyak 51 persen. Sedangkan si Afrika, Oseania, dan Asia, relatif kecil hanya 30an persen. Di Eropa, jumlahnya hampir sama dengan rerata dunia, yakni 45 persen.
Studi ini tak hanya menyorot efek buruk bagi demografi atau ekonomi. Dampak dari kehamilan yang tak diinginkan adalah kesehatan. Sebanyak 50 persen di antaranya berakhir dengan aborsi, 38 persen menjadi kelahiran yang tak direncanakan, dan 13 persennya mengalami keguguran.
Padahal, sejak 1950an, upaya untuk menekan kehamilan dilakukan. Sejak dekade itu, cara hidup manusia berubah secara revolusioner, dimulai dengan uji coba pil kontrasepsi secara besar-besaran. Di Rio Piédras, sebuah proyek perumahan Puerto Rico, para perempuan mencoba mengkonsumsi pil yang bisa menekan kesuburan mereka.
Saat uji coba itu, para wanita ini terbukti tak mengalami kehamilan meski aktif secara seksual. Meski mereka dilaporkan mengalami gejala-gejala yang muncul setelah minum pil itu: sakit kepala, pusing, mual, juga pembekuan darah, tapi gejala-gejala sampingan itu diabaikan. Masuk akal saja: mengalami sedikit gejala buruk lebih baik tinimbang hamil tanpa perencanaan.
Lambat laun, pil yang di Indonesia kerap disebut pil KB—Keluarga Berencana—ini diperbaiki kualitasnya sehingga efek sampingnya bisa diminimalisir.
Hingga kini, menurut catatan The Conversation, ada 225 juta perempuan yang memakai pil KB untuk mencegah kehamilan, selain untuk mengatasi beberapa masalah reproduksi lain seperti nyeri menstruasi dan endometriosis.
Penemuan dan produksi pil KB ini jelas mengubah pola hidup manusia dalam seksualitas dan reproduksi. Seks yang tadinya terkait erat dengan urusan beranak-pinak, kini bisa dilakukan semata sebagai kesenangan. Wanita jadi punya kendali atas tubuhnya, apakah ia ingin bereproduksi atau tidak.
Lama-lama, produk kontrasepsi lain pun ditemukan. Ada suntik, IUD, spiral, implan, dan seterusnya. Alat-alat kontrasepsi wanita ini jadi standar perencanaan keluarga, sedangkan para pria hanya punya dua pilihan yakni kondom atau vasektomi— yang tak laku-laku amat, sebab yang pertama membikin segan dan yang kedua dianggap mengurangi kenyamanan dan kenikmatan.
Lalu mengapa tak ada alat kontrasepsi hormonal macam suntik dan pil buat pria?
Kenyataannya tak ada modal jor-joran dari perusahaan-perusahaan farmasi yang mau nyemplung dalam penelitian dan produksi pil KB pria. Salah satu penyebabnya, menurut The Conversation, adalah suksesnya alat kontrasepsi wanita. Toh yang ada sudah mendatangkan keuntungan, buat apa berinvestasi besar untuk produk lain yang belum tentu diminati?
Tapi fakta ini jauh lebih penting: pil KB pria sudah ditemukan, tapi ditahan karena banyak yang pria yang mengkonsumsinya dalam uji klinis menyerah.
Produksi sperma, sesungguhnya bisa ditekan secara signifikan dengan suntikan mengandung hormon progesteron dan testosteron. Kombinasi hormon 200 mg norethisterone enanthate dengan 1000 mg testosterone undecanoate ini diujicobakan pada 320 laki-laki sehat berumur 18-45 yang berpasangan wanita subur berumur 18-38.
Seperti dirilis dalam laporan "Efficacy and Safety of an Injectable Combination Hormonal Contraceptive for Men," metode kontrasepsi ini bekerja mengurangi sperma sampai 1 juta/mL dalam 24 minggu. Keberhasilannya juga tinggi: 95 persen dari seluruh partisipan yang bertahan. Di antara mereka hanya ada 4 yang pasangannya hamil.
Sayangnya, para peneliti berhenti menerima partisipan baru pada 2011 karena tingginya angka efek samping, terutama depresi dan masalah perubahan mood. Mereka juga melaporkan efek samping berupa rasa nyeri di area penyuntikan, nyeri otot, meningkatnya libido, dan timbulnya jerawat. Gara-gara efek samping ini, 20 orang berhenti dari percobaan.
KB Bukan Hanya Beban Perempuan
Di luar gencarnya promosi perencanaan keluarga, yang di Indonesia ditandai dengan baliho-baliho promosi KB dilengkapi wajah membosankan para kepala daerah, harus diakui selama ini urusan reproduksi dibebankan kepada perempuan.
Berapa persen laki-laki mau divasektomi atau menggunakan kondom? Studi pada 2005 yang dikutip The Conversation menyebutkan ada 70 persen pria Spanyol dan Jerman yang mau menggunakan kontrasepsi. Tapi di Indonesia? Kurang dari 30 persen saja.
Penghentian pengujicobaan karena efek samping juga, menurut Ann Rhodes, menunjukkan selama ini ada bias laki-laki dalam pengobatan. Persoalan perubahan mood, nyeri otot, dan jerawatan, selama ini sudah dialami wanita yang mengkonsumsi KB hormonal macam suntik dan pil.
“Betapa menyedihkannya para pria ini—mereka tak bisa mengatasi efek samping yang sekian banyak wanita alami setiap hari demi mencegah kehamilan yang tak diinginkan. Wanita harus menanggung tanggung jawab kontrasepsi sejak pill itu dirilis pada 1962—dan semua efek sampingnya,” tulis Rhodes dalam tulisannya di The Independent.
Seperti disebut di awal, efek samping yang bisa terjadi pada wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi memang tak hanya mengalami perubahan mood atau sekadar jerawatan. Ada juga efek samping fatal seperti pembekuan darah. Wajar jika Ann Rhodes menanggapinya dengan pedas.
Tapi, meski Rhodes benar, ini bukanlah hal yang tak bisa diubah. Lihatlah, dari 320 partisipan laki-laki, yang berhenti dari uji coba suntikan hanyalah 20 orang. Sisanya mau berpartisipasi sampai selesai. Bukankah itu tak buruk-buruk amat?
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Zen RS