tirto.id - Putaran pemilihan Presiden ke-14 India terjadi pada Senin, 17 Juli 2017. Butuh tiga hari lebih sampai hasilnya diumumkan secara resmi pada 20 Juli lalu.
Dalam pemilihan itu, Gubernur Bihar dari Partai Bharatiya Janata (BJP) Ram Nath Kovind yang didukung koalisi sejumlah partai di India bernama Aliansi Nasional Demokratik (NDA) bertarung dengan Meira Kumar yang didukung oleh Indian National Congress (INC), partai yang dulu dipimpin Mahatma Gandhi untuk membebaskan India dari jajahan Inggris.
Hasilnya, Kovind menang telak setelah dua pertiga dari keseluruhan suara elektoral memilihnya sebagai Presiden baru India untuk lima tahun ke depan. Dengan total 65,64 persen atau sebanyak 2.930 suara, Kovind mengalahkan Kumar yang cuma mendapat 34,35 persen atau sebesar 1.844 suara. “Ada 77 suara yang tak valid,” kata Anoop Misra, petugas pemilihan umum Presiden India kepada Times of India.
Kemenangan Kovind sebenarnya sudah terlihat jelas dari koalisi partai yang mendukungnya. Dalam putaran ini, NDA adalah koalisi dengan jumlah partai pendukung terbanyak, yakni 16 partai. Kehadiran Kovind sebagai kandidat presiden juga dipandang luas sebagai strategi Perdana Menteri India Narendra Modi untuk memuluskan jalan pemerintahannya. Kovind yang merupakan keturunan kasta Dalit, salah satu kasta dengan jumlah penduduk terbesar di India sekarang yang jumlahnya mencapai 200 juta orang, dianggap mampu memenangkan hati para pemilih pemilu Perdana Menteri 2019 mendatang untuk memenangkan Modi kembali.
Posisi presiden yang sama-sama di ranah eksekutif bersama perdana menteri dapat dimanfaatkan Modi untuk mempermulus jalan pemerintahannya. Analis politik India, Satish Misra membaca terpilihnya Kovind sebagai taktik pemerintahan Modi. “Modi tak suka satu orang pun di Rashtrapati Bhavan (Istana Kepresidenan) yang mempertanyakannya. Itulah sebabnya Kovind yang terpilih,” ungkap anggota senior di Observer Research Foundation, sebuah kelompok berpikir independen di Delhi, kepadaCNN.Kuasa Presiden India di ranah eksekutif memang tak seleluasa Perdana Menteri. Dalam konstitusi mereka, semua kebijakan yang diambil presiden harus terlebih dulu disetujui oleh perdana menteri dan dewan menteri. Namun, setiap undang-undang yang disahkan oleh parlemen memerlukan keputusan presiden. Akibatnya, presiden dapat menunda undang-undang kunci yang diambil oleh perdana menteri, dan secara simbolis dapat memberi sinyal ketidaksetujuan terhadap kebijakan-kebijakan yang kontroversial.
Terpilihnya Kovind yang disokong NDA juga tak terlepas dari pengaruh Modi di parlemen federal dan sejumlah daerah yang punya basis besar dalam pemilihan elektoral. Punya presiden yang patuh jelas akan membantu Modi, ketika parlemen tak mau bekerja sama meloloskan agendanya.
Potensi Kasta Dalit
Dalit, atau sering disebut sebagai "Mereka yang Tak Tersentuh", adalah kasta paling rendah dalam sistem sosial di India. Mereka adalah alamat diskriminasi dan perlakuan tak adil ditujukan. Varun Soni, Profesor agama dan Dekan Hidup Religius di Universitas Southern California gamblang menggambarkan kasta ini dalam tulisannya untuk CNN Maret lalu.
“Banyak orang India memandang Dalit sebagai "yang tercemar" berdasarkan garis keturunan keluarga dan pekerjaan mereka. Mereka dipisahkan secara efektif dari masyarakat,” ungkap Soni. Mereka dipaksa tinggal di desa terpisah, minum dari sumur yang beda, dilarang menikah dengan orang dari luar komunitasnya, dihalangi untuk bekerja di banyak sekali sektor pekerjaan, dan sering kali jadi korban kekerasan dan tindakan asusila.
Baca juga:
“Mereka juga jadi presentatif dari 250 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan,” tambah Soni.
Jumlah Dalit yang besar dan diskriminasi yang sudah menahun mereka alami tentu saja bisa jadi sumber kekuatan politik yang besar, bagi mereka yang sadar dan memanfaatkannya. Dalam kajian Misra, BPJ adalah salah satu partai yang melihat peluang itu, sehingga akhirnya menunjuk Kovind sebagai kandidat calon presiden mereka.
“Ada kekecewaan di kalangan Dalit,” kata Satish Misra. “Makanya jadi penting bagi partai yang berkuasa untuk mengirim sinyal 'kami bersamamu'.”
Sebuah survei menunjukkan perpindahan dukungan Dalit dari Partai INC menuju BJP semakin besar dalam rentang waktu 2007 hingga 2012. Menurut Misra, hingga kini, Dalit memang belum pernah bulat mendukung BJP. “Tapi pada 2014, sejumlah persentase pemilih lari ke BJP,” katanya. “Fakta menunjukkan bahwa Dalit adalah lebih dari 20 persen populasi India, dan mereka adalah bank suara.”
Kovind sendiri bukan nama baru di panggung politik India. Sejak 1994, ia sudah dikenal sebagai Dalit pertama yang terjun ke politik ketika terpilih sebagai Rajya Sabha alias dewan negara dari Uttar Pradesh. Ia bahkan mengabdi sampai 12 tahun, karena terpilih dua kali berturut-turut untuk posisi tersebut. Pria 71 tahun yang menghabiskan 16 tahun hidupnya sebagai pengacara juga punya karier politik sebagai Gubernur Bihar sejak Agustus 2015 lalu, sebelum akhirnya mengundurkan diri untuk maju sebagai kandidat presiden pada 20 Juni 2017.
Kehadiran Kovind sebagai presiden baru India tentu saja akan berdampak pada sistem kasta dan Hinduisme di India. “Dalam banyak hal, eksistensi abadi “Mereka yang Tak Tersentuh” adalah dosa besar India (sebagai sebuah negara) dan tantangan terbesar bagi Hinduisme,” kata Soni. Tak bisa dimungkiri, India yang mayoritas diisi orang-orang Hindu akan mengalami pergolakan sosial atas naiknya jumlah Dalit, yang salah satunya kini jadi pemimpin negeri itu.
Apakah ke arah yang baik atau tidak?
Penulis: Aulia Adam
Editor: Aulia Adam