tirto.id - Deklarator Presidium Alumni 212 Ansufri Idrus Sambo menegaskan pihaknya tidak mau diseret dalam pusaran konflik yang saat ini mengemuka antara La Nyalla Matalitti dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Sambo menyayangkan sikap La Nyalla yang mengeluarkan tuduhan soal mahar Pilkada yang diminta Prabowo.
"Saya akan bikin klarifikasi. Tolonglah kalau kita punya ambisi politik jangan umat dibawa-bawa. Kalau memang gak bisa lulus, ya, sudahlah. Terima itu dari fakta politik," kata Sambo saat dihubungi Tirto, Jumat (12/1/2018).
Mantan Ketua Presidium Alumni 212 membeberkan awal pembentukan gerakan 212 sebagai respon umat Islam terhadap sikap penguasa. Menurut Sambo, waktu itu pemerintah dianggap berpihak pada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus penistaan agama saat Pilkada DKI 2017. Lalu tujuan organisasi berubah menjadi membela umat Islam pasca munculnya isu kriminalisasi ulama serta pembubaran HTI lewat Perppu Ormas.
"Sudah kemari-kemari karena kayak gini posisinya, ya, memang harus dibikin gerakan politik, tapi bukan politik praktis dalam artian masuk partai," kata Sambo.
Sambo menduga, para kandidat Pilkada datang karena melihat basis massa 212 cukup besar. Meskipun tidak mengetahui secara pasti besaran massa, Sambo mengaku massa 212 yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur cukup besar.
Selain itu, dikatakan Sambo, di internal Alumni 212 juga ada yang bersuara untuk terjun ke politik. Akhirnya ada sejumlah alumni yang meminta rekomendasi langsung kepada tiga partai pendukung umat selama ini, yakni Partai Gerindra, PKS, dan PAN.
Sambo mengaku, tidak sedikit rekomendasi 212 langsung diproses dengan menemui langsung Prabowo. Ia beralasan, mantan Danjen Kopassus dianggap sebagai representasi koalisi partai politik kontra pemerintah. Dalam pertemuan tersebut, Prabowo akan menyampaikan tiga syarat mutlak bagi calon pemimpin daerah yang akan diusung.
"Kalau saya kemarin ketemu Pak Prabowo dia bilang pertanyaan cuma tiga itu. Satu, punya uang untuk berjuang, cukup gak? Yang kedua bisa menang, gak? Artinya elektabilitas memungkinkan gak dia menang? Yang ketiga bisa gak nolong dia di 2019? Selalu itu pertanyaannya," kata Sambo.
"Mungkin pertanyaan ketiga bisa, kadang-kadang pertanyaan satu dua gak terjawab. Ini yang saya kira La Nyalla pun saya kira sama posisinya. Mungkin pertanyaan pertama sama kedua dia gak lulus," lanjut Sambo.
Sambo sempat menyinggung tentang pemberian dukungan terhadap Deddy Mizwar. Ia tidak memungkiri 212 ikut mendukung pasangan Demiz-Syaikhu. Namun akibat Demiz tidak bisa memenuhi tiga syarat mutlak Prabowo, tiga partai batal mendukung Demiz-Syaikhu dan membentuk poros Sudrajat-Syaikhu.
Mahar Politik
Sambo juga mengkritik klaim La Nyalla tentang mahar politik yang diminta Prabowo. Menurut Sambo, uang Rp40 miliar tergolong kecil untuk skala Jawa Timur. Sepengetahuan Sambo, daerah Kotamadya Bogor saja menghabiskan dana Rp50 milyar. Uang tersebut, sepengetahuan Sambo digunakan untuk biaya pemenangan.
"Rp50 miliar biayanya habis untuk pemenangan. Jadi diminta uang Rp40 miliar itu terlalu kecil untuk Jawa Timur," kata Sambo.
Ketua Panitia Tamasya Almaidah ini membenarkan pernyataan Al Khathath bahwa ada empat nama lain yang direkomendasikan dalam Pilkada 2018. Sayang Sambo hanya mengaku mengenal satu orang yakni Muhammad Nur Sukma. Sukma diketahui ingin maju dalam Pilwalkot Bogor sebagai calon walikota. Namun Sukma tidak lolos rekomendasi syarat Prabowo. Namun Sambo tidak merinci syarat mana yang tidak dipenuhi Sukma.
Ia menegaskan kasus La Nyalla ini menjadi pelajaran bagi Presidium Alumni 212 saat merekomendasikan kandidat. Ia mengaku akan menemui Al Khaththath untuk menegur pernyataannya tentang dukungan La Nyalla.
Alumni 212 juga berencana akan memperbaiki di internal mengenai mekanisme pemberian dukungan politik. Mereka tidak ingin kejadian La Nyalla kembali terulang di internal 212.
"Kita mau by system nanti biar jangan berdasarkan sentimen pribadi tapi betul-betul ilmiah," kata Sambo.
Selain itu, Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Ma'arif menyatakan tidak merekomendasikan nama secara aktif ke tiga partai politik. Pernyataan ini berbeda dengan apa yang disampaikan Al-Khaththath saat mendampingi La Nyalla Mattaliti dalam konferensi pers, Rabu (11/1/2018).
Menurut Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam, Al Akhaththath, La Nyalla adalah salah satu dari lima nama yang direkomendasikan ulama Presidium Alumni 212 maju menjadi kepala daerah. Namun seluruh rekomendasi itu diabaikan. Padahal, menurut Al-Khaththath, La Nyalla dan empat nama lainnya merupakan para kader aksi bela Islam 212.
“Jadi dari 5 nama, salah satunya adalah Mas La Nyalla, itu ternyata tidak satupun yang diberikan rekomendasi,” katanya.
Persoalan ini berawal saat La Nyalla membeberkan “mahar politik” yang diminta Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk memuluskan pencalonannya. Namun gagal diusung Partai Gerindra di Pilgub Jawa Timur 2018, La Nyalla mengaku dimintai sekitar Rp40 miliar untuk “uang saksi”.
Proses pencalonan La Nyalla bermula pada 10 Desember 2017 saat Gerindra mengeluarkan surat tugas untuk memenuhi persyaratan pencalonan di Pilkada Jatim. Salah satu tugasnya adalah mencari dukungan dari partai lain dan kelengkapan pemenangan.Disebutkan pula mantan Ketua Umum PSSI ini diberi batas waktu hingga 20 Desember 2017 untuk memenuhi persyaratan pencalonan, salah satunya mengintensifkan komunikasi ke sejumlah partai lain, seperti PAN.
Pada 21 Desember 2017, Ketua Umum Kadin Jawa Timur ini mengembalikan surat mandat yang sebelumnya dikirim Prabowo Subianto untuk memenuhi dukungan politik maju Pilkada Jawa Timur 2018. Belakangan La Nyalla gagal mendapatkan dukungan dari Gerindra dan Prabowo. Gerindra malah mendukung pasangan Saifullah Yusuf dan Puti untuk berhadapan dengan Khofifah dan Emil Dardak.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri