tirto.id - Pemimpin Sudan Omar al-Bashir yang terbukti paling brutal dalam kepemimpinannya akhirnya tidak mampu mempertahankan kekuasaannya setelah 30 tahun berkuasa.
Melansir dari AP News, tidak sampai berbulan-bulan protes meletus atas al-Bashir, akhirnya ia kehilangan dukungan dari komandan militernya yang berbelok menangkap dan menggulingkannya pada Kamis (11/4/2019).
Menteri Pertahanan Jenderal Awad Mohamed dalam pengumuman penggulingan atas al-Bashir, menggambarkan dia sebagai sosok "keras kepala dan gigih."
Hal itu terlihat ketika dia didakwa oleh Mahkamah Pidana International (ICC) di tahun 2009 atas tuduhan tindak kriminal di Dafur.
al-Bashir menanggapi tuduhan tersebut dengan mengusir sekelompok bantuan yang bekerja di wilayah perang yang mengakibatkan 300.000 orang tewas dan 2,7 juta orang diusir dari rumah mereka oleh milisi yang dia dukung.
Kemudian, dia melakukan perjalanan ke sana, dan muncul di tengah-tengah demonstrasi yang diorganisir pemerintah dengan dukungan penuh dan berbicara.
"Katakan pada mereka semua, Jaksa ICC, Anggota pengadilan dan semua orang yag mendukung pengadilan ini bahwa mereka ada di bawah sepatu saya," kata al-Bashir.
Sejak kemerdekaan pada tahun 1956, Sudan telah terombang-ambing antara riuh rendah kekacauan politik partai dan perintahan militer.
Namun, al-Bashir sukses merepresentasikan dirinya sebagai pemimpin generasi baru "Politik Islam" yang berbasis aliansi antara Islamis dan militer.
Setelah memimpin kudeta militer pada tahun 1989 bersama beberapa rekan perwira, al-Bashir menerapkan hukum Syariah Islam termasuk rajam dan amputasi sebagai hukuman.
al-Bashir juga pernah mengirim para hakim islam ke negara yang masih berbasis animisme Christian selatan, yang akhirnya memicu perang saudara yang berlangsung puluhan tahun.
Salah satu sekutunya, Hassan Turabi pun pernah mengundang Osama bin Laden pada tahun 1991. Hal tersebut mendorong AS untuk menempatkan Sudan di daftar hitam negara-negara yang mensponsori terorisme.
AS kemudian menjatuhkan sanksi pada pemerintah Sudan dengan melakukan serangan udara terhadap pabrik yang katanya digunakan Al-Qaida untuk memproduksi gas syaraf.
Namun, al-Bashir membantah dakwaan tersebut dan menyalahkan tetangganya yang bermusuhan.
Dia memanggil Bin Laden sebagai seorang pebisnis yang mengerjakan proyek infrastruktur besar di Sudan.
Selain mengandalkan ideologi Islam, al-Bashir menggunakan kekayaan minyak negara tersebut untuk meningkatkan kelas pengusaha yang setia kepadanya dan menciptakan milisi setia untuk melindungi kepemerintahannya.
Dia mempekerjakan mereka untuk menumpas pemberontak di wilayah Darfur Barat negara. Kekejaman tersebut tak pelak menyebabkan tuduhan adanya genosida.
Setelah bertahun-tahun berjanji untuk menyatukan negaranya di tengah perselisihan dengan negara kaya minyak di selatan, al-Bashir malah dengan cepat menerima hasil referendum pada tahun 2010 yang menciptakan salah satu negara baru, Sudan Selatan. Sementara dikritik, al-Bashir berharap mendapatkan konsesi dari Barat sebagai imbalan.
Ketika kesulitan ekonomi terasa semakin dalam setelah perpecahan dengan Sudan Selatan, protes yang terinspirasi oleh pemberontakan Musim Semi di Arab akhirnya pecah pada awal 2012.
Omar al-Bashir pada awalnya mengejek protes tersebut, dengan mengatakan: “Mereka berbicara tentang Musim Semi Arab. Biarkan saya memberi tahu mereka bahwa di Sudan kita memiliki musim panas yang terik, musim panas yang membara yang membakar musuh-musuhnya. ”
Kemudian, ketika protes berlanjut, dia berjanji untuk tidak mencalonkan diri dalam pemilihan ulang, hanya untuk mengingkari dan mencalonkan diri pada 2015.
“Dia akan selalu diingat sebagai seseorang yang berbohong dalam meraih kekuasaan. Dia terlalu banyak berbohong,” kata Wasil Taha, editor surat kabar berbahasa Inggris Sudan yang beremigrasi ke AS.
Editor: Maya Saputri