tirto.id - TR, pemuda 25 tahun asal Pamekasan, Madura, sempat bekerja sebagai guru ngaji sebelum divonis tujuh tahun enam bulan karena terbukti mencabuli anak bawah umur. Namun bukannya tobat, di balik sel lapas dia kembali berulah.
Sekarang dia memanfaatkan gawainya untuk berbuat cabul. Polisi bilang TR lihai menyembunyikan teleponnya dari mata petugas jaga. Di dalam sel pun ia dikucilkan oleh tahanan lain karena berkepribadian tertutup.
Kanit IV Subdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Polri AKBP Rita Wulandari Wibowo menjelaskan TR memanfaatkan Instagram untuk beraksi. Jadi dia mencari calon korban lewat kolom pencarian. Kata kunci yang dipakai adalah "SD", "SMP", atau "SMA.
Langkah kedua, dia lantas mencari profil guru calon korban.
"Kemudian ia mengunduh foto guru, disimpan, lalu dipasang di akun miliknya," kata Rita di kantor Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (22/7/2019) kemarin. "Jika anak itu melakukan followback, maka ia menilai anak itu taat terhadap guru."
Pelaku lantas mengirimkan direct message--dengan akun yang telah dipalsukan jadi seakan-akan milik guru--dan meminta nomor telepon korban agar berkomunikasi menggunakan Whatsapp.
Dari situ pencabulan dimulai. TR akan mengancam korban tidak akan naik kelas atau mendapat nilai jelek. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menuruti perintah pelaku.
"Pelaku mulai meminta korban untuk mengirimkan foto telanjang, alat kelamin, bahkan meminta korban untuk memasukkan jari ke dalam alat kelamin korban (vagina)," kata Rita. TR menyimpan foto dan video korban di emailnya.
Bila TR bosan dengan video dan foto yang ada, dia kembali memburu anak baru. Polisi mengatakan ada 1.307 berkas foto dan video yang TR simpan selama dua tahun meringkuk di tahanan, berasal dari kira-kira 50 anak usia 8-14 tahun. Kini semua berkas sudah disita polisi.
Peristiwa ini terkuak ketika Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan penyalahgunaan foto guru pada Juli 2018. Setelah diselidiki, ternyata orang di balik jerujilah pelakunya.
TR dijerat Pasal 82 juncto Pasal 76 E dan/atau Pasal 88 juncto Pasal 76 I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan/atau Pasal 29 juncto Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 37 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ancaman hukuman maksimal bagi pelaku TR adalah 15 tahun penjara dan/atau denda Rp5 miliar.
Dokter Forensik Polri Kombes Pol Sumy Hastry Purwanti menyatakan mereka akan memeriksa keadaan fisik TR dan menggali masa lalunya. "Dicek penglihatan, pendengaran, anus, kemaluannya. Mungkin ada sesuatu yang pernah dilakukan oleh orang lain, sehingga ia ketagihan untuk melakukan ke orang lain khususnya anak," katanya dalam kesempatan yang sama.
Setelah itu kesehatan jiwa pelaku juga akan diperiksa.
Pola Asuh Anak Perlu Diubah
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati mengatakan kasus ini bisa terjadi juga karena pengawasan yang lemah dari orangtua. Padahal di satu sisi, kejahatan via media sosial semakin sering.
Sudah jadi kecenderungan umum jika anak bercerita perkara sensitif, orangtua malah meresponsnya dengan marah-marah. Itu, kata Rita, membuat anak takut bicara apa yang dia alami.
"Bukan anak itu dimarahi, rehabilitasi terhadap pola asuh orangtua juga perlu," kata Rita.
Pun jika kasus ini sudah diketahui orang dewasa, mereka tidak serta merta melapor ke pihak berwajib. Hal ini pula yang membuat TR bisa beraksi hingga dua tahun lamanya.
"Tidak mudah bagi guru dan orangtua melaporkan, karena takut nama baik sekolah dan anak. Padahal seharusnya kita melindungi korban untuk mendapatkan rehabilitasi yang baik dan menghentikan tindak pidana pelaku," tambah Rita.
Hingga kini baru beberapa korban teridentifikasi. Proses ini tidak mudah karena sulit memperlihatkan foto seperti itu.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino