tirto.id - Salah satu ciri khas kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang sering membuat penjelajah Eropa mengerutkan dahi adalah kebiasaan para raja dikelilingi ribuan perempuan. Raja Angkor dikabarkan memiliki empat hingga lima ribu perempuan di istananya. Sementara Iskandar Muda dari Aceh dikepung tiga ribu perempuan. Sultan Agung bahkan tercatat pernah dilayani sepuluh ribu perempuan.
Seorang misionaris dan ahli botani asal Belanda, Francois Valentijn, menyaksikan sendiri betapa riuh kegiatan para perempuan di Keraton Mataram pada abad ke-18. Dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indien (1726), dia mencatat kira-kira ada lebih dari sepuluh ribu perempuan yang hilir mudik di dekat kediaman raja. Mereka terdiri dari tiga ribu petugas rumah tangga istana, tiga ribu budak perempuan yang melayani para istri raja, dan empat ribu pengrajin.
Sejarawan Peter Carey memastikan bahwa tidak semua perempuan di istana Mataram kala itu hanya mengurusi urusan domestik. Ketika berdinas keluar keraton untuk bertemu orang banyak, Raja Mataram disebutkan selalu diapit pasukan pengawal pribadi yang semuanya perempuan. Mereka dijuluki prajurit keparak estri atau prajurit estri, dengan nama resmi Pasukan Lengenkusumo.
Dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2011: 90), Carey menjelaskan bahwa prajurit estri juga digunakan untuk menyebut satuan kawal istimewa yang dimiliki Kesultanan Yogyakarta pada abad ke-18. Satuan ini berdiri di bawah komando Ratu Ageng, istri Sultan Hamengkubuwono I sekaligus nenek buyut Pangeran Diponegoro. Satuan kawal yang sama juga ditemukan di Keraton Surakarta dan Mangkunegaran pada abad-19.
“Empat puluhan perempuan duduk berbaris langsung di bawah takhta dan benar-benar bersenjata lengkap: berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil […] harus diakui bahwa mereka pasukan kawal yang mengagumkan,” tulis Carey yang mengutip surat seorang pengusaha partikelir Belanda bernama J.D. Boutet.
Pada tahun 1809, kesatuan kawal perempuan dikisahkan pernah memukau Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels saat berkunjung ke Yogyakarta. Hajatan megah yang diikuti acara rampong macan (mengeroyok macan), pesta kembang api, dan tari-tarian itu melibatkan empat puluh orang anggota prajurit estri yang bersenjata tombak dan senapan. Mereka disebut-sebut sebagai perempuan pilihan kesayangan Sultan.
“Pertunjukan tournament itu dilakukan dengan menunggang kuda di alun-alun selatan, karena Daendels kemudian menyebut betapa terkesan dia dengan cara pasukan kawal perempuan itu menangani bedil mereka sambil menunggang kuda,” imbuh Carey.
Mereka yang Tidak Berkhianat
Meski dianggap sekadar pameran keraton, keberadaan prajurit estri hampir selalu mengundang rasa kagum orang-orang Eropa di Jawa kala itu. Saking langkanya pemandangan perempuan memanggul senjata dan ambil bagian dalam arak-arakan kerajaan, mereka lantas disamakan dengan perempuan-perempuan perkasa dari mitologi Yunani yang berjulukan Amazon.
Keberadaan perempuan prajurit dalam lingkaran kerajaan tradisional lama-kelamaan berubah menjadi seperti kisah romantis di era modern. Kebijakan raja mengangkat perempuan sebagai ajudan seolah-olah menunjukan semangat kesetaraan dan penghargaan terhadap perempuan. Padahal, raja-raja Jawa sejatinya tidak pernah mempertimbangkan soal emansipasi ketika mengangkat perempuan sebagai pengawal pribadi.
Ann Kumar, Profesor Asian Studies di Australian National University, menyebut catatan paling awal tentang prajurit perempuan di Jawa berasal dari periode kekuasaan Sultan Agung antara tahun 1613 sampai 1645. Duta besar luar biasa Belanda bernama Rijklof van Goens yang pernah mengunjungi Mataram pada pertengahan abad ke-17 memperkirakan sudah ada sekitar 150 orang yang tergabung dalam pasukan kawal perempuan.
Goens, seperti dicatat Kumar, mendeskripsikan ada sekitar tiga puluh perempuan yang mengenakan pakaian tempur bangsawan laki-laki berdiri mengelilingi singgasana Sultan. Sepuluh di antara mereka membawa perlengkapan raja berupa bejana air, kotak sirih, minyak wangi, dan pipa tembakau. Sementara sisanya yang bersenjatakan tombak dan tameng menjaga dari berbagai arah.
Seperti halnya dayang istana, mereka dipilih di antara perempuan tercantik di negeri itu. Sayangnya, gadis-gadis berusia belasan yang direkrut dari kalangan putri-putri pejabat daerah (lurah dan demang) ternyata tidak datang atas kemauan sendiri. Mereka dikumpulkan di bawah titah raja yang ada kalanya dengan leluasa mengambil mereka sebagai selir atau malah menghadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri.
Menurut catatan Peter Carey dan Vincent Houben dalam Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad 18-19 (2016: 21), merekrut putri-putri pejabat daerah ke dalam prajurit estri pernah menjadi obsesi Sultan Hamengkubuwono II. Sang raja disebutkan teringat kepada ibundanya, Ratu Ageng, yang pernah menjadi komandan kesatuan yang sama. Akibatnya, banyak suami dan bapak-bapak di Kesultanan Yogyakarta abad ke-18 mengeluhkan istri-istri muda dan putri-putri mereka dipaksa masuk istana untuk ambil bagian dalam kesatuan kawal.
Baik Carey maupun Houben menduga prajurit estri merupakan salah satu kategori abdi dalem yang diidamkan HB II sehingga sulit baginya untuk tidak memikirkannya. Sang sultan bertakhta dalam situasi politik kurang baik yang memaksanya naik turun takhta sepanjang tiga periode. Oleh sebab itu, barangkali dia merasa lebih aman bertakhta dilayani orang-orang pilihan.
Selain prajurit estri, abdi dalem yang dimaksud terdiri dari polowijo atau nonok (orang cebol), pemuda-pemuda bangsawan yang punya hubungan dekat dengan sultan, dan para nyai keparak berusia tua. Mereka adalah orang-orang yang berkewajiban melayani sultan dan keluarganya di kala malam, sedangkan abdi dalem laki-laki sudah harus pergi setelah matahari terbenam.
Membentuk satuan kawal perempuan dalam tradisi kerajaan Asia Tenggara agaknya bersumber dari anggapan yang menyebut perempuan jauh lebih sulit terlibat konspirasi dan pengkhianatan ketimbang pengawal laki-laki. Kaum laki-laki cenderung lebih mudah bereaksi terhadap setiap penghinaan ketika menggenggam senjata. Selain di Jawa dan Aceh, Kerajaan Siam di Thailand juga memiliki satuan pengawal perempuan bernama Sanam Dahar.
Argumen yang dikemukakan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I (1992: 193) tersebut diikuti uraian peristiwa pengangkatan panglima laut perempuan pertama oleh penguasa Aceh Darussalam pada abad ke-16. Dikisahkan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604) yang terkenal diktator merasa sudah “tidak bisa percaya pada orang lain” lagi, sehingga memilih Keumalahayati yang dianggap lebih setia sebagai laksamana angkatan laut kerajaan.
“Tampaknya tidak terdapat bukti-bukti bahwa kepercayaan yang diberikan para raja kepada wanita pernah dilanggar dengan pembunuhan, sebagaimana yang kerap terjadi di tangan pria,” ungkap Reid.
Editor: Irfan Teguh