tirto.id - Barangkali tidak pernah terpikir di benak Raden Mas Kusen bahwa ia akan menjadi raja. Ia memang putra Susuhunan Pakubuwana IV, namun ibunya hanyalah istri selir. Ayahnya pun telah meninggal dunia beberapa puluh tahun lalu. Ditambah lagi, usia Raden Mas Kusen kala itu sudah terbilang uzur.
Namun, wafatnya Pakubuwana VII pada 10 Mei 1858 membuat jalan singgasana menjadi terbuka bagi Raden Mas Kusen. Pakubuwana VII mangkat tanpa memiliki putra mahkota walau punya dua istri. Alhasil, setelah dirunut, Raden Mas Kusen adalah orang yang paling berhak dinobatkan sebagai pemimpin Kasunanan Surakarta Hadiningrat berikutnya.
Naik Takhta di Usia Senja
Raden Mas Kusen dilahirkan di lingkungan keraton Surakarta pada 20 April 1789. Ibundanya, Raden Ayu Rantansari, bukanlah permaisuri, melainkan istri selir Susuhunan Pakubuwana IV yang bertakhta pada periode 1788-1820.
Kusen tahu diri. Ia sama sekali tidak bermimpi bakal menjadi raja. Kusen mendukung penuh pemerintahan kakak tirinya, Raden Mas Malikis Solikin, yang lahir dari permaisuri Pakubuwana IV, Ratu Kencanawungu.
Raden Mas Malikis Solikin dinobatkan sebagai Pakubuwana VII pada 14 Juni 1830 atau selepas Perang Jawa. Ia menggantikan Pakubuwana VI (Raden Mas Sapardan), keponakannya yang diasingkan ke Maluku oleh Belanda. Sementara Raden Mas Kusen tetap menjalani perannya sebagai anggota keluarga besar Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Ketika kakak tirinya itu wafat, umur Raden Mas Kusen sudah menginjak 69.
Di usia yang sudah tidak muda lagi itulah Raden Mas Kusen dinobatkan sebagai Raja Surakarta pada 17 Agustus 1858. Ia berhak menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII (Sunar Tri Suyanto, Sejarah Berdirinya Kerajaan Surakarta Hadiningrat, 1985: 78).
Selama era kepemimpinannya, situasi Kasunanan Surakarta baik-baik saja tanpa mengalami polemik yang berarti, baik dari internal keraton maupun dari luar, termasuk dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bagi Belanda sendiri, tidak sulit mengatur Pakubuwana VIII yang sudah renta itu. Sang raja tua yang memang tidak ingin mencari perkara selalu menuruti kemauan Belanda.
Salah satu contoh adalah ketika Belanda meminta kepada Pakubuwana VIII untuk menghapus gelar “raja di seluruh Jawa” yang sebelumnya selalu disematkan dalam surat perjanjian antara kedua pihak (Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, 1989: 15).
Pakubuwana VIII menerapkan gaya kepemimpinan dengan konsep konvensional berdasarkan adat, kebiasaan, dan kelaziman. Maka itu, selama ia berkuasa, tidak banyak terjadi gejolak di antara kerabat keraton. Pakubuwana VIII juga dikenal sebagai sosok raja yang mudah bergaul dan akrab dengan berbagai kalangan.
Poligami dan Tradisi Feodal Jawa
Sepanjang hidupnya, Pakubuwana VIII menikah satu kali alias hanya punya satu istri. M. Hariwijaya dalam Ngono ya Ngono ning Aja Ngono: Tafsir Deskriptif Filsafat & Kearifan Jawa menuliskan, Pakubuwana VIII adalah raja keturunan Mataram pertama yang tidak melakukan poligami (hlm. 29).
Satu-satunya pendamping hidup Pakubuwana VIII adalah Raden Ayu Ngaisah, putri Pangeran Adipati Purbanegara yang berkuasa di Kediri (Joko Darmawan, Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa, 2017: 40). Purbanegara adalah putra Mangkunegara I (Raden Mas Said) dari Keharyapatihan Mangkunegaran, keraton pecahan Mataram ke-3 selain Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Cuma punya satu istri sebenarnya hal tidak lazim bagi raja-raja di Jawa dari trah Mataram, khususnya di Kasunanan Surakarta. Para penguasa yang bertakhta di puncak singgasana Solo selalu punya istri lebih dari satu, yakni permaisuri ditambah beberapa selir.
Sebagaimana dituliskan Bibit Suprapto dalam Liku-liku Poligami (1990),raja-raja Islam di Jawa dan luar Jawa banyak yang melaksanakan poligami sebagaimana raja-raja sebelumnya. Bahkan, patih dan para pembesar istana juga punya banyak istri, yang jumlahnya terkadang di atas 4 orang (hlm. 118).
Ini berbeda dengan apa yang berlaku di kalangan rakyat biasa. Para petani Jawa, misalnya, seperti yang tertulis dalam Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah karya Baskara T. Wardaya (2001), memaknai bahwa suami dan istri adalah sama derajatnya karena mereka sama-sama berproduksi, yakni melalui kerja di sawah atau ladang (hlm. 47).
Raja Monogami Pertama dalam Sejarah Mataram
Bagi raja-raja Jawa keturunan Mataram, yang berhak menyandang sebagai permaisuri tidak harus istri pertama, begitu pula dengan anak yang nantinya ditunjuk sebagai putra mahkota tidak selalu anak tertua.
Dalam sejarah Kasunanan Surakarta, misalnya, Pakubuwana II (1726-1742) yang memiliki 5 pendamping mengangkat istri keduanya sebagai permaisuri, yaitu Raden Ayu Sukiya alias Kanjeng Ratu Kencana. Sebagai putra mahkota adalah Raden Mas Suryadi atau yang nantinya bergelar Pakubuwana III.
Raja-raja Surakarta berikutnya pun selalu berpoligami, dari Pakubuwana III sampai VII. Tradisi yang kadung identik sebagai keniscayaan ini akhirnya terhenti di periode Pakubuwana VIII. Inilah raja Surakarta pertama yang tidak pernah punya selir (Purwadi, History of Java: Local Wisdom Description Since Ancient Mataram to Contemporary Era, 2007: 262).
Barangkali Pakubuwana VIII tidak menikahi lebih dari satu perempuan karena dinobatkan sebagai raja ketika usianya sudah uzur, dan, sekali lagi, ia sama sekali tidak pernah menyangka akan menduduki takhta. Ceritanya mungkin bakal berbeda jika sejak awal ia sudah ditetapkan sebagai putra mahkota.
Era Pakubuwana VIII tidak lama mengingat umurnya yang sudah senja. Setelah 3 tahun berkuasa, Pakubuwana VIII wafat pada 28 Desember 1861 dalam usia 72 tahun (Pranoedjoe Poespaningrat, Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru, 2008: 100).
Selanjutnya, takhta dikembalikan kepada keturunan Pakubuwana VI, yakni Raden Mas Duksina yang dinobatkan pada 30 Desember 1861 sebagai Pakubuwana IX. Ia masih di dalam kandungan saat ayahnya dibuang Belanda ke Maluku pada 1830 lantaran dianggap mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan