tirto.id - Sebelum menjadi ibu negara mendampingi Suharto yang ke naik tampuk kekuasaan tertinggi pada 1967, Siti Hartinah adalah gadis gemulai penggemar kegiatan seni. Tidak hanya menggemari kesenian, Hartinah juga pernah bergabung dalam kepanduan. Demikian sepenggal kisah Hartinah yang ditulis O.G. Roeder dalam biografi Suharto The Smiling General (1969, hlm. 114).
Ketika ayah Hartinah yang seorang wedana ditugaskan di Wonogiri pada 1934, Hartinah banyak menghabiskan hari libur sekolah dengan ikut kegiatan kepanduan Javaansche Pandvinder Organisatie (JPO). Kegiatan yang diikuti selama lima tahun menetap di Wonogiri ini kemudian membawanya menjadi anggota Fujinkai ketika kembali ke Solo jelang masa pendudukan Jepang.
Fujinkai dibubarkan ketika Jepang kalah pada 1945. Sejak itu Hartinah pun melanjutkan aktivitas sosialnya bersama badan kelaskaran. Abdul Gafur dalam Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia (1992, hlm. 100-101) menyebut bahwa Siti Hartinah, yang waktu itu berusia 22 tahun, secara sukarela mengajukan diri sebagai pengurus pertama Laskar Putri Solo bersama dua gadis lain bernama Sayem dan Sadiyem.
Berawal dari Wangsit
Laskar Putri Solo ternyata bukan laskar perempuan yang pertama di Solo. Sebelumnya telah berdiri sebuah badan kelaskaran perempuan yang digagas oleh Ibu Srini. Menurut pemaparan Dartiyah Soeripto melalui tulisannya dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 Jilid I (1995, hlm. 6), kelompok didikan Ibu Srini dibentuk dalam suasana bulan puasa, berdekatan dengan hari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Selepas proklamasi, tutur Dartiyah menuturkan, Ibu Srini yang dikenal memiliki ilmu kebatinan menerima wangsit untuk membentuk pasukan prajurit perempuan di Solo. Tapi karena sulit mengumpulkan simpatisan, Ibu Srini akhirnya mengajak kemenakan-kemenakannya sendiri yang masih berusia 13-16 tahun untuk dilatih disiplin militer ala kadarnya. Dartiyah sendiri diangkat sebagai komandan.
Di lain tempat, Sadiyem, seorang pemudi yang dekat dengan lingkaran tentara juga memiliki rencana yang sama. Bedanya, Sadiyem lebih aktif menebar kampanye dari mulut ke mulut untuk menjaring massa. Upayanya ini berbuah manis. Sekitar bulan September 1945, tidak kurang dari 500 orang berhasil dikumpulkan dalam sebuah rapat umum di gedung Wayang Orang Sriwedari, Solo.
“Karena saya kenal akrab dengan Mayor Soeharto yang memimpin Batalyon Benteng yang terdiri dari pria semua, timbulah keinginan dan niat saya untuk membentuk barisan putri,” ungkap Sadiyem dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 Jilid II (1998, hlm. 184).
Tak dinyana, Siti Hartinah juga menghadiri rapat umum tersebut. Seusai acara, Hartinah buru-buru menghampiri Sadiyem dan mengutarakan kesediannya untuk membantu membentuk Laskar Putri Solo. Bersama Sayem yang baru bebas dari pingitan, mereka menghadap Mayor Soeharto selaku Komandan Batalion IV Divisi Surakarta.
Sayangnya, sang Mayor tidak bisa banyak membantu rencana tersebut. Pembentukan izin kesatuan bersenjata sepanjang masa revolusi hanya diberikan oleh Plaastelijk Militair Commandant (PMC). Kebetulan PMC Surakarta dikomandani oleh Kapten Mardojo, kawan Hartinah di JPO Wonogiri.
Menurut ingatan Ibu Tien, dirinya bersama Sadiyem langsung meminta izin temu dengan Mardojo di markas PMC Surakarta. Tidak sulit meyakinkan Mardojo yang sudah mengenal Tien selama kurang lebih lima tahun tinggal di Wonogiri. Selain izin pembentukan badan kelaskaran, PMC juga menyediakan markas batalion yang diperuntukan menampung pasukan beserta segala perlengkapannya.
Pada hari berikutnya, pendaftaran Laskar Putri Solo dibuka di Gedung Angkatan Muda Indonesia di Gladak, Solo. Kurang lebih 300 perempuan dari penjuru Solo hadir di lokasi itu. Ada gadis-gadis yang masih berstatus pelajar, ada yang berprofesi sebagai guru, bahkan hadir pula putri-putri priyayi.
Baik Sadiyem maupun Hartinah sangat berhati-hati saat menyeleksi para perempuan, khususnya gadis-gadis remaja. Berbeda dengan Laskar Wanita Indonesia (Laswi) yang lebih terbuka kepada seluruh perempuan pejuang, Laskar Putri Solo tidak bersedia menerima kandidat yang tidak jelas asal-usulnya. Setiap pendaftar wajib mengantongi surat izin dari orang tua atau wali masing-masing.
“Pendaftaran ini harus disertai surat keterangan dari orang tua masing-masing. Bagi yang belum membawanya terpaksa kembali ke rumah,” kata Sri Woelan Soejitno Koempoel dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 Jilid I (1995, hlm. 283).
Di saat bersamaan, Sayem bertugas menghadap Pangeran Harjo Surjohamodjojo untuk meminta fasilitas pelatihan. Sang Pangeran yang sempat terlibat dalam serangkaian rapat BPUPKI-PPKI dan menaruh perhatian terhadap perjuangan mempertahakankan kedaulatan bersedia meminjamkan halaman dalem Soerjohamidjajan sebagai tempat latihan Laskar Putri Solo. Beberapa hari setelah pendaftaran usai, lapangan ini langsung ramai oleh ratusan perempuan yang berlatih baris berbaris.
Dengan berdirinya badan kelaskaran bentukan Hartinah dan kawan-kawannya, maka Kota Solo pun memiliki dua laskar putri. Sadiyem dalam tulisannya memang menyebut bahwa di Solo pada masa revolusi pernah memiliki dua laskar putri: Laskar Putri Keraton dan Laskar Putri Beteng.
Setelah dipertimbangkan memiliki banyak kesamaan, keduanya kemudian melebur diri menjadi Laskar Putri Indonesia (LPI) pada 11 Oktober 1945. “Mengingat tujuan yang sama, maka kami pun bergabung. Bedanya adalah, mereka [kelompok Sadiyem dan Hartinah] sudah lebih dewasa,” kata Dartiyah, pimpinan Laskar Putri yang digagas Ibu Srini.
Benteng Pertahanan Solo
Dengan bergabungnya kelompok Dartiyah, LPI segera melakukan reorganisasi. Sekitar 200 anggota LPI yang berlatih di halaman dalem Soerjohamidjajan kemudian dibagi ke dalam tiga kompi yang terdiri dari tiga seksi. Tidak sekedar dibekali kedisiplinan dan baris-berbaris, mereka juga diberi pengetahuan persenjataan dengan bantuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Sekitar Desember 1945, satu dari ketiga kompi diterjunkan untuk membantu laskar rakyat mendirikan dapur umum di sekitar wilayah Mranggen-Alastuwa di dekat Semarang. Bersenjatakan karabin dan granat tangan, kompi LPI yang digawangi Pramani Suwiyah ini menembus hutan sambil menendarai truk untuk mendistribusikan nasi nuk (ransum) ke garis depan. Tak jarang pula mereka menyusupkan senjata dan granat ke garis depan yang disembunyikan di dalam kain sarung.
Selain terjun ke garis depan, LPI juga aktif membantu TKR mengamankan Kota Solo dari penyusup. Tiap kali ada kereta atau kendaraan yang memasuki Solo, regu-regu LPI akan diterjunkan untuk memeriksa para penumpang perempuan barangkali menyusupkan tanda atau pesan rahasia dari NICA.
Buku Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca (1992, hlm. 39) menyebut bahkan menyebut LPI sebagai “pengawas ekonomi” berkat keikutsertaan mereka dalam operasi blokade ekonomi. Mereka pernah ditugaskan membantu TKR menjaga Percetakan Uang Negara, serta mengawasi para pekerja perempuannya. LPI juga sudah berulang kali menggeledah rumah-rumah di Solo dan sekitarnya yang terindikasi menimbun bahan makanan untuk diperdagangkan keluar kota lewat stasiun Solo Balapan.
Sayangnya, LPI tidak berusia lama, hanya sekitar tiga tahun. Menurut kisah yang dituturkan Ibu Srini dan adiknya Sarwenten dalam Femina (10/8/1982), tepat pada 27 Oktober 1948, LPI secara resmi membubarkan diri. Keputusan ini diambil menyambung perintah rasionalisasi kepada seluruh badan kelaskaran.
Dengan bubarnya LPI, maka sebagian besar pimpinan dan anggota berangsur-angsur meninggalkan asrama di Batangan. Ada yang melanjutkan sekolah atau kembali ke profesi awalnya seperti guru, namun ada pula yang memilih bergabung dengan Laskar Rakyat Indonesia seperti yang dilakukan oleh Siti Hartinah.
Saat Belanda berhasil memasuki Solo pada 22 Desember 1948, anggota LPI sudah tidak banyak yang tersisa. Menurut kisah yang dituturkan Dartiyah, sebagian kecil kelompok yang dibentuk Ibu Srini masih terus berjuang secara mandiri sepanjang Agresi Militer Belanda II.
Mayor Soeharto sempat memperjuangkan agar sisa-sisa LPI bisa menjadi dasar pembentukan Tentara Republik Indonesia Wanita. Namun, usulan ini ditolak oleh Kementerian Pertahanan.
Editor: Eddward S Kennedy