Menuju konten utama

Prahara Produsen Beras Maknyuss: Skandal Beras & Keuangan Janggal

Ada temuan kejanggalan di laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk selaku produsen beras Maknyuss.

Prahara Produsen Beras Maknyuss: Skandal Beras & Keuangan Janggal
Wartawan menghadiri jumpa pers yang dilakukan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera Food TBK terkait PT Induk Beras Unggul (IBU) pada kasus Beras Oplosan di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (25/7). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) memilih Henky Koestanto sebagai direktur utama PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (TPS) pada 23 Oktober 2018. Rapat itu seharusnya menjadi titik balik bagi TPS untuk bangkit dari krisis.

Sayangnya, badai yang menimpa produsen Taro dan Beras Maknyuss sejak 2017 belum berlalu, dan justru semakin kusut. PT Ernst & Young Indonesia (EY) menemukan sejumlah kejanggalan dalam laporan keuangan TPS pada periode 2017, di mana saat itu Joko Mogoginta masih menjabat sebagai dirut TPS.

Kejanggalan itu terangkum di dalam dokumen “Laporan atas Investigasi Berbasis Fakta: PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk.” yang dipublikasikan melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 26 Maret 2019.

Ada tiga temuan penting dalam investigasi EY terhadap TPS itu. Pertama, terdapat dugaan overstatement atau pernyataan yang dilebih-lebihkan pada akun piutang usaha, persediaan dan aset TPS senilai Rp4 triliun.

Overstatement itu juga terjadi di pos penjualan dan pos pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) dengan nilai masing-masing sebesar Rp662 miliar dan Rp329 miliar.

Kedua, terdapat dugaan aliran dana sebesar Rp1,78 triliun dengan berbagai skema dari TPS kepada pihak-pihak yang diduga terafiliasi dengan manajemen lama (Pihak Terafiliasi), mulai dari penggunaan pencairan pinjaman TPS dari beberapa bank, pencairan deposito berjangka, transfer dana di rekening bank dan pembiayaan beban pihak terafiliasi oleh TPS.

Ketiga, tidak ditemukannya pengungkapan (disclosure) secara memadai terkait hubungan dan transaksi dengan Pihak Terafiliasi kepada para stakeholder yang relevan, sehingga berpotensi melanggar Keputusan Ketua Bappepam No. 412/2009 tentang transaksi afiliasi dan benturan kepentingan transaksi tertentu.

Menyoal temuan EY, Direktur Utama TPS Henky Koestanto belum ingin berkomentar banyak. “Nanti yah setelah ketemu regulator. Panggilan sudah masuk buat pekan depan, baru setelah itu saya komentar,” katanya kepada Tirto.

Persoalan Kian Panjang

Latar belakang investigasi yang dilakukan EY terhadap laporan keuangan TPS periode 2017 datang dari pemegang saham TPS. Keputusan itu diambil setelah RUPSLB pada Oktober 2018 silam.

Atas keputusan itu, TPS di bawah manajemen Henky cs mengadakan perjanjian kerja sama dengan EY pada 19 Desember 2018. Sehari setelahnya, EY mulai menginvestigasi laporan keuangan TPS periode 2017.

“Ada banyak pertanyaan dari komisaris dan pemegang saham saat RUPST 28 Juli 2018 yang tidak dapat dijawab oleh manajemen lama,” kata Michael Hadylaya, Sekretaris Perusahaan TPS kepada Tirto.

Meski hasil investigasi EY itu sudah selesai, ia menjelaskan bahwa TPS untuk saat ini belum menentukan langkah yang akan diambil. Kalaupun akan menghadapi langkah hukum, direksi TPS siap kooperatif.

Temuan investigasi EY itu ini kian menambah daftar persoalan TPS sejak 2017. Sebelum ini, TPS dan anak usahanya sedang menjalani sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan prosesnya masih berjalan sampai dengan saat ini.

Anak usaha TPS yang tengah disidang itu antara lain PT Putra Taro Paloma, PT Balaraja Bisco Paloma, PT Poly Meditra Indonesia, PT Dunia Pangan, PT Jatisari Sri Rejeki, PT Indo Beras Unggul dan PT Sukses Abadi Karya Inti.

“Ini ironi karena temuan itu dari laporan keuangan yang sudah diaudit. Buat investor atau pemegang saham existing, ini persoalan besar. Saham TPS makin gelap,” kata Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan kepada Tirto.

Bahkan, bukan tidak mungkin harga saham TPS ini bisa rontok sampai di bawah Rp100 per saham. Saham TPS saat ini masih dihentikan sementara (suspend) perdagangannya di level Rp168 per saham.

Infografik Kisruh

Skandal Beras

Selain kisruh internal, persoalan yang harus dihadapi TPS adalah gugatan PKPU dari debitur. Namun yang pasti, awal mula perseroan limbung disebabkan kasus kecurangan produksi beras. Kisruh internal di tubuh TPS dan gugatan PKPU hanyalah salah satu faktor yang memperparah keadaan.

Seperti diketahui, TPS berdiri pada 1992. Produk utamanya kala itu bihun kering dan mie kering. TPS merambah bisnis beras pada 2010 dengan mengakuisisi PT Dunia Pangan yang bergerak di bidang perdagangan beras, dan pabrik beras PT Jatisari Srirejeki.

Jajaran komisaris perseroan diisi oleh orang-orang familiar dan mumpuni di bidang pangan. Selain Anton Apriyantono, ada juga pakar kuliner "Maknyus" Alm. Bondan Winarno yang sempat duduk di kursi komisaris independen.

Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada 2003 ini menjual berbagai merek beras kelas premium. Selain "Maknyuss"dan Cap Ayam Jago, ada juga merek Jatisari, Istana Bangkok, Desa Cianjur, Beras Rumah Adat, Rojolele Dumbo.

Semenjak masuk ke bisnis beras, tren kinerja perseroan terus menanjak. Pada 2012, penjualan TPS hanya Rp2,7 triliun. Selang empat tahun, penjualan TPS melesat 2 kali lipat menjadi Rp6,5 triliun. Kontribusi produk beras memang jadi "pilar" utama perseroan, penjualan beras per tahun rata-rata menyumbang di atas 60 persen dari penjualan.

Kondisi mulai berbalik ketika memasuki tahun 2017. Kinerja TPS melesu. Penjualan perseroan turun 7 persen sepanjang kuartal II-2017 menjadi Rp3,3 triliun dari kuartal II-2017 senilai Rp3,56 triliun.

Setelah skandal beras terkuak pada 20 Juli 2017, kinerja TPS semakin anjlok. Penjualan kuartal III/2017 turun 18 persen menjadi Rp4,1 triliun dari kuartal III/2017 senilai Rp4,97 triliun.

Sampai dengan akhir tahun 2017, pendapatan TPS anjlok hingga 25 persen menjadi Rp4,92 triliun dari realisasi 2016. Gara-gara penjualan anjlok, TPS kala itu tidak lagi meraup laba, namun mencatatkan rugi bersih Rp846 miliar.

Periode 2017 juga menjadi tahun terakhir TPS melaporkan kinerja keuangan ke otoritas bursa. Sejak kuartal I-2018 sampai dengan saat ini, TPS belum sekalipun menyampaikan kinerja keuangan.

Kondisi ini terjadi lantaran muncul dua kubu di tubuh manajemen TPS, yakni direksi lama dan direksi baru. Masing-masing pihak juga saling klaim sebagai direksi resmi TPS. Kondisi semakin parah manakala TPS dan anak usahanya mulai digugat PKPU.

Melihat kondisi TPS yang ada saat ini, harus diakui untuk bangkit tidak gampang. Apalagi, besar kemungkinan masih akan ada persoalan lainnya yang muncul di masa mendatang. TPS sebagai emiten tentu sulit bangkit dari keterpurukan, pasar tentu menghukumnya.

"Bisa dibilang, saham TPS makin lama makin gelap," tutur Alfred.

Baca juga artikel terkait BERAS atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra