tirto.id - Segala jurus akan ditempuh oleh politisi untuk bisa makin populer di masyarakat termasuk para calon presiden dan wakil presiden. Dunia digital yang berkembang juga tak luput jadi medium untuk dimaksimalkan. Belakangan, Jokowi App, aplikasi media seputar Presiden Joko Widodo, muncul di Play Store, toko aplikasi Android.
Ridlwan Habib, tim media sosial Jokowi-Ma’ruf, mengatakan Jokowi App merupakan produk dari tim pemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf. Pada aplikasi yang baru sepekan resmi dirilis itu muncul di nomor urut teratas daftar “Terpopuler” Play Store. Jokowi App mengalahkan aplikasi Android lain seperti HAGO, Tantan, Drift Love, hingga Mamba.
Catatan aplikasi Jokowi App terbilang moncer, Jokowi App telah diunduh lebih dari 10 ribu kali dan menerima lebih dari seribu ulasan dengan bintang yang diperoleh 4,9/5, hingga Senin (19/11/2018).
Upaya mengemas tokoh politik dalam aplikasi bertema politik yang digunakan sebagai bagian kampanye Pemilu bukan kali ini terjadi. Pada pemilu presiden 2014, sebagaimana dilansir Antara, ada banyak aplikasi seperti itu dirilis. Ada 59 aplikasi bertema “Jokowi” dan 27 aplikasi bertema “Prabowo” dalam pertarungan Jokowi-Kalla dan Prabowo-Hatta. Kubu Jokowi punya aplikasi populer yaitu Jokowi GO! Aplikasi ini punya unduhan yang mencapai 100 ribu pengguna. Di pihak Prabowo, ada aplikasi Prabowo The Asian Tiger (Prabowo Macan Asia) yang sama-sama diunduh sekitar 100 ribu pengguna.
Awal kemunculan aplikasi dijadikan medium kampanye terjadi pada 2008, setahun selepas iPhone dirilis. Di Pilpres Amerika, kubu Barack Obama merilis aplikasi Obama 08, aplikasi, yang merujuk The Verge, bekerja menyortir kontak pengguna yang memasang di smartphone mereka untuk melakukan aksi langsung di jalanan.
Selepas Obama 08 lahir, aplikasi-aplikasi serupa bermunculan, misalnya pada pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016. Donald Trump, yang kemudian terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, merilis tak hanya satu aplikasi, yakni aplikasi America First dan Nationbuilder.
Dilansir dari Adweek, America First merupakan aplikasi resmi kampanye Trump. Aplikasi itu dikembangkan oleh Political Social Media LLC, perusahaan yang cukup sering memproduksi aplikasi smartphone bertema politik konservatif. Sebelum America First lahir, mereka menghasilkan aplikasi bagi National Rifle Association guna meredam aksi penolakan kepemilikan senjata bagi warga sipil dan membikin aplikasi bagi CatholicVote.org.
Beberapa fitur yang terdapat pada America First cukup “nyeleneh.” Salah satunya ialah “Time Left Until We Defeat Crooked Hillary.”
Dalam artikel yang diterbitkan media Jerman Berliner Zeitung dan diterjemahkan Boell.org, meskipun America First merupakan aplikasi resmi Trump, aplikasi yang menjadi senjata rahasia mereka ialah Nationalbuilder. Aplikasi Nationalbuilder diciptakan Jim Gilliam, salah seorang teknopreneur Amerika Serikat. Menurut artikel itu, Gilliam percaya kekuatan internet dapat mengubah apapun, termasuk mengubah seorang Trump menjadi presiden.
Nationalbuilder merupakan aplikasi mirip sosial media. Aplikasi ini didisiapkan untuk merangkul para pengguna dalam kelompok-kelompok kecil, tak lebih dari 150 anggota untuk kemudian melakukan aksi nyata. Menurut Gilliam, Nationalbuilder diciptakan “untuk menciptakan hubungan yang bermakna, original.”
Pada 2015, setahun sebelum Trump memenangkan pemilu Amerika, aplikasi itu sukses menciptakan 129 ribu kegiatan offline dan mendulang dana kampanye sebesar $264 juta.
Semenjak dipakai sebagai medium pada pemilu Amerika 2016, menurut App Annie, firma analisis aplikasi, aplikasi bertema politik meningkat dari 2,1 juta aplikasi yang bersemayam di App Store, toko aplikasi iPhone, 17.321 aplikasi merupakan aplikasi bertema politik. Di sisi lain, dari 3,1 juta aplikasi yang ada di Play Store, 422 merupakan aplikasi bertema politik.
Aplikasi Politik di Smartphone Efektif?
Jurnalis The New York Times Natasha Singer, mengatakan aplikasi-aplikasi kampanye yang dibuat politisi merupakan aplikasi yang digunakan untuk mengirimkan informasi yang telah dikurasi terlebih dahulu. Ia berpendapat cara ini bisa efektif karena bisa bebas dari peraturan aplikasi umum, misalnya Facebook atau Twitter.
Beberapa aplikasi yang diciptakan memungkinkan para pengguna bisa berkomentar pada informasi yang dibagikan atau bahkan membuat konten sendiri. Aplikasi seperti ini memungkinkan pengguna yang aktif tak dibatasi aturan ketat pada media sosial besar seperti Facebook atau Twitter.
Pada beberapa aplikasi, para kandidat merilis dalam bentuk video games. Memungkinkan pengguna mendulang poin yang bisa dikonversi jadi donasi bagi kandidat.
“Aplikasi kampanye ini memiliki jangkauan yang kuat seperti Facebook dan Twitter bahkan bisa bersaing dengan mereka. Beberapa aplikasi memberi pengguna opsi ‘share’ di Twitter atau Facebook. Opsi ini mengaburkan sisi keaslian unggahan dengan iklan berbayar,” kata Singer.
Artinya, pihak pengelola Facebook dan Twitter akan sukar menindak bila informasi-informasi yang tercantum di aplikasi kampanye disebar oleh penggunanya pada media sosial itu.
Menurut Singer, keunggulan lain yang dimiliki aplikasi kampanye dan jarang disadari penggunanya merupakan kemampuan aplikasi-aplikasi tersebut mengakses data si pengguna. Aplikasi bisa melihat daftar kontak hingga email yang berguna menganalisis lingkaran pertemanan si pengguna. Ini berguna untuk tim kampanye memetakan kekuatan mereka.
Kanghui Baek dalam paper berjudul “Exploring the Relationship Between Mobile Application Use and Political Information Seeking and Political Discussion” menyebut terdapat korelasi positif antara orang-orang pengguna aplikasi dengan kemauan mereka mencari dan mendiskusikan hal-hal terkait politik.
Ia bilang jika seseorang memasang aplikasi bertema e-commerce, berita, literasi pada smartphone, ia akan sangat tertarik mengeksplorasi aplikasi berjenis politik. Artinya, aplikasi kampanye yang dirilis para calon pemimpin bisa sangat efektif.
Thomas Peters, pemimpin startup bernama uCampaign punya pendapat lain. Menurutnya, aplikasi-aplikasi kampanye politik tidak disukai kalangan yang berseberangan. Aplikasi yang dirilis Obama, Trump, Hillary, hingga Jokowi, dan Prabowo bakal hanya dinikmati pendukungnya saja.
“Aplikasi kampanye politik menciptakan tempat nyaman bagi orang-orang yang memiliki pandangan yang sama soal kandidat, mereka tidak suka dan tidak merasa nyaman dengan media sosial terbuka, seperti Facebook dan Twitter,” kata Peters.
Secara sederhana, Peters ingin mengatakan bahwa aplikasi kampanye politik hanya akan diunduh oleh para pendukung tokoh bersangkutan. Aplikasi kampanye dengan pengguna yang terbagi pandangan politik sukar terjadi. Dalam istilah politik ini disebut “echo chamber,” yang diartikan sekelompok orang yang berbagi pandangan dunia dan kemudian mengedarkan informasi satu sama lain hanya untuk memperkuat pandangannya. Dengan cara ini, seseorang “echo chamber” biasanya hanya mengonsumsi informasi yang mendukung pandangan dunianya masing-masing.
Namun, Abraham Doris-Down, dalam papernya berjudul “Political Blend: An Application Designed to Bring People Together Based on Political Difference,” juga punya temuan yang berbeda. Pada penelitiannya yang menggunakan aplikasi yang dirancang khusus bernama Political Blend “echo chamber” bisa diatasi.
Political Blend merupakan aplikasi khusus. Ia memasukkan orang-orang yang berbeda pandangan politik bergabung di aplikasi itu. Namun, alih-alih melakukan silang pendapat via aplikasi, orang-orang dalam Political Blend dipaksa bertemu langsung dengan aplikasi untuk mengutarakan pendapatnya. Hasilnya, orang yang berbeda pandangan akan bisa menerima perbedaan.
Editor: Suhendra