tirto.id - Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diharapkan bisa memperbaiki tata kelola energi dan sektor sumber daya alam (SDA). Selain itu, pemerintahan baru diharapkan juga mampu menyelesaikan masalah persampahan secara lebih baik.
Lembaga swadaya masyarakat, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mendesak Presiden dan Wakil Presiden RI, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memprioritaskan perbaikan tata kelola sektor energi dan SDA sebagaimana 8 misi strategis Asta Cita yang disampaikan ke publik. Selain itu, mereka menilai perbaikan tata kelola energi dan SDA sekaligus menjawab masalah krisis energi di masa depan.
PWYP Indonesia menyarankan tiga prioritas utama yang harus dilakukan Prabowo-Gibran ke depan, yakni krisis iklim melalui percepatan transisi energi berkeadilan, penguatan demokrasi dalam tata kelola, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum di sektor energi dan SDA.
"Percepatan transisi energi berkeadilan adalah suatu keharusan," kata Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, dalam keterangannya yang diterima Tirto, Rabu (23/10/2024).
Menurut dia, upaya untuk mengatasi krisis iklim harus diawali dengan pengurangan dan penghentian penggunaan energi fosil. Mereka mengungkit pernyataan Prabowo tentang swasembada energi dan hendak mengoptimalkan kelapa sawit untuk menghasilkan bahan bakar solar dan bensin, dan tanaman-tanaman lain seperti singkong, tebu, sagu, jagung energi bawah tanah seperti geothermal dan batu bara sebagai penopang swasembada energi. Ia berharap, Prabowo tidak terjebak dalam solusi yang malah membawa masalah baru dalam isu energi.
“Kami sangat khawatir, Presiden Prabowo terjebak dengan ‘false solution’ yang justru memperpanjang ketergantungan pada energi fosil, khususnya batubara, ataupun memunculkan deforestasi dan pembukaan lahan baru. Ini harus dihindari," ucap Aryanto.
Aryanto berkata, transparansi dan akuntabilitas menjadi hal penting di tengah ruang gerak masyarakat sipil semakin menyempit. "Demokrasi harus pulih. Pemerintah wajib menciptakan ruang aman bagi keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan," tutur Aryanto.
Selain itu, PWYP Indonesia mendorong urgensi digitalisasi perizinan yang diikuti dengan pengawasan yang ketat dan kepastian aturan untuk mendukung kepatuhan pelaku usaha. PWYP Indonesia pun mengusulkan pembentukan direktorat penegakan hukum di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memperkuat integritas pengawasan.
Mereka juga mendorong prinsip kemanusiaan dalam pengelolaan SDA harus ditegakkan. Pasalnya, era transisi energi membuka peluang untuk memanfaatkan nikel dan mineral kritis lainnya secara berkelanjutan.
"Ekstraksi harus sejalan dengan perlindungan lingkungan dan hak masyarakat, termasuk perlindungan terhadap masyarakat adat; perlindungan kawasan ekosistem sensitive (no go zone), perlindungan hak-hak hidup masyarakat, pengarusutamaan GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social inclusion) serta mendorong penegakan Prinsip People before Profit dan FPIC (Free, Prior, and Informed Consent)," tutur Aryanto.
Sementara itu, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mendesak untuk memprioritaskan perbaikan pengelolaan sampah di Indonesia. AZWI beralasan permasalahan sampah yang kompleks dan semakin mendesak tidak kunjung terselesaikan karena pemerintah hanya fokus pada solusi di hilir.
"Tidak berupaya menyelesaikan pada akar permasalahannya di tingkat hulu," tulis keterangan lembaga ini kepada Tirto, Rabu.
AZWI memandang, masalah sampah adalah isu multisektor yang berkaitan dengan perubahan iklim, konservasi sumber daya alam, penggunaan lahan, tata kota, kesehatan masyarakat, pendidikan, budaya, dan lainnya. AZWI menekankan bahwa solusi harus komprehensif dan tidak hanya pada pembangunan infrastruktur persampahan saja.
AZWI lantas menyoroti program makan siang bergizi gratis karena program tersebut menggunakan kemasan plastik dan menimbulkan sisa makanan. Mereka menilai, sampah plastik dan sisa makanan dari program yang menyasar 83 juta anak ini bisa menimbulkan beban sampah dalam jumlah besar.
AZWI juga menyoroti pentingnya tindakan tegas terhadap pengendalian produksi plastik, terutama terhadap pencemaran yang disebabkan oleh bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam plastik di sepanjang siklus hidupnya, dari ekstraksi hingga pasca-konsumsi. Mereka mendorong agar produsen mau melaksanakan peta jalan pengurangan sampah, sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P75 tahun 2019.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 8 Oktober 2024, baru 52 produsen saja yang memenuhi kewajiban menyerahkan peta jalan mereka, padahal target pengurangan sampah sebesar 30% diharapkan tercapai pada akhir 2029. Dari sisi penanganan sampah, pemerintah harus menghentikan pembangunan proyek Waste-to Energy (WtE), termasuk insinerasi, pirolisis, gasifikasi, dan Refuse-Derived Fuel (RDF).
Kebijakan ini bisa menjadi solusi semu yang hanya akan memindahkan masalah sampah menjadi polusi beracun dan meningkatkan emisi karbon. Hal itu justru menghambat upaya pengelolaan sampah berkelanjutan.
AZWI menambahkan, sistem pembakaran sampah seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menghasilkan dioksin, senyawa Kimia sangat beracun yang dilepaskan saat sampah plastik dibakar. Akibatnya, warga di sekitar proyek-proyek ini telah merasakan dampak buruk bagi kesehatan mereka, sebagaimana tercatat dalam berbagai penelitian. Mereka beralasan, promosi penggunaan teknologi canggih untuk pengelolaan sampah juga tidak didukung oleh studi kelayakan teknis, lingkungan, maupun finansial yang memadai.
"AZWI berharap Pemerintahan di bawah Kabinet Merah Putih ini serius dalam mengambil kebijakan dan memberikan arah yang tepat bagi masa depan pengelolaan sampah yang berkelanjutan, demi kepentingan generasi mendatang, lingkungan, dan kualitas hidup yang lebih baik," tutur AZWI.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Andrian Pratama Taher