tirto.id - Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 30 April 2019 mencapai Rp101,04 triliun setara 0,63 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara keseimbangan primer bertengger di angka negatif Rp18,44 triliun.
Capaian yang dibukukan pemerintah itu menunjukkan adanya pelebaran defisit APBN secara year on year (yoy). Pasalnya defisit pada April 2018 lalu hanya mencapai Rp54,87 triliun dan keseimbangan primer masih berada di angka Rp24,44 triliun.
“Posisi defisit tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat Rp54,87 triliun atau 0,37 persen terhadap PDB, dengan keseimbangan primer Rp24,44 triliun,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTa, di kantor Kemenkeu, Kamis (16/5/2019).
Defisit yang terjadi pada Kuartal I 2019 ini bersumber dari belanja negara senilai Rp631,78 triliun yang lebih tinggi daripada pendapatan yaitu Rp530,74 triliun.
Di tengah defisit menahun ini, Kemenkeu juga masih harus menghadapi adanya perlambatan di sejumlah pos-pos penerimaan.
Salah satunya adalah setoran pajak pemerintah yang hanya mencapai Rp387 triliun atau 24,5 persen dari APBN dan hanya tumbuh 1 persen. Dibanding dua tahun sebelumnya, nilai itu melambat dari pertumbuhan year on year yang mampu mencapai 19,2 persen dan 10,8 persen.
Pajak karyawan atau PPh 21 pun hanya tumbuh 12 persen, melambat secara year on year yang sempat berada di angka 14,8 persen. PPh Orang Pribadi (OP) dan PPh Badan juga mengalami perlambatan lantaran hanya tumbuh 14,4 dan 4,9 persen dibanding 19,8 persen dan 23,6 persen secara year on year.
Menurut Sri Mulyani hal ini dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan laba tahun 2018 yang mencapai 7,12 persen, melambat dari 22,7 persen secara year on year.
Selain itu, kebijakan pemerintah untuk menahan laju impor pun juga turut berdampak pada penerimaan PPh dan PPn impor. Pertumbuhannya hanya mencapai 3,8 dan 0,7 persen, melambat dari 28,7 dan 24,8 persen secara year on year.
Seolah belum cukup, pukulan juga datang dari melambatnya pertumbuhan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari 37,6 persen di April 2018 menjadi 0,6 persen di April 2019. PNBP dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) dan migas juga bernasib serupa hanya terealisasi 22,10 dan 24,10 persen dari target APBN 2019, lebih rendah dari 43,90 dan 44,20 persen dari target APBN 2018.
Peneliti Pajak dari Institue for Development of Economics and Finance (Indef), Adhevyo Reza tak heran dengan pelebaran defisit ini karena memang tak didukung dengan tingginya harga komoditas yang sempat menjadi berkah bagi PNBP dari SDA dan migas.
Meski demikian, Reza juga mengingatkan agar pemerintah tak bergantung pada penerimaan jenis ini lantaran rentan bergejolak.
Menurut Reza, penerimaan negara memang mau tidak mau harus digenjot dari pajak, terutama yang sudah pernah diupayakan pemerintah melalui reformasi perpajakan. Seperti program tax amnesty dan Automatic Exchange of Information (AEOI) lantaran tak dapat dipungkiri banyak WNI yang masih mengemplang pajak.
“Menurut saya reformasi perpajakkan harus tetap berjalan. Utamanya tidak bergangung pada komoditas,” ucap Reza saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (17/5/2019).
Meskipun menjadi batu loncatan, ia menyebutkan dua program itu belum optimal lantaran memang tidak bisa dikejar secara jangka pendek. Namun, kata dia, paling tidak pemerintah dapat mendorong transparansi seberapa jauh proses pemerintah berhasil menarik kembali mereka yang mengemplang pajak.
Jangka panjangnya, Reza menilai, investasi di sektor manufaktur juga perlu digenjot. Meskipun diawali dengan pembebasan dan pengurangan pajak, kata dia, tapi di masa depan, penerimaan pajak dari sektor ini cukup menjanjikan. Paling tidak dimulai dari peningkatan PPh dari karyawan yang semakin banyak diperkerjakan.
“Industri itu kontributor terbesar [pajak] tapi pertumbuhan industri kita terus menurun,” ucap Reza.
Sementara peneliti fiskal dari Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy mengatakan pemerintah perlu memperbaiki prioritas belanjanya.
Saat ini, Yusuf mendapati pemerintah lebih memilih belanja bantuan sosial yang justru menjadi salah satu penyebab defisit lantaran realisasinya sudah menyentuh 50 persen.
Padahal, kata dia, realisasi belanja yang harus diprioritaskan adalah belanja modal yang pada April 2019 ini justru tersungkur minus yang seharusnya mampu memberi stimulus bagi ekonomi.
Sebab, bila konsumsi tumbuh, maka setidaknya akan ada penerimaan dari PPn barang modal dan PPh karyawan atau buruh yang bekerja.
“Kalau menggenjot pajak itu tergantung dari refleksi kegiatan ekonominya. Kalau ekonomi bagus penerimaan pajaknya juga bagus,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto.
Yusuf mengingatkan jika pemerintah tak segera bertindak, maka ia mengkhawatirkan penerimaan negara dapat berakhir shortfall. Jika hal itu terjadi, maka penambahan utang akan semakin terbuka kemungkinannya.
Belum lagi, kata Yusuf, saat ini Indonesia harus menghadapi ancaman capital outflow seiring membaiknya perekonomian Amerika. “Kalau penerimaan shortfall, pembiayaan harus narik utang baru,” ucap Yusuf.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz