Menuju konten utama

Potensi SARA dan Persekusi di Balik Twit Mustofa Nahrawardaya

Aktivitas belajar-mengajar di sekolah Ricci II diliburkan selama dua hari, yaitu 24-25 Mei 2019 akibat postingan Mustofa Nahrawardaya di Twitter.

Ilustrasi twitter. FOTO/freestocks.org

tirto.id - Akun Twitter Mustofa Nahrawardaya belakangan bikin cemas sejumlah orang. Soalnya, anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga itu memposting video seorang anak yang meminta hastag #tangkapAmienRais, #bubarkanFPI dan #tangkapPrabowo diviralkan di media sosial.

Video yang diunggah ke Twitter pada Kamis, 23 Mei 2019, itu makin ramai setelah Mustofa memposting ulang gambar si anak serta menyinggung logo salib yang terpampang pada seragam si anak.

“Logo di anak ini kok kayak ada tanda salib. Semoga saya salah lihat. Ada yang tahu SMA mana ini?” twit @akuntofa dalam postingan tersebut.

Sejumlah pengguna Twitter, yang tak setuju dengan postingan itu tak hanya menghawatirkan kondisi si anak yang terancam mengalami perundungan dan persekusi, melainkan juga memantik konflik berbasis SARA.

Sebab, beberapa pengikut @akuntofa mulai melakukan doxing dan menyebarkan tudingan-tudingan miring soal logo sekolah di seragam si anak, yang diduga merupakan sekolah katolik Ricci II di Bintaro, Tangerang Selatan.

Akibat postingan tersebut, sekolah Ricci II memutuskan untuk menghentikan aktivitas belajar-mengajarnya selama 2 hari, yakni pada 24-25 Mei 2019. Wakil Ketua Yayasan Ricci Sr. M. Marian juga membantah bahwa anak yang berada di video tersebut merupakan siswa sekolahnya.

“Saat ini sedang beredar Youtube yang berisikan politik dengan alamat Sekolah Ricci II dan memakai kaos olahraga SMA Ricci. Dengan ini kami menyatakan bahwa anak tersebut bukan siswa sekolah Ricci I dan II dan mohon untuk tidak menyebarkan video tersebut,” ujarnya lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto.

Saat dikonfirmasi reporter Tirto, Mustofa membantah semua tudingan yang diarahkan kepadanya. Menurut politikus PAN ini, tujuan memviralkan video tersebut justru agar si pembuat video bisa segera meminta maaf atas ucapannya.

“Selama ini, pelaku seperti ini paling hanya disuruh tanda tangan bermaterai berisi permintaan maaf. Jangan terlambat. Keluarganya, tetangganya, kerabatnya, sahabatnya, saya yakin ada yang tahu video itu, sebelum saya punya. Sudah beredar luas sebelum saya post di akun Twitter saya. Kenapa enggak segera minta maaf?” kata dia.

Menurut Mustofa, postingan tersebut justru ditujukan agar orang-orang yang mengenal sang anak bisa segera memberikan peringatan.

“Jangan khawatir jadi korban perundungan jika lingkungannya care dan perhatian dan saling mengingatkan. Sayang, di medsos tidak mungkin mengingatkan orang, jika tidak tahu identitasnya. Maka saya tanya, itu siapa,” kata politikus PAN ini.

KPAI: Tindakan Mustofa Tak Bijak

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sitty Hikmawati menyesalkan tindakan Mustofa di media sosial mengingat banyaknya anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam kericuhan di Jakarta beberapa hari belakangan.

Di tengah suhu politik usai Pilpres masih memanas, kata Sitty, tindakan yang dilakukan Mustofa sangat tidak bijak.

“Kalau dari kasus seperti ini, maka terbaik dari pihak yang merasa dirugikan adalah memblokir masalahnya dan diredam jangan malah diviralkan. Harus diminamilisir. Ketika sudah diredam baru dilakukan lewat jalur-jalur hukum yang ada," ucap dia.

Bahkan, kata Sitty, dalam hukum peradilan pidana, identitas seorang anak harus dilindungi meskipun ia berhadapan dengan hukum. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mencegah stigmatisasi yang dapat membuat si anak tak bisa memperbaiki kesalahannya di masa mendatang.

“Karena bagaimanapun mereka kita harapkan punya kesempatan untuk memperbaiki kondisi mereka di masa yang akan datang, bahkan ketika mereka pernah menjalani masa hukuman karena terbukti kesalahannya banyak, hal yang perlu dilakukan agar menghilangkan beban masa lalu itu,” imbuh Sitty.

Menurut Sitty, jika pun pelaku dalam video tersebut bukan anak-anak, maka postingan Mustofa tidak dapat dibenarkan karena berdampak pada anak-anak yang berada di sekolah Ricci II.

Jangan Asal Lapor dan Persekusi

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menilai persekusi yang bermula dari tindakan doxing di media sosial makin sering dilakukan terutama di musim kampanye politik.

Karena itu lah, kata dia, seharusnya para elite politik menahan diri untuk tidak memposting sesuatu yang dapat berakibat pada perundungan maupun persekusi seseorang atau kelompok tertentu.

“Kalau terjadi persekusi, ya bisa diproses. Tapi perlu pembuktian lebih lanjut antara hubungan postingannya dengan orang yang mempersekusi. Karena tindak elite itu, [di] Indonesia sudah enggak beres, dikit-dikit mau kriminalkan orang, mau persekusi,” kata Asfinawati.

Celakanya, kata Asfinawati, polisi tak bisa menindak tegas pelaku persekusi, termasuk di media sosial sehingga tindakan tersebut terus berulang dan dilakukan oleh kedua kubu, baik pendukung pasangan calon 01 maupun paslon 02.

Padahal, kata dia, hak atas rasa aman bagi setiap warga negara dalam berpendapat, baik secara langsung maupun di media sosial, dijamin oleh undang-undang. Karena itu, ia tak setuju jika UU ITE diterapkan bagi para pelaku yang memprovokasi atau mendorong orang untuk melakukan persekusi maupun perundungan.

“Ini seharusnya, kan, kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat. Sama kayak yang aku lihat tadi [di demo], berujar turunkan Jokowi. Kalau cuma ngomong, ya harus dilindungi kebebasan berpendapatnya. Kalau sudah terjadi persekusi, maka pasal yang menjerat, tergantung dia ngapaian, bisa penganiayaan dan sebagainya,” jelas Asfinawati.

Baca juga artikel terkait PERUNDUNGAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz