tirto.id - وَمَا يَذْكُرُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ هُوَ أَهْلُ التَّقْوَىٰ وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ
Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran kecuali Allah mengkehendaki. Dia adalah yang patut kita bertakwa kepada-Nya dan yang berhak memberi ampunan (Surat al-Mudassir ayat 56)
Al-Biqa’i menulis bahwa karena ayat yang lalu dapat menimbulkan kesan tentang kemandirian mutlak manusia, ayat di atas mengingatkan semua pihak bahwa: "Dan mereka, kapan dan di manapun, tidak akan mengambil pelajaran darinya kecuali jika Allah menghendaki. Dia adalah Tuhan yang patut kita bertakwa kepada-Nya sehingga mesti dilaksanakan perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya dan Dia juga yang berhak memberi ampunan."
Para teolog yang melihat ayat ini secara terpisah menafsirkannya sejalan dengan aliran masing-masing. Mari kita perhatikan penafsiran Az-Zamakhsyari, pakar tafsir beraliran Mu’tazilah, yang menganut paham kebebasan manusia. Menurutnya: “Kaum musyrikin tidak akan mampu memperoleh pelajaran tersebut kecuali jika dikehendaki Allah, dalam arti kecuali jika Allah memaksa mereka. Karena, pada hakikatnya, hati mereka telah tertutup sehingga mustahil mereka dapat beriman secara sukarela.”
Penafsiran ini membedakan antara kata sya’a pada ayat 55 dan yasya’u pada ayat 56. Kata sya’a menggambarkan kehendak yang berada dalam wilayah kemampuan manusia yang diperolehnya atas dasar kebebasan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Sedangkan kata yasya’u pada ayat di atas dinisbatkan kepada Allah merupakan kehendak yang bersifat paksaan dari-Nya dan yang tidak mungkin dilaksanakan setelah dia sendiri menganugerahkan kepada manusia kebebasan berkehendak sebagaimana ditegaskan oleh ayat 55.
Ayat ini, menurut pandangan aliran rasional, bukannya mendukung paham fatalism karena kandungannya menggambarkan betapa besar keengganan kaum musyrikin untuk mengambil pelajaran dari Alquran sehingga mereka tidak mungkin akan melangkah ke sana kecuali jika ada paksaan dari Tuhan.
Ayat ini semacam pangandaian. Anda dapat saja menjumpai seseorang yang memiliki tekad yang membaja untuk suatu hal dan pada saat itu Anda dapat menggambarkan keteguhan tekadnya dengan berkata: ”Ia tidak akan mundur kecuali bila dipaksa”. Apakah ia akan dipaksa? Atau dalam kasus di atas, apakah Tuhan akan memaksanya? Tentu tidak! Demikian kata penganut aliran rasional. Bukankah Tuhan telah memberi kebebasan memilih kepada manusia? Apakah wajar dia menarik kembali anugerah-Nya itu?
Sebelum menerima penafsiran tersebut, ada dua hal yang patut dipertanyakan. Pertama, adakah alasan mengalihkan arti yang terjemahan harfiahnya adalah berkehendak sehingga menjadi memaksa? Yang jelas, bahasa tidak mengggunakan kata tersebut untuk arti itu. Kedua, apakah penutup ayat ini, yang intinya menggambarkan kewajaran Tuhan untuk dijadikan tujuan ketakwaan dan dimohonkan ampunan-Nya, mendukung penafsiran tersebut atau justru sebaliknya?
Agaknya, penutup ayat ini berpesan atau menganjurkan agar para pendurhaka bertaubat dan bertakwa. Bila demikian halnya, tentu masih ada kemungkinan atau harapan bahwa satu ketika mereka akan beriman. Jadi ayat ini bukan merupakan vonis yang telah dijatuhkan Tuhan sebagaimana yang digambarkan oleh pemahaman aliran rasional tersebut, yakni bahwa mereka tidak mungkin akan beriman kecuali bila dipaksa Tuhan. Sebab, jika demikian, apa manfaat pesan dan anjuran terseebut? Pesan dan anjuran yang dikandung oleh penutup ayat ini memberi kesan bahwa masih ada harapan pada suatu ketika mereka akan memeroleh pelajaran.
Sementara penafsir yang cenderung menganut paham fatalism seperti al-Qurthubi menyimpulkan bahwa: “Mereka tidak mampu mengambil pelajaran dan mengingat kecuali atas kehendak Allah”. Sedangkan Al-Alusi secara lebih tegas menulis: “Tidak ada pengaruh kehendak seorang manusia dan keinginannya dalam wujud perbuatan-perbuatannya. Ini adalah pernyataan bahwa perbuatan manusia berdasarkan kehendak Allah ‘Azza wa jalla, dengan diri-Nya sendiri atau melalui perantaraan.”
Ar-Razi, dalam tafsirnya yang berusaha menggunakan segala kesempatan untuk menolak paham Mu’tazilah, menulis: “Allah swt telah menafikan ‘menarik pelajaran’ secara mutlak kecuali dalam satu keadaan, yaitu dengan adanya kehendak Tuhan yang mutlak. Apabila kehendak itu terlaksana, diperolehlah pelajaran dan pada saat tidak diperoleh, kita mengetahui ketika itu bahwa Tuhan tidak mengkehendakinya.”
Pendapat-pendapat di atas, baik yang dikemukakan oleh kelompk Mu’tazilah maupun kelompok lainnya, semuanya memahami ayat 56 ini secara berdiri sendiri tanpa memerhatikan keseluruhan ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang masalah ini. Jelas sekali bahwa Alquran menegaskan adanya kehendak dan kemampuan manusia yang atas dasarnya mereka dituntut pertanggungjawaban. Di sisi lain, Alquran juga berbicara tentang kekuasaan Allah yang mutlak. Kita hendaknya memahami kandungan ayat 56 ini berdasarkan kedua hakikat itu yang memang sangat sulit diingkari oleh siapa pun. Mempertentangkan kedua hakikat di atas melahirkan dua kemungkinan yang bertolak belakang serta menghasilkan pengabaian salah satu di antara keduanya.
Melalui ayat ini dan ayat-ayat semacamnya, Alquran ingin menjelaskan kepada setiap insan bahwa kehendak Tuhan dan kekuasaan-Nya tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Manusia hendaknya jangan menduga bahwa kemampuan dan kehendak bebas yang dimiliknya dapat menyamai, lebih-lebih menandingi atau mengatasi kehendak dan kemampuan Allah. Benar, manusia memang memiliki kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya dan tidak akan ditarik kembali oleh Allah. Namun, manusia jangan menduga bahwa mereka mampu melakukan segala-galanya tanpa bantuan Tuhan. Manusia diminta oleh ayat ini dan ayat-ayat semacamnya untuk menyadari dan menghayati hakikat ini agar dalam kehidupannya ia selalu berusaha menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Allah swt.
Sekian banyak ayat Alquran berbicara tentang masyi’ah atau kehendak Allah yang mengandung pengertian seperti yang dikemukakan di atas. Ini insya Allah akan penulis uraikan dengan sedikit terperinci ketika menafsirkan Q.S al-A’la (87): 6-7).
Ayat di atas ingin menjelaskan bahwa ada ketetapan Tuhan yang tidak berubah menyangkut anugerah-Nya bagi yang taat kepada-Nya, namun manusia jangan merasa angkuh, jangan berbangga dan merasa bahwa amal-amal baiknyalah yang mengantarkannya menikmati kebahagiaan surgawi. Tidak! Jika Tuhan menghendaki, dapat saja Dia mengubahnya karena kekuasaan tertinggi tetap berada dalam genggaman-Nya. Allah swt telah memberikan kepada manusia kebebasan memilih, namu mereka harus menyadari bahwa diatas kemampuannya ada Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu. Dia adalah Ahlat-Taqwa. Dia juga Ahl al-Maghfirah.
Takwa didefinisikan sebagai melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua hal ini dapat terwujud oleh dorongan harapan memeroleh kenikmatan surgawi serta rasa takut terjerumus ke dalam neraka. Atas dasar ini, sebagian ulama menggambarkan ketakwaan sebagai “gabungan antara harapan dan rasa takut”. Dan dengan demikian, Allah yang dijelaskan oleh ayat ini sebagai Ahl at-Taqwa diartikan sebagai “wujud yang kepada-Nya semata diarahkan segala harapan serta hanya Dia pula yang harus ditakuti”.
Ayat terakhir ini membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh makhluk untuk mengharapkan ampunan Allah. Ampunan-Nya dapat diberikan kepada siapa saja selama mereka tidak mempersekutukan-Nya.
Demikian ayat-ayat pertama surat ini menuntut dari Rasulullah saw untuk berusaha dengan menempuh segala cara yang baik, sedangkan akhir ayat-ayatnya menekankan bahwa segala sesuatu berada di tangan Allah. Dia “tempat” takut dan mengharap. Tuhan adalah pelabuhan tempat bersauh. Segala kesalahan yang timbul dari usaha terdahulu akan dapat diampuni-Nya. Demikian bertemu awal surat ini dengan dalam satu keserasian yang amat sempurna. Wa Allahu a’lam.
=====
*) Naskah diambil dari buku "Tafsir al-Mishbah Vol. 14" yang diterbitkan penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS