tirto.id - Posisi utang pemerintah per Maret 2021 kembali mengalami kenaikan dan menyentuh Rp6.445,07 triliun. Jumlah ini naik dari posisi akhir Februari 2021 Rp6.361 triliun.
Pada posisi ini, rasio utang pemerintah terhadap PDB menyentuh 41,64 persen PDB. Angka ini masih di bawah batas maksimum rasio utang yang diizinkan UU Keuangan Negara yaitu 60 persen PDB.
Sebagian besar porsi utang Maret 2021 ini disumbang oleh Surat Berharga Negara (SBN) Rp5.583,16 triliun atau setara 86,63 persen. SBN masih terbagi lagi pada yang berdenominasi domestik Rp4.311,57 triliun dan valuta asing Rp1.271,59 triliun.
Masing-masing SBN itu juga terbagi menjadi jenis konvensional yaitu Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias SBSN atau sukuk. Pada SBN domestik, porsi SUN mencapai Rp3.510,47 triliun dan SBSN Rp801,1 triliun. Pada SBN Valas porsi SUN mencapai Rp1.024,59 triliun dan SBSN Rp247 triliun.
Lalu sekitar 13,37 persen dari sisa posisi utang berasal dari pinjaman senilai Rp861,91 triliun. Pinjaman ini terbagi menjadi pinjaman dalam negeri Rp12,52 triliun dan luar negeri Rp849,38 triliun. Porsi pinjaman luar negeri paling banyak berasal dari multilateral Rp482,02 triliun, bilateral Rp232,144 triliun dan bank komersial Rp44,23 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pembiayaan utang saat ini dibutuhkan untuk menutup defisit pada anggaran pemerintah. Ia memastikan kalau defisit yang terjadi ini ditujukan untuk keperluan produktif seperti penanganan COVID-19 dan dukungan bagi dunia usaha sebagaimana termasuk dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
“Apakah defisit ini produktif? Jelas produktif membantu masyarakat langsung dalam situasi COVID-19 dan mendukung dunia usaha,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Kamis (22/4/2021).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz