Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Portugal vs Spanyol: Derby Iberia Antara Dua Kolonialis Lama

Perseteruan Portugal vs Spanyol dikenal sebagai Iberian Derby dan merupakan salah satu derby sepakbola antarnegara tertua.

Portugal vs Spanyol: Derby Iberia Antara Dua Kolonialis Lama
Ilustrasi Portugal VS Spanyol. tirto.id/Mojo

tirto.id - Ratusan tahun sebelum Portugal dan Spanyol bertemu di laga pembukaan Grup B Piala Dunia 2018, mereka sudah lebih dulu berduel di arena yang lebih dahsyat. Perseteruan dua jiran di Semenanjung Iberia yang sudah dimulai sejak abad ke-15 itu dipicu oleh ambisi menggelegak: menguasai dunia.

Keduanya berlomba menjelajahi samudera guna mencari koloni-koloni baru untuk dikuasai. Portugal melancong ke Brasil, Asia, hingga Afrika, sementara Spanyol menelusuri wilayah Amerika Selatan, Utara, dan juga sempat mencapai Asia.

Dari penjelajahan Portugal, dunia mengenal nama-nama pelaut legendaris seperti Ferdinand Magellan, Bartolomeus Dias, Christopher Columbus, hingga Vasco da Gama. Ketika Dias pertama kali mengelilingi Tanjung Harapan pada 1488, Portugal mulai membuka gerbang dunia. Tongkat estafet eksplorasi tersebut lalu dilanjutkan Vasco da Gama pada abad ke-15 yang berujung pada kejayaan kolonialisme Portugal.

Spanyol yang berada di bawah daulat Charles I tentu tak mau kalah dari tetangganya tersebut. Dipimpin Magellan, seorang Portugis yang membelot ke Spanyol karena sakit hati tidak dihargai di tanah airnya sendiri, armada Charles I pun mulai menjelajahi dunia baru.

Magellan ditugaskan memimpin lima kapal Spanyol yang membawa lebih dari 237 orang pelaut. Armada ini memulai pelayarannya dari pelabuhan Sanlucar de Barrameda pada September 1519. Setelah melalui ribuan kilometer, dengan hanya 18 awak kapal yang tersisa, armada tersebut akhirnya tiba di Kepulauan Filipina dan berlabuh di Pulau Mactan pada 17 Maret 1521. Penjelajahan tersebut dianggap sebagai pembuka jalan bagi orang-orang Eropa lainnya ke Timur Jauh. Pada periode setelahnya, kolonialisme bangsa-bangsa Barat di Nusantara pun dimulai dan berlangsung hingga berabad-abad lamanya.

Ratusan tahun berlalu, perseteruan antara Portugal dengan Spanyol juga tetap berlangsung. Tidak lagi menggunakan kapal perang dan bedil, kedua negara ini beradu gengsi siapa yang paling lihai mengolah si kulit bulat di atas lapangan hijau. Perseteruan mereka diberi tajuk Iberian Derby dan merupakan salah satu derby sepakbola tertua antarnegara. Keduanya bertanding pertama kali pada 18 Desember 1921 di Calle O'Donnell, Madrid, dan berakhir untuk kekalahan Portugal, 1-3.

Dalam Piala Dunia 2018, Iberian Derby sudah langsung tersaji di fase awal mengingat kedua negara berada di grup yang sama: Grup B. Namun sebelum menyaksikan jalannya pertandingan nanti, mari menengok apa saja peninggalan Portugal dan Spanyol dalam sepakbola.

Jika Portugal memiliki ‘Black Panther’ Eusebio dan salah satu pemain terhebat sepanjang sejarah bernama Cristiano Ronaldo, Spanyol punya tiki-taka dan trisula gelandang terbaik di eranya: Xavi Hernandez-Andres Iniesta-Sergio Busquets. Jika Portugal sukses meraih Piala Eropa 2016 dalam status sebagai kuda hitam, lalu sebelumnya menjadi finalis di Piala Eropa 2004, dan sempat menjadi juara tiga dalam Piala Dunia 1966, Spanyol dengan fenomenal merengkuh seluruh trofi tersebut secara beruntun (2008, 2010, 2012).

Baik Portugal atau Spanyol, terlepas dari jumlah trofi yang diraih, sejatinya relatif berimbang secara kekuatan. Betul bahwa sejak dulu pemain-pemain Spanyol relatif lebih dikenal dibanding Portugal. Tapi hal tersebut lebih dikarenakan mereka memiliki salah satu liga terbaik dunia, dan tentunya El Clasico, yang membuat sorotan kamera kerap mengarah ke sana.

Sedangkan Portugal, setelah Eusebio, hanya generasi emas Luis Figo, Rui Costa, Nuno Gomes, atau Abel Xavier yang diketahui publik sepakbola, namun ironisnya tidak menghasilkan gelar apa pun. Dan usai era tersebut punah, praktis tinggal Cristiano Ronaldo yang menjadi jagoan Portugal dalam sepakbola. Menariknya, justru di era Cristiano pula Portugal meraih trofi bergengsi Piala Eropa pada 2016 lalu.

Secara permainan, Portugal memang tidak memberi sumbangan taktikal apapun, tetapi lebih kepada kualitas individu yang menawan. Mereka bahkan kerap dianggap sebagai representasi Brasil di tanah Eropa. Hal ini tidak terlalu mengherankan mengingat sejak 1500-an Portugal sudah menjadikan Brasil sebagai tanah jajahan sehingga berbagai macam bentuk akulturasi berakar kuat di antara kedua bangsa.

Tidak sedikit pula pemain kelahiran Brasil yang hijrah atau dinaturalisasi memperkuat tim nasional Portugal. Eks pelatih Selecao pada Piala Dunia 2014, Dunga, pernah melontarkan sindiran terkait hal tersebut. Kala itu kedua negara berada dalam grup yang sama: Grup G.

"Kami akan bertanding melawan tim B Brasil," ujar Dunga.

Dalam kesempatan yang berbeda pada 2007, Sepp Blatter, yang kala itu masih menjabat sebagai Presiden FIFA, juga pernah menganjurkan agar naturalisasi pemain Brasil yang dilakukan banyak negara dihentikan.

"Jika kita tidak mencegah naturalisasi pemain di beberapa negara, itu akan menjadi bahaya besar. Bayangkan, ada 60 juta pesepakbola di Brasil, namun hanya 11 jatah yang tersedia di tim nasional mereka," kata Blatter.

Salah satu pemain yang meradang akibat sindiran Dunga adalah Deco. Bekas gelandang Barcelona tersebut sejatinya memang kelahiran Brasil, tapi ia memilih hijrah ke negara penjajahnya lantaran tidak mendapat kesempatan memperkuat tanah airnya tersebut. Apakah Deco menyesal dengan pilihannya? Ia lantang menjawab:

"Dengan karier seperti yang saya miliki, adalah hal biasa semestinya untuk bermain untuk Brasil. Ada beberapa pemain yang mengenakan kostum (Brasil) dan tidak pernah meraih setengah dari pencapaian saya. Bermain untuk Brasil adalah hal paling lumrah bagi seorang pemain yang memenangi segalanya bersama Porto, bermain di tim yang tak terkalahkan seperti Barcelona selama empat tahun, dan bermain di salah satu klub besar dunia."

infografik preview portugal vs spanyol

"Tentu saja ini pertandingan spesial karena saya orang Brasil dan akan terus terhubung dengan Brasil sepanjang hidup saya, tetapi saya ingin menang. Saya akan mempertahankan kostum Portugal sampai akhir dan jika saya mencetak gol, tidak ada orang Brasil yang akan melihat ini sebagai pengkhianatan kepada tanah kelahiran saya,” ujar Deco sengit.

Berbeda dengan Portugal, Spanyol nyaris selalu melahirkan pemain-pemain andal di tiap generasi, kendati baru kembali berhasil memetik hasilnya saat juara Piala Eropa 2008, 44 tahun setelah kali terakhir juara pada 1964. Sejak 2008, Spanyol mutlak menjadi negara adidaya dalam sepakbola setelah mengawinkan Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012, dan baru mengalami tren penurunan pada Piala Dunia 2014. Kala itu, Spanyol sempat dikalahkan Belanda, lawan mereka di final 2010, dengan skor telak 1-5.

Menariknya, capaian monumental Spanyol dalam sepakbola justru berbarengan dengan ketegangan politik lokal mereka setelah Catalonia memutuskan ingin melepaskan diri dari Spanyol. Hal tersebut pun secara tak langsung turut memanaskan laga El Clasico, yang akhirnya bisa berimbas juga pada ketegangan para pemain kedua klub saat berseragam tim nasional.

Catalonia, dalam hal ini sekolah sepakbola Barcelona yakni La Masia, memang memiliki peran amat penting dalam melahirkan generasi emas La Furia Roja. Selain trisula Xavi-Iniesta-Busquets, skuat juara Spanyol kala itu yang disumbang La Masia juga berisi nama-nama seperti Pedro, Carles Puyol, Gerard Pique, Pepe Reina, hingga Cesc Fabregas.

Seumpama contoh tersebut belum cukup untuk menjelaskan pengaruh La Masia bagi Spanyol, ingat-ingat bagaimana kemunculan tiki-taka, sistem permainan Spanyol saat juara, yang berakar dari permainan La Blaugrana saat dilatih Pep Guardiola. Bahkan pencetak gol serta pemberi umpan di final Piala Dunia 2010 pun juga jebolan La Masia: Iniesta dan Fabregas!

Melalui penjelasan singkat di atas, jika ditanya apa saja yang menjadi sumbangsih bekas dua negara kolonial ini dalam sepakbola, maka jawabannya adalah segala hal yang paling penting bagi sebuah tim nasional: pemain-pemain hebat, taktik brilian, dan cara menyikapi ketegangan suatu masalah di luar lapangan hijau.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS